Kamis, 9 Oktober 2025   |   Jum'ah, 16 Rab. Akhir 1447 H
Pengunjung Online : 655
Hari ini : 10.924
Kemarin : 15.176
Minggu kemarin : 161.126
Bulan kemarin : 7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Artikel

10 sepember 2009 03:48

MelayuOnline.com, Praksis Perlawanan Terhadap Erosentrisme

MelayuOnline.com, Praksis Perlawanan Terhadap Erosentrisme

Oleh Mahyudin Al Mudra

Pendahuluan

Melayu merupakan penjelmaan dari keluarga bangsa serumpun yang besar dan cukup nyata memberikan pengaruh. Rumpun Melayu adalah suatu rangkaian dinasti besar yang dalam pemaknaannya tidak hanya dibatasi oleh garis-garis eksklusif yang justru melemahkan. Kebesaran bangsa Melayu serumpun yang tercatat dalam lembar-lembar naskah kuno dan kabar-kabar yang melegenda bukanlah sekadar mitos atau isapan jempol semata. Bukti-bukti sejarah yang mengungkap kebesaran bangsa Melayu serumpun di masa silam telah menguatkan kenyataan tersebut bahwa sebuah rumpun bangsa bernama Melayu pernah mengalami masa-masa keemasan dan mewariskan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan peradaban dunia. Begitu luas dan besarnya, seluruh sejarah bangsa Melayu harus dikonsepkan dalam rangkaian cerita, babak, serta episode, yang dalam pendekatannya menjadi tapak dan petak sejarah. Ruang-ruang kecil naratif inilah yang membawakan pelbagai makna dan nuansa, yang menjadikan Melayu besar dan tidak hanya sebagai sebuah jurai keturunan raja-raja Malaka (Salleh,1997: xxvi).

Rumpun Melayu tidaklah sesempit yang dibayangkan. Orang Melayu tidak tertumpu ke dalam sebuah negara-bangsa atau nation-state (Halimi, 2008:xi). Sebagai bangsa yang besar, rumpun Melayu merupakan sebuah jejaring sosial lintas etnis yang sangat kaya akan keberagaman. Bangsa Melayu cukup lekat dengan pluralisme, Melayu bukan bangsa eksklusif yang menutup mata dan hati dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain yang hidup beriringan dan bersama-sama membangun peradaban di bumi manusia ini. Bangsa Melayu menjelma menjadi golongan bangsa yang terbuka serta suatu bangsa yang sangat menjunjung tinggi jalinan silaturahmi dan toleransi. Melayu menyatukan dirinya dalam perbauran ikatan perkawinan antara suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan (Husny, 1975:7).

Namun yang terjadi kemudian justru berkebalikan. Pengertian Melayu seringkali dipahami dengan cara pandang yang sempit sehingga membentuk pemikiran dan pengertian yang terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu pada akhirnya kerap ditinjau lewat sudut pandang tertentu, bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri, yang nyaris selalu didefinisikan melalui sekat-sekat perspektif, termasuk lewat pandangan linguis­tik, politik, geografi, etnik, dan agama. Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang kemudian justru membuat kebesaran rumpun Melayu semakin lama semakin tergerus dan kian lirih gaungnya. Kejayaan Melayu sebagai salah satu rumpun bangsa yang besar di jagat raya ini seolah-olah lenyap tanpa bekas, tenggelam di tengah riuh-rendah persaingan peradaban di bumi, terasing dari gegap-gempita semesta. Hal ini disebabkan oleh efek eksklusifitas yang berdampak pada kecongkakan etnis/suku bangsa tertentu dan memecah-belah serta menempatkan bangsa-bangsa Melayu serumpun ke dalam kotak-kotak yang berdiri sendiri-sendiri. Melayu tidak lagi dipandang secara utuh melainkan diartikan dengan subjektif atas nama kepentingan masing-masing etnis/bangsa yang merasa “memiliki” hak membawa nama rumpun Melayu secara superior.

Kelekatan citra Melayu terhadap suatu wilayah tertentu seolah telah menjadi keniscayaan, bahkan di kalangan orang Melayu itu sendiri. Orang Indonesia, misalnya, pada umumnya berpendapat bahwa kawasan tempat tinggal orang Melayu di Indonesia adalah di daerah Riau, sebuah provinsi yang sejak tahun 2004 terbagi menjadi dua yakni Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau (Ahimsa-Putra, 2007:xi). Satu contoh lagi, dalam lingkup yang lebih luas, Malaysia menjadi negara yang menempatkan dirinya di jajaran paling depan dalam anggapan telah membangun jejaring di antara bangsa-bangsa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Klaim atas identitas Melayu oleh negeri jiran tersebut jelas menimbulkan satu masalah tersendiri. “Sengketa” yang melibatkan dua negara serumpun, Malaysia dan Indonesia, bahkan telah merasuk terlalu dalam pada ranah yang sebenarnya menjadi identitas sejati dari kedua negara itu, yakni jatidiri sebagai bagian dari rumpun bangsa Melayu yang berbudaya luhur dan berperadaban tinggi.

Beberapa kalangan di Malaysia semakin gencar menyatakan bahwa mereka seharusnya dinobatkan sebagai pewaris rumpun Melayu yang sebenar-benarnya, kendati banyak pula orang Malaysia yang tetap berteguh bahwa Nusantara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia Melayu. Salah seorang di antaranya tersebutlah Aimon Muhammad dari Persatuan Penerjemah Malaysia. Aimon melontarkan pernyataan tegas bahwa Melayu sebagai suatu bangsa hendaknya kembali pada semangat Malaka masa lampau dan bekerja dalam kesatuan budaya nusantara yang tidak mengaca pada sejarah politik rantau (di luar tanah Melayu). Hanya dalam gagasan seperti ini, lanjut Aimon, orang rumpun Melayu dapat menyelamatkan nasib bahasa dan bangsa Melayu sendiri (Imron, 2007: 696).

Erosentrisme, Doktrin Eropa yang Akut dan Menyesatkan

Diakui atau tidak, jika ditelisik dari perjalanan sejarahnya, pemahaman yang salah kaprah tentang definisi Melayu disebabkan adanya penanaman dogma Barat yang disuntikkan dalam kurun waktu lama dan turun-temurun. Pemahaman yang ternyata menyesatkan itu merupakan dampak negatif dari ulah bangsa-bangsa Eropa yang menduduki bumi Melayu secara paksa selama berabad-abad. Dalam kurun waktu beratus-ratus tahun itulah kolonialisme dan imperialisme mencengkeram hampir seluruh sektor kehidupan orang dan tanah Melayu. Tidak hanya dalam hal materi dan mental saja yang dirasuki, ranah alam pemikiran pun dipengaruhi dengan berbagai pemikiran khas Barat. Imbasnya, sepenjuru dunia lantas memandang Melayu lewat kacamata Eropa. Bahkan orang-orang Melayu sendiri, hingga turun-temurun dari generasi ke generasi, ikut terseret dan kemudian terjebak ke dalam pusaran arus besar Erosentrisme.

Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad ke-16 seringkali dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini, di mana rumpun Melayu terbilang sangat dominan di dalamnya. Penjelajahan bangsa-bangsa Eropa hingga memperoleh jalan terang menuju nusantara sudah dimulai ketika Portugis mengawali proyek massal tersebut dan menemukan sasaran yang paling penting dalam rangka mencari negeri rempah-rempah, yaitu di ujung timur perdagangan Asia yang berpusat di Malaka. Setelah mengetahui bahwa terdapat surga rempah-rempah di belahan semesta yang nyaris tidak dikenal oleh dunia Eropa kala itu, Kerajaan Portugis lantas mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka, menjalin persahabatan dengan penguasanya, dan menetap di sana sebagai wakil Raja Portugal di sebelah timur India (Ricklefs, 1995:33).

Diogo Lopes de Sequeira pertamakali menginjakkan kaki di tanah Melayu pada 1509. Pada awalnya, kedatangan rombongan Sequeira disambut dengan hangat oleh Raja Malaka, Sultan Mahmud Syah (memerintah 1488-1528), akan tetapi kemudian kaum saudagar internasional dari kalangan Islam mengingatkan bahwa Portugis bisa mendatangkan ancaman bagi eksistensi Kerajaan Malaka. Maka kemudian terjadilah peperangan antara angkatan bersenjata Kerajaan Malaka melawan orang-orang Portugis yang dimotori Sequiera. Tentara Malaka menang dan untuk sementara jazirah Melayu masih aman dari tangan-tangan asing.

Enam tahun berselang, Portugis datang lagi di bawah komando Alfonso de Albuquerque. Bulan April tahun 1511, terjadi pertempuran untuk yang kedua kalinya antara Portugis dan Malaka. Kali ini Malaka berhasil ditaklukkan. Kekalahan Malaka, selain disebabkan kalah canggihnya persenjataan, juga karena di waktu yang hampir bersamaan Kerajaan Malaka sedang diguncang konflik internal yang melibatkan Sultan Mahmud Syah dengan putranya, Sultan Ahmad. Sementara pasca kemenangan Portugis, Albuquerque menetap di Malaka hingga bulan November 1511 dan selama itu dia mempersiapkan pertahanan untuk menangkal setiap serangan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu. Sultan Mahmud Syah sendiri bersama keluarga kerajaan terpaksa harus melarikan diri dari wilayah kerajaannya yang sudah dikuasai Portugis. Sultan mencari perlindungan ke Johor dan kemudian ke Pulau Bintan (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 354).

Setelah penaklukan perdana oleh Portugis, berturut-turut bumi Melayu tidak henti-hentinya dikuasai bangsa Eropa silih-berganti. Kepulauan nusantara seakan-akan menjadi mangsa yang begitu menggiurkan. Bangsa Barat yang datang selanjutnya adalah Belanda. Mereka mewarisi aspirasi dan strategi sekaligus keberanian dan kekejaman ala Portugis namun dengan peralatan yang lebih komplit. Orang-orang Belanda membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal, serta dukungan keuangan yang lebih baik (Ricklefs, 1997:37). Belanda tidak hanya sekadar datang untuk berdagang, tetapi juga menanamkan pengaruh kekuasaan yang meliputi berbagai sektor, terutama aspek politik dan ekonomi. Kolonialis Belanda kian dalam menancapkan kukunya di kepulauan nusantara dengan mendirikan Vereeniging Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur pada Maret 1602.

Kedatangan Belanda yang kemudian segera merajai monopoli perniagaan di nusantara melalui tangan dingin VOC membuat eksistensi Portugis terancam. Portugis meninggalkan Maluku dan Nusa Tenggara pada 1613, mereka mulai terdesak hingga ke Sailon (Srilanka), menjelang penyerahan Malaka yang terjadi setahun kemudian. Sedangkan Inggris tidak mendapat kesempatan melakukan ekspansi dalam operasinya di nusantara dan akhirnya tinggal di suatu loji di Banten. Sementara bagi Belanda, sebagai kekuatan utama kolonialisme Eropa di Indonesia waktu itu, masih harus menghadapi tiga kekuasaan yang masih eksis dan berpotensi mengancam keberadaan mereka, yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram (Kartodirdjo, 1999:75). Namun, berkat kelicikan dan kekuatan mutakhir yang dipunyai VOC, Belanda mampu menundukkan pusat-pusat peradaban di nusantara itu dan semakin leluasa menancapkan jejaring kapitalismenya.

Kuasa Belanda atas wilayah Melayu semakin kuat mencengkeram dengan disepakatinya Traktat London, perjanjian antara Belanda dan Inggris yang dilakukan pada 17 Maret 1824. Perjanjian ini secara sepihak telah membagi wilayah Melayu menjadi dua, yaitu sebelah utara menjadi daerah kekuasaan Inggris, dan selatan menjadi daerah kekuasaan Belanda. Pembagian administratif kolonialis semacam itu pada akhirnya melahirkan wilayah Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, serta Malaysia dan Singapura bersama panji-panji imperialisme Inggris. Bahasa Melayu di tiga negara itu pun berkembang di bawah pengaruh bahasa masing-masing negara kolonial itu. Bahasa Melayu-Indonesia banyak dipengaruhi bahasa Belanda, sedangkan bahasa Inggris menanamkan pengaruhnya terhadap bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia dan Singapura.

Belanda, melalui VOC yang lantas beralih rupa menjadi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, menduduki nusantara selama sekian abad. Belanda melepaskan Indonesia ketika mereka takluk oleh Jepang pada 1942 ketika Perang Asia Timur Raya, sebagai rangkaian dari Perang Dunia II, meletus. Jepang, penjajah dengan wajah baru yang mengaku sebagai “saudara tua” Indonesia, mengambil-alih kuasa Belanda di nusantara hingga pada akhirnya Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Penguasaan atas seluruh sendi kehidupan di wilayah kepulauan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia, di mana rumpun Melayu berada di jajaran terdepan, meninggalkan dampak yang cukup dahsyat bahkan hingga turun-temurun ke generasi-generasi selanjutnya. Efek negatif itu bukan hanya membekas pada tataran fisik dan mental saja, melainkan juga menjangkiti ranah pemikiran dan perspektif dalam melihat sejarah nasional, dalam hal ini riwayat rumpun Melayu di Indonesia. Ironisnya, pandangan sempit tentang Melayu bentukan kolonial itu justru dianut oleh kebanyakan orang Melayu itu sendiri. Suku bangsa Melayu yang tadinya solid dan meluas meliputi sebagian besar wilayah nusantara, juga di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, kini menjadi terpecah-belah, terkotak-kotak berdasarkan wilayah, bahkan saling berlomba-lomba mengklaim diri sebagai etnis/bangsa Melayu yang paling awal dan asli.

***

Ada beberapa perspektif umum yang selama ini digunakan sebagai untuk menelaah hal-ihwal kemelayuan. Sangat mungkin pandangan umum tersebut merupakan warisan dari tradisi Erosentrisme yang memang telah menjadi doktrin serta sudah berlangsung lama, akut, dan boleh jadi menyesatkan. Pandangan sempit yang menyebutkan bahwa tanah Melayu cuma melingkupi segelintir wilayah yang selama ini lazim dipercayai sebagai daerah asal Melayu, antara lain Sumatra, Kalimantan, dan negara-negara serumpun lainnya, besar kemungkinan paradigma tersebut merupakan efek turunan dari pemahaman Melayu ala Barat alias Erosentrisme. Padahal, apabila mau diselidiki lebih lanjut, pengaruh Melayu sangatlah meluas dan melampaui wilayah-wilayah yang dikultuskan sebagai tempat lahir bangsa Melayu itu.

Terdapat konsep yang masih menjadi keyakinan lazim yang dianut oleh banyak kalangan hingga saat ini, yakni bahwa seseorang dianggap sebagai (orang) Melayu apabila ia menetap di kawasan Melayu, berbicara bahasa Melayu, mengamalkan adat-istiadat Melayu, dan memeluk agama Islam. Tentang Islam, ajaran agama ini masih menjadi tolok ukur yang umum dipakai khalayak untuk melihat Melayu. Masuknya agama Islam ke nusantara mem­bawa pengaruh yang besar terhadap buda­ya setempat sehingga memberikan ciri keislaman yang kuat. Pandangan hidup orang Melayu menjadi identik dengan pandangan hidup berdasarkan Islam, yaitu pandang­an duniawi dan ukhrowi seperti yang diajarkan oleh Islam (Suwardi, 1991). Oleh karena itu, muncul sebuah pemahaman bahwa salah satu syarat untuk menjadi orang Melayu adalah dengan memeluk agama Islam. Apabila seorang non-Islam melepaskan agamanya kemudian menganut agama Islam, maka ia menjadi orang Melayu.

Secara ontologis, kemelayuan dan keislaman merupa­kan dua dimensi yang berbeda. Etnis Melayu merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Sementara itu Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubung­an dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horison­tal, sedangkan yang kedua hubungan vertikal. Maka jika definisi Melayu dibatasi pada identitas etnik, ras dan agama, akan mencip­takan posi­si yang tumpang tindih antara agama sebagai sistem kepercayaan dan etnisitas sebagai struktur sosial (Ansor, 2005).

Pemahaman lain tentang kemelayuan yang cenderung menjadi acuan di masa sekarang adalah pembagian ciri-ciri Melayu dengan melihat dari beberapa aspek, antara lain: Melayu sebagai ras, Melayu sebagai suku bangsa, dan Melayu sebagai suku. Ketiga opsi ini memuat pemaknaan yang berbeda-beda. Pertama, yang digolongkan ke dalam ras Melayu adalah orang-orang yang berkulit cokelat. Dalam konteks geografis, ini berarti semua orang di nusantara yang berkulit cokelat adalah termasuk ras Melayu. Kedua, Melayu sebagai suku bangsa. Perkembangan sejarah dan perubahan politik meng­akibatkan ras Melayu tersebar di beberapa belahan dunia, yang paling banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina di bagian selatan, Kamboja, Laos, Vietnam, serta Srilanka. Ketiga, Melayu sebagai suku. Pengertian yang ketiga ini paling sempit karena hanya menunjuk kepada suku-suku tertentu, seperti yang ada di Sumatra, Kalimantan, dan daerah-daerah serumpun lainnya. Seseorang yang berasal dari luar suku-suku Melayu tersebut berarti ia tidak termasuk dalam kategori orang Melayu (Lutfi, 2007). 

Melihat Melayu dari Pandangan Orang Melayu

Ditelisik dari rumpun bangsanya, yaitu Austronesia, bangsa-bangsa Melayu memiliki jejaring serumpun yang sangat luas. Di lingkup Nusantara, nyaris seluruh wilayah di kepulauan ini dapat dikategorikan sebagai rumpun Melayu, kecuali Papua dan Nusa Tenggara Timur yang berbeda rumpun bangsanya (Melanesia). Melebar dalam lingkup regional/global, pengaruh Melayu juga relatif kental di lintas kawasan bahkan benua, di antaranya Laos, Vietnam, Myanmar, Afrika Selatan, Madagaskar, bahkan Pulau Cocos dan Pulau Krismas yang terletak di Oceania (Melebek & Moain, 2006). Apabila Jawa dihitung sebagai bagian dari rumpun Melayu, jejaring Melayu akan lebih luas lagi hingga ke Suriname yang menempati lokasi di Amerika Selatan. Daerah bekas koloni Belanda yang dahulu bernama Guyana Belanda ini menempatkan bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa yang paling sering digunakan. Selain itu, berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, sekitar 18 persen warga negara Suriname adalah orang Jawa dari sekitar 481.146 orang penduduk negara ini.

Beberapa kalangan yang peduli dengan urusan-urusan kemelayuan serta berpedoman atas dasar Melayu yang majemuk dan tidak elitis untuk kepentingan etnis/bangsa tertentu, mulai menggalakkan kampanye pelurusan perspektif kemelayuan yang setara dan bermartabat. Setara dalam arti meminimalisir pengklaiman oleh satu etnis/bangsa yang merasa dirinya paling Melayu dan berhak “mewarisi” segala hal yang berhubungan dengan kemelayuan. Sedangkan bermartabat dapat dimaknai bahwa rumpun Melayu merupakan peradaban yang memiliki kekhasan dan keagungan budaya yang beragam, dan oleh karenanya sangat disayangkan jika terjadi persaingan tidak sehat dengan mengkultuskan salah satu unsur yang membangun jejaring Melayu yang besar itu. Tugas berat nan mulia untuk kesetaraan tersebut bisa dilakukan dengan mulai membiasakan diri untuk memandang Melayu dari kacamata orang Melayu sendiri, bukan berdasarkan pandangan Barat (Erosentrisme) atau bangsa-bangsa non-Melayu lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa gelombang Erosentrisme sudah sampai pada level akut dan mempengaruhi gaya pandang serta pola pikir publik dalam melihat Melayu, bahkan di dalam kalangan orang-orang Melayu sendiri. Untuk itulah, diperlukan upaya serta langkah strategis, tentu saja dengan tetap menghargai proses dan perjalanan masa, untuk mengembalikan jatidiri Melayu yang sebenarnya, memulihkan identitas sejati Melayu seperti sebelum terpengaruh sepenuhnya oleh kuasa Barat. Batas-batas elitis yang selama ini melingkupi dunia Melayu, dengan adanya definisi-definisi Melayu yang ditinjau dari perspektif linguis­tik, politik, geografi, etnis, bahkan agama, ada baiknya diperluas untuk mewujudkan rumpun Melayu yang bersatu, setara, dan bermartabat. Melayu bukan sekadar golongan etnis, wilayah, atau terbatas pada penganut golongan agama tertentu. Melayu adalah pandangan dan gaya hidup. Melayu adalah kehidupan yang multikultur, dan yang pasti Melayu adalah suatu peradaban budaya yang besar, megah, dan sangat berpotensi untuk berkontribusi pada perkembangan dunia.

Sekian lama Melayu diperalat, diperbudak, bahkan dikendalikan oleh pandangan versi Eropa. Itulah yang sebenarnya menjadi penghambat utama bagi rumpun Melayu untuk maju, apalagi untuk mewujudkan tujuan besar: menyatukan Melayu se-dunia. Pengaruh Erosentrisme telah meletakkan hegemoni secara vertikal dalam membentuk kerangka berpikir semua orang, termasuk orang Melayu sendiri, tentang Melayu. Salah satu upaya untuk mendekonstruksi hegemoni vertikal yang diterapkan oleh Barat adalah dengan cara melawan secara horizontal, yakni dengan menyatukan dan mempersolid kekuatan serta menambah frekuensi tindakan komunikatif dan relasi di antara puak-puak Melayu, baik yang terpusat di kawasan Asia Tenggara maupun yang terpencar di beberapa penjuru bumi. Mempersatukan Melayu se-dunia bertujuan jangka panjang untuk membumikan Melayu. Caranya adalah dengan bersama-sama membenahi pandangan orang tentang Melayu dengan membangun pandangan yang berbeda dalam tataran horizontal melalui perspektif dari orang Melayu sendiri,

Salah kaprah yang selama ini menjangkiti perspektif kemelayuan harus diluruskan dengan mengembalikan pencitraan ciptaan Barat itu kepada perspektif Melayu pra kolonial. Pandangan meremehkan orang Melayu sebagai bangsa yang inferior wajib dihapuskan, dan tidak ada yang bisa meluruskan jatidiri kemelayuan kecuali bangsa-bangsa Melayu serumpun itu sendiri. Orang Melayu serumpun hendaknya bersatu-padu untuk melawan perspektif Erosentrisme yang telah menyebabkan adanya sekat-sekat yang melemahkan rumpun Melayu. Paradigma lama tersebut harus dilawan dengan cara memetakan dan mencari kelebihan serta kekurangan dengan tujuan memberi keleluasaan pada bangsa-bangsa Melayu serumpun untuk berkembang secara utuh. Dengan cara begini, orang Melayu akan belajar dan berproses dalam melihat dan mengidentifikasi dirinya sendiri untuk kemudian bersiap memberikan warna dan sumbangsih terhadap tatanan dunia internasional.

MelayuOnline.com, Instrumen Nyata Melawan Erosentrisme

Segala macam teori yang diwacanakan untuk mengembalikan jatidiri Melayu dalam upaya melawan hegemoni Erosentrisme tiadalah berguna apabila tidak segera disertai tindakan yang konkret. Maka dari itulah, tanpa banyak cakap dan basa-basi, diluncurkanlah situs www.MelayuOnline.com. pada 1 Mu­harram 1428 Hijriah atau 20 Januari 2007 dalam penanggalan Masehi. MelayuOnline.com merupakan portal tentang dunia Melayu sedunia yang dihadirkan sebagai wujud nyata perlawanan terhadap Erosenstrisme. Gagasan peluncuran MelayuOnline.com tersebut adalah hal yang baru dan segar dalam tradisi kemelayuan, yakni menggunakan media futuristik untuk mengkampayekan budaya dan tradisi Melayu.

Peradaban Melayu adalah peradaban yang berkembang mengikuti arah dan kemajuan zaman. Sudah cukup lama warga Melayu merindukan dunia Melayu yang ditandai dengan gemuruh teknologi canggih yang menguntungkan masyarakat Melayu. Oleh karena itu, membangun Melayu bukan sekadar membangun di bumi Melayu, melainkan membangun manusia-manusia Melayu sehingga masyarakat Melayu bisa meraih kehormatan lahir dan batin sebagai khalifah Tuhan di bumi, yaitu Melayu yang berdaya dan berjaya serta bisa menyelesaikan garapan dan tantangan hidupnya tanpa bergantung pada orang lain.

Kebudayaan modern dan post-modern menimbulkan per­ubahan di berbagai aspek kehidupan dengan tingkat kecepatan yang me­ngejutkan. Perubahan itu dipicu oleh kecepatan per­tukaran informasi yang disajikan setiap detik oleh cybermedia, televisi, radio dan media-media lain (Adeney,2004). Media-media informasi itu mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan dunia baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Batas antara Indonesia, Malaysia, dan negara-negara di Eropa atau Amerika menjadi tidak jelas karena telah “dilipat-lipat” media modern, kemudian dimasukkan ke dalam alat tertentu, seperti komputer dan televisi.

Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu proses penting karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial dan budaya (Abdullah, 2006). Proses perubahan terpenting yang melanda masyarakat Melayu adalah perubahan cara berpikir dan cara memandang dunia. Sebelum MelayuOnline.com ada, warisan khazanah Melayu masih berupa mozaik yang berserakan di mana-mana. MelayuOnline.com hadir dengan tujuan merajut kem­bali mozaik itu dan menyajikannya dalam satu dokumentasi digital tanpa batas tentang peradaban Melayu dari masa ke masa. Peradaban Melayu adalah salah satu peradaban besar di dunia yang pernah mencapai kegemilangan selama beberapa abad.

Dalam kaitan upaya perlawanan Melayu terhadap hegemoni Erosentrisme, kehadiran MelayuOnline.com merupakan jawaban konkret dan nyata atas beragam wacana yang mengemuka selama ini. MelayuOnline.com memiliki kekuatan yang dirasa cukup mampu diandalkan untuk mengefektifkan hubungan antar puak-puak Melayu yang terserak di seantero jagat raya. Sebagai portal terbesar dan terlengkap dalam tataran portal-portal sejenis, MelayuOnline.com dapat diakses dari seluruh dunia, ditambah pula dengan relasinya yang kuat mencakup banyak negara di level internasional. MelayuOnline.com mempunyai potensi yang cukup besar untuk mempersatukan dunia Melayu serumpun karena portal ini telah mendapat pengakuan dari pihak-pihak yang sangat kompeten di ranah kemelayuan.

Perkembangan terakhir, pada 11 Juni 2009 yang baru lalu, bertempat di Kedah, Malaysia, para perwakilan dari sejumlah negara Melayu serumpun, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, serta Thailand, menandatangani dokumen yang menyatakan dukungan terhadap eksistensi MelayuOnline.com. Masyarakat Melayu serumpun berharap, kehadiran MelayuOnline.com dapat menjadi wahana jembatan solidaritas rumpun Melayu sedunia dan mampu mewarnai laju perkembangan globalisasi yang cenderung berwajah tunggal.

Situs www.MelayuOnline.com terlahir dari gagasan para penggiat budaya Melayu yang tergabung di bawah naungan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) dengan pusatnya di Yogyakarta. Saat ini, BKPBM sudah melahirkan beberapa portal bernuansa kemelayuan sebagai wujud komitmennya untuk menegakkan kembali kejayaan Melayu. Selain www.MelayuOnline.com, telah hadir pula situs www.WisataMelayu.com, www.rajaalihaji.com, dan www.ceritarakyatnusantara.com, yang semuanya berdiri gagah di bawah kibaran bendera BKPBM.

Salah satu tugas intelektual para pendukung MelayuOnline.com adalah memahami realitas yang sedang terjadi dengan cermat, kemudian menciptakan langkah-langkah konkret untuk memperbaikinya. Di sini MelayuOnline.com mencoba memainkan perannya secara optimal, yaitu menduniakan nilai-nilai luhur Melayu untuk membangun peradaban dunia. Prinsip unik yang dipegang teguh MelayuOnline.com adalah melestarikan dan mengembangkan warisan kebudayaan Melayu serta mengambil hal-hal baru dari kebudayaan modern yang dirasa baik. MelayuOnline.com merupakan wujud kesadaran bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat Melayu tidak mungkin dihindari sehingga harus dirumuskan secara tepat dan cepat bagaimana mengarahkan perubahan itu ke arah yang lebih baik.

Sebagai realisasi dari perjuangan melawan Erosentrisme, MelayuOnline.com merupakan proses yang never ending, tanpa mengenal batas akhir, dengan tampilan futuristik yang elegan dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perlawanan terhadap doktrin Barat yang mencengkeram rumpun Melayu selama ini adalah perjuangan panjang yang sarat jalan terjal dan berliku. Ketegasan perlawanan MelayuOnline.com terhadap paradigma menyesatkan yang diusung oleh Erosentrisme semakin mantap dengan dicanangkannya tiga misi penting. Pertama, MelayuOnline.com berupaya untuk terus menggali, memelihara, mengekalkan, mengembangkan, dan mempublikasikan semua tentang Melayu serta kemelayuan secara sistematis dan kompre­hensif. Kedua, memanfaatkan media informasi modern (cybermedia) untuk memben­tuk opini dunia terhadap kemelayuan yang selama ini sangat terpengaruh oleh pandangan Erosentrisme. Ketiga, merekonstruksi paradigma pemikiran Melayu untuk dapat diadaptasikan dengan alam pikiran modern. Keempat, inilah poin terpenting sebagai salah satu wujud perlawanan terhadap Erosentrisme, yakni dengan meredefinisikan Melayu secara luas dan tidak eksklusif seperti yang terjadi selama ini. Kajian kemelayuan yang dianut MelayuOnline.com tak mengenal sekat-sekat ras, etnis, politik, apalagi agama.

MelayuOnline.com memaknai Melayu sebagai sebuah kultur, bukan Mela­yu sebagai suku, etnis, atau entitas budaya dalam arti sempit lainnya. Melayu versi MelayuOnline.com dimaknai sebagai setiap tempat, komunitas, kelompok masyarakat ataupun daerah di belahan dunia manapun yang masih atau­pun pernah menjalankan tradisi dan adat-istiadat Melayu. Seca­ra historis, kesamaan budaya masyarakat Melayu telah terjalin selama berabad-abad. Hal itu bukanlah ikatan sesaat yang sempit yang didasarkan pada ikatan darah (genealogis), tetapi lebih pada ikatan kultural (cultural bondage). Dengan demikian, kata “Melayu” yang dipahami oleh MelayuOnline.com merujuk kepada setiap masyarakat penutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam budaya Melayu.

Pandangan kemelayuan oleh MelayuOnline.com yang sangat pro-pluralisme itu terlihat dari menu-menu yang disajikan di portal MelayuOnline.com. Menu-menu tersebut merefleksikan keberagaman dengan tidak bertumpu pada satu keyakinan tertentu semata. MelayuOnline.com diorentasikan untuk menjadi por­tal dunia Melayu terbesar di dunia. Paradigma baru yang memandang dunia Melayu secara luas, beragam, dan objektif diwujudkan ke dalam struk­tur-struktur portal yang sistematis, komprehensif, serta ilmiah. Penyusunan struktur yang sistematis ber­tujuan memudahkan bagi siapa saja yang ingin mengetahui Melayu dan kemelayuan, baik secara ringkas sepintas maupun serius menda­lam. Seluruh aspek Melayu, seper­ti sejarah, budaya, sastra, bahasa dan lain-lain telah diklasifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah struktur yang menunjukkan betapa sejarah dan budaya Melayu begitu kaya akan khazanah keilmuan. Dari struktur MelayuOnline.com tersebut, dapat dilihat kegemilangan sejarah dan kebudayaan Melayu pada masa lalu melalui media penyampaian berteknologi mutakhir.

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa MelayuOnline.com dengan tegas memposisikan dirinya sebagai instrumen yang memberi kemudahan kepada seluruh warga Melayu di manapun dan kapanpun untuk bersama-sama menjalin komunikasi dan relasi demi mengembalikan jatidiri bangsa Melayu yang sejati. MelayuOnline.com merupakan penegas dan bisa dijadikan senjata ampuh untuk menggeser paradigma kemelayuan ciptaan Barat. Akhir kalam, dengan semangat keberagaman Melayu, MelayuOnline.com didaulat untuk mewujudkan dunia Melayu yang seutuhnya, yang tidak terkontaminasi pengaruh Erosentrisme, yang berjuang demi mengembalikan kejayaan peradaban Melayu di masa silam dengan tujuan agar peradaban Melayu bisa kembali memberi faedah bagi kemajuan peradaban dunia. MelayuOnline.com tercipta sebagai pengikat dan pemersatu bangsa-bangsa Melayu serumpun tanpa kecuali dalam rangka membangun jejaring Melayu yang setara dan bermartabat.

Penutup

Kajian tentang kemelayuan yang dilakukan oleh banyak kalangan selama ini ternyata masih memandang Melayu dengan kacamata Barat, di mana Melayu dikondisikan sebagai bangsa yang tersekat-sekat ke dalam berbagai koridor pembatas yang sempit. Paradigma Erosentrisme, yang lahir atas andil kolonialisme Eropa di tanah Melayu selama ratusan tahun, bahkan menyudutkan bangsa Melayu sebagai bangsa yang inferior dan dianggap tidak mampu memberikan sumbangsih yang berarti banyak bagi kemajuan peradaban dunia.

Salah satu cara yang dilakukan untuk meminimalisir atau bahkan melenyapkan pengaruh Barat tersebut adalah dengan membangun jejaring Melayu yang setara dan bermartabat di antara puak-puak Melayu serumpun, baik di regional Asia Tenggara maupun penganut jejak-jejak Melayu yang tersebar di berbagai penjuru bumi lainnya. Membangun jejaring Melayu yang setara dan bermartabat dapat terwujud apabila terjadi tindakan komunikasi dan relasi yang intens serta efektif. Tindakan komunikasi ini dilakukan untuk melawan perspektif kemelayuan gaya Barat yang diproses secara vertikal selama ratusan tahun. Untuk melawannya, rumpun Melayu harus bisa membangun kekuatan, melakukan proses berbeda secara horizontal, dengan menjalin persatuan di kalangan puak-puak Melayu serumpun yang beragam itu. Proses perlawanan horizontal ini pada akhirnya akan digunakan sebagai senjata melawan Erosentrisme, yakni dengan bersama-sama membangun perspektif yang berbeda dalam memandang kemelayuan di mana kali ini paradigma Melayu dilihat dari perspektif orang Melayu sendiri.

Sebagai wujud realisasi dari upaya-upaya perlawanan terhadap Erosentrisme yang sudah terlanjur akut, diluncurkanlah portal Melayu yang diharapkan bisa menjadi jaringan sosial online terbesar di dunia. Www.MelayuOnline.com, yang dibidani oleh Badan Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Referensi:

  • Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebuda­yaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Adeney, T. Bernard. 2005. “Tantangan dan Dampak Kebuda­yaan Modern dan Pasca Modern”, dalam Benard T. Adeney (ed.). Sociology of Re­ligion Reader.Yogyakarta: CRCS.    
  • Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. “Wacana Pembuka: Mencari Jati Diri Melayu”, dalam Koentjaraningrat,  dkk., Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
  • Ansor, Muhammad. 2005. “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas”, dalam Baharuddin Husin dan Dasril Affandi (eds), Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Jakarta: Persatuan Masyarakat Riau-Jakarta.
  • Halimi, Ahmad Jelani. 2008. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan  Publications & Distributors.
  • Husny, Tengku H.M. Lah. 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisir Deli  Sumatra Timur, 1612-1950. Medan: BP Husny.
  • Imron, D. Zamawi. 2007. “Melayu di Mata Non-Melayu”, dalam Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
  • Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500—1900, Dari Emporium sampai  Imperium, Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Lutfi, H. Muhctar. 2007. “Melayu dan Non-Melayu: Masalah Pembauran Kebudayaan”, dalam Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
  • Melebek, Abdul Rashid & Moain, Amat Juhari. 2006. Sejarah Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Seri  III. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Salleh, Muhammad Haji (ed.). 1997. Sulalat Al-salatin Ya`ni Perteturun Segala Raja-Raja (Sejarah Melayu) /Karangan Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • Suwardi. 1991. Budaya Melayu dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI.

__________

Mahyudin Al Mudra, Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) dan Pemimpin Umum www.MelayuOnline.com.


Dibaca : 3.405 kali.

Tuliskan komentar Anda !