Kamis, 9 Oktober 2025 |Jum'ah, 16 Rab. Akhir 1447 H
Pengunjung Online : 685
Hari ini
:
10.923
Kemarin
:
15.176
Minggu kemarin
:
161.126
Bulan kemarin
:
7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314 Sejak 01 Muharam 1428 ( 20 Januari 2007 )
AGENDA
Belum ada data - dalam proses
Artikel
17 februari 2010 03:08
MelayuOnline.com Mempersatukan Diasporian Melayu Sedunia
Oleh Mahyudin Al Mudra, SH, MM
A. Pendahuluan
Bangsa Melayu adalah tipikal manusia diaspora. Sejak zaman dahulu, orang-orang Melayu sudah dikenal sebagai kelompok pelaut yang tangguh dan gemar sekali berkelana ke negeri-negeri lain, terutama untuk berdagang. Pelayaran dan perdagangan merupakan karakter budaya Melayu (Siti Nur Hidayah, 2008). Sebagai contoh adalah suku bangsa Bugis/Makassar yang memang terkenal sebagai para penjelajah samudera yang pemberani, demikian juga dengan orang-orang Aceh dan Malaka yang memiliki jaringan perniagaan yang sangat luas. Perpaduan antara ketangguhan jiwa, raga, dan kecakapan orang Melayu dalam bergaul membuat upaya pembauran yang diusung dalam misi diaspora dapat berjalan dengan relatif mudah dan lancar.
Kata “diaspora” sendiri diambil dari bahasa Yunani kuno, yaitu berasal dari kata “diasperien”. Istilah ini terdiri dari dua suku kata, yakni “dia” yang berarti “lintas” atau “penyebaran”, dan “sperien” yang bermakna “menanam benih”. Dengan demikian, kata “diaspora” dapat dijadikan rujukan untuk menyebut bangsa, penduduk, etnis, atau komunitas yang telah meninggalkan tanah kelahirannya untuk kemudian menempati daerah baru (Anita Mannur dalam Braziel [eds.], 2003). Penyebaran kaum diasporian di berbagai pelosok dunia, termasuk diaspora bangsa Melayu, telah memunculkan beragam perkembangan sebagai dampak dari aktivitas mereka sehingga melahirkan kebudayaan atau peradaban baru. Lahirnya kebudayaan baru tersebut merupakan perpaduan dari budaya asli yang dibawa kaum diasporian dengan budaya lokal di tempat-tempat yang mereka datangi.
Gerak diaspora yang dilakukan oleh para pelaut Melayu mengemban peran penting dalam upaya penyebaran budaya Melayu. Jalur yang dilalui kaum diasporian Melayu tercetak jelas di sebagian besar kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, bahkan sampai ke benua Afrika. Ditemukannya berbagai macam jejak budaya Melayu di negeri-negeri di luar rumpun Melayu tersebut adalah bukti bagaimana diaspora sangat bermanfaat sebagai sarana untuk mengenalkan dan semakin membumikan budaya Melayu. Selain itu, diaspora Melayu juga telah menunjukkan bahwa bangsa Melayu bukanlah golongan yang homogen dan eksklusif, melainkan merupakan suatu bangsa berperadaban besar dan terbuka dengan kekayaan budaya yang beraneka-ragam.
B. Persebaran Diaspora Bangsa Melayu Serumpun
Nenek moyang orang Melayu adalah kaum pelaut yang sering berpindah-pindah tempat atau pelaut yang nomaden. Ketangguhan para pelaut nomaden dari tanah Melayu ini dapat dilihat dari luasnya jalur diaspora yang telah mereka tempuh, antara lain meliputi Riau, Semenanjung Malaya, Pulau Luzon, Kepulauan Maluku, pantai barat Jawa, kawasan Asia Tenggara, bahkan sampai India, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Maka tidaklah mengherankan bila di tempat-tempat yang pernah disinggahi dan dihuni para pelaut Melayu itu masih meninggalkan aroma Melayu dalam sisa-sisa kebudayaan dan peradabannya.
Seperti yang telah disinggung dalam bagian sebelumnya, salah satu pergerakan diaspora bangsa Melayu dilakukan melalui jalur perdagangan. Selain bakat dagang dan naluri jelajah yang dimiliki orang-orang Melayu, banyak tempat di bumi Melayu yang pada masanya menjadi bandar niaga yang strategis dan ramai dikunjungi para saudagar dari lain-lain tempat, sebut saja Malaka, Aceh, dan juga Maluku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan dagang antara orang-orang Melayu dan kaum saudagar dari mancanegara sudah terjalin dengan baik sejak dulu.
Sebelum bumi Melayu didatangi bangsa-bangsa Eropa, para pelaut Melayu sudah menjalin hubungan dagang dengan kaum pedagang dari negeri-negeri lain, seperti India, Cina, negara-negara di Timur Tengah, dan Afrika. Hubungan perdagangan antara orang-orang Melayu dengan para saudagar India, misalnya, diperkirakan telah dimulai sejak abad ke-3 Masehi. Diperkirakan, pada waktu itu sudah banyak orang Melayu yang berdagang sampai ke India mengingat mereka adalah kaum pelaut ulung yang dikenal sangat gigih dan pemberani.
Dampak nyata dari hubungan ini terlihat jelas pada abad ke-5, di mana pengaruh Hindu dan Buddha yang notabene berasal dari India (dan Cina) berkembang pesat di sejumlah tempat di nusantara. Kerajaan Kutai di Kalimantan, patung-patung Buddha gaya Amaravati yang ditemukan di beberapa tempat di Sulawesi, Jawa, dan Sumatra menunjukkan perkembangan pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang cukup signifikan pada abad itu (D.G.E. Hall, 1988).
Jaringan global yang berhasil direngkuh kaum diasporian Melayu semakin terlihat ketika ditemukan fakta bahwa banyak kerajaan-kerajaan Melayu yang menjalin hubungan kerjasama, baik dalam bidang perdagangan, pendidikan, kebudayaan, ataupun politik, dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Hubungan diplomasi semacam ini boleh jadi dapat dimasukkan juga dalam kategori diaspora, karena tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang kerajaan atau kaum pedagang Melayu yang berkunjung ke negeri-negeri mancanegara itu kemudian berbaur dengan penduduk asli, misalnya melalui ikatan perkawinan, bahkan menetap dan kemudian beranak-pinak di sana.
Salah satu kerajaan Melayu yang menjalin hubungan erat dengan negeri-negeri asing adalah Kesultanan Samudera Pasai yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kesultanan yang berdiri di atas puing-puing peradaban Hindu-Buddha yang pernah eksis di Aceh pada masa sebelumnya itu didirikan Sultan Malik Al-Salih pada tahun 1297 M (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006). Sebelum menjadi Sultan Samudera Pasai, Malik Al-Salih yang bernama asli Marah Silu, memeluk agama Hindu. Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Samudera Pasai telah menjalin hubungan diplomatik dengan banyak bangsa lain di dunia, termasuk Cina, Mongol, India, Timur Tengah, dan Mesir (Muhammad Gade Ismail, 1997).
Selain faktor perniagaan dan hubungan diplomatik antar bangsa, diaspora Melayu juga terjadi karena beberapa sebab lainnya, termasuk sebagai dampak dari peperangan serta imbas dari kolonialisme dan imperialisme Eropa. Sebagai contoh adalah kedatangan orang-orang Melayu ke Cape Town, dulu dikenal dengan nama Tanjung Harapan, di Afrika Selatan, pada sekitar abad ke-15. Diaspora bangsa Melayu ke Cape Town merupakan salah satu akibat dari penjajahan oleh bangsa Eropa di nusantara, khususnya yang terjadi di bumi Melayu. Pada waktu itu, Cape Town memang dijadikan sebagai tanah pembuangan oleh kaum penjajah Belanda bagi orang-orang pribumi/Melayu yang dianggap membangkang.
Syekh Yusuf Makassar, ulama terkenal kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, pernah dibuang ke Cape Town oleh Belanda. Syekh Yusuf adalah orang penting di balik kebesaran Kesultanan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683). Pada bulan Juli 1693, Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya tiba di Afrika Selatan dengan kapal “de Voetboog”. Mula-mula mereka ditempatkan di Zandvliet (Madagaskar). Kemudian, Syekh Yusuf mengajarkan Islam dan membentuk komunitas muslim di Cape Town. Oleh penulis-penulis Barat, komunitas ini disebut sebagai orang-orang Slammajer (Abu Hamid, 1994). Hingga kini, nama Syekh Yusuf, yang notabene adalah orang Melayu, tetap dikenang dan disebut oleh setiap penulis yang membicarakan sejarah dan perkembangan Islam di Afrika Selatan.
Pada tahun 1780, giliran Imam Abdullah bin Qadi Abdus Salaam atau yang sering dikenal dengan panggilan Tuan Guru, ulama dari Kesultanan Tidore, yang diasingkan ke Cape Town. Selama 13 tahun, Tuan Guru ditahan di Pulau Robben sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, Tuan Guru tetap melanjutkan perjuangan Syekh Yusuf, yakni menyebarkan agama Islam di Afrika Selatan (Bunyamin Marasabessy, 2005).
Terdapat bukti sahih bahwa kebudayaan Melayu pernah sampai di Afrika Selatan. Setidaknya terdapat 350 kosa kata bahasa Melayu yang masih digunakan di Cape Town, di antaranya adalah minta maaf (mohon maaf), terama kasie (terima kasih), sembahyang (beribadah), wagtoe (waktu), labarang (lebaran), badjoe (baju), tusok konde (tusuk konde), dan lain-lainnya. Bahkan adat-istiadat dalam tradisi Melayu, seperti memotong rambut bayi, menguburkan jenazah, dan mendoakan jenazah setelah 3 hari, 7 hari, 40 hari, hingga 100 hari, juga berlaku di dalam keseharian warga Cape Town seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Melayu.
Komunitas muslim, yang boleh juga disebut sebagai komunitas Melayu, di Afrika Selatan ini masih eksis sampai sekarang dan menempati sebuah daerah yang dikenal dengan nama Kampung Makassar (Maccasar), yang tidak lain adalah tempat asal Syekh Yusuf (Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan). Hingga saat ini, jumlah warga keturunan Melayu muslim yang bermukim di Cape Town mencapai 800 ribu orang dari total populasi penduduk Cape Town yang berjumlah 3,27 juta (www.antara.co.id).
Tradisi dan pemakaian kosa kata bahasa Melayu juga terlihat dalam kehidupan masyarakat Cham (Champa). Cham adalah nama sebuah kerajaan yang dulu menguasai wilayah Vietnam bagian selatan. Konon, orang-orang Cham pernah berinteraksi dengan orang-orang Melayu Aceh (Mohamed Effendy bin Abdul Hamid, 2009). Graham Thurgood, misalnya, berpendapat bahwa ada sebuah hubungan yang erat antara bahasa Aceh dan bahasa Cham. Dalam hal ini, Thurgoog mengutip karya-karya yang membandingkan kemiripan antara puisi epik Aceh dengan sajak-sajak berbahasa Cham (Graham Thurgood, 1999).
Diaspora orang-orang Melayu ke negeri-negeri lain, dan sebaliknya, kunjungan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain ke negeri Melayu, tak pelak saling meninggalkan pengaruh dan jejak peradaban. Di satu sisi, pengaruh Hindu-Buddha pada masyarakat Melayu hingga dewasa ini masih terlihat pada upacara-upacara adat, arsitektur bangunan, dan bahasa Melayu. Sebagian puak Melayu yang masih memeluk agama Hindu-Buddha hidup di beberapa negara, seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan di sisi lain, menjadi sesuatu hal yang wajar pula manakala didapati kebudayaan dan tradisi Melayu di tempat-tempat lain seperti yang ditemukan di sebagian besar wilayah di Indonesia, Semenanjung Malaka, kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga di Afrika Selatan dan berbagai tempat lainnya.
C. Diaspora Melayu: Bukti Keberagaman Bangsa Melayu
Diakui atau tidak, selama ini telah terdapat salah kaprah dalam kajian-kajian tentang kemelayuan. Melayu seringkali dipahami dengan pemikiran yang sempit sehingga membentuk pengertian yang terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu kerap ditinjau lewat sudut pandang tertentu –yang dilakukan bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri– dan selalu didefinisikan melalui sekat-sekat perspektif linguistik, politik, geografi, etnik, dan agama tertentu (Mahyudin Al Mudra [a], 2008). Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang membuat kebesaran Melayu semakin tergerus.
Pengerdilan dalam memaknai kemelayuan semakin nyata dengan adanya eksklusivitas yang dimunculkan oleh etnis/suku bangsa tertentu. Pandangan ini justru memecah-belah dan menempatkan bangsa-bangsa Melayu serumpun ke dalam kotak-kotak yang terpisah-pisah. Melayu tidak lagi dipandang dengan utuh, melainkan diartikan dengan subjektif demi kepentingan suatu etnis/bangsa yang merasa paling berhak mengemban predikat sebagai pemangku tahta Melayu sejati.
Klaim tentang “Melayu asli” yang menggejala dalam beberapa tahun terakhir ini tidak akan bisa membawa peradaban Melayu kembali ke kejayaannya di masa silam, namun justru akan semakin menenggelamkan kebudayaan Melayu ke jurang paling dalam di habitat peradaban dunia. Orang Indonesia, misalnya, berpendapat bahwa Riau adalah kawasan tempat tinggal orang Melayu di Indonesia. Riau adalah sebuah wilayah yang sejak tahun 2004 terbagi menjadi dua provinsi yakni Riau dan Kepulauan Riau (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2007).
Klaim serupa juga terjadi di tingkatan yang lebih luas sehingga sempat memercikkan “sengketa” di antara dua negara serumpun. Masalah ini bahkan telah merasuk terlalu dalam pada ranah yang sebenarnya menjadi identitas sejati dari kedua negara itu, yakni jatidiri sebagai bagian dari rumpun bangsa Melayu yang berbudaya luhur dan berperadaban tinggi.
Konsep kemelayuan yang masih menjadi keyakinan banyak kalangan hingga saat ini adalah bahwa seseorang dianggap sebagai (orang) Melayu apabila ia menetap di kawasan Melayu, berbicara bahasa Melayu, mengamalkan adat-istiadat Melayu, dan memeluk agama Islam. Pandangan hidup orang Melayu menjadi identik dengan pandangan hidup berdasarkan Islam, yaitu pandangan duniawi dan ukhrowi seperti yang diajarkan oleh Islam (Suwardi, 1991). Oleh karena itu, muncul pemahaman bahwa salah satu “syarat” untuk menjadi orang Melayu adalah dengan memeluk agama Islam. Apabila seorang non-Islam beralih ke agama Islam, maka ia menjadi orang Melayu.
Salah kaprah yang terjadi dalam memaknai kemelayuan sangat mungkin merupakan warisan dari hegemoni kolonial selama masa penjajahan. Pandangan erosentrisme yang disuntikkan dalam kurun waktu lama dan turun-temurun inilah yang membuat banyak kalangan memandang Melayu hanya dari kacamata Eropa. Bahkan orang-orang Melayu sendiri, hingga turun-temurun dari generasi ke generasi, ikut terseret dan kemudian terjebak ke dalam pusaran arus besar erosentrisme (Al Mudra [b], 2008). Dalam persoalan orang Melayu adalah Islam, misalnya, paradigma itu adalah hasil dari dogma kolonial untuk membedakan dan memberi penegas antara orang Eropa dan pribumi, bahwa semua orang pribumi (baca: orang Melayu) adalah muslim dan berbeda dengan orang Eropa yang mayoritas memeluk agama Kristen.
Pada hakikatnya, bangsa Melayu serumpun tidaklah sesempit yang dimaknai selama ini. Orang Melayu tidak tertumpu ke dalam sebuah negara-bangsa atau nation-state (Halimi, 2008). Sebagai bangsa yang besar, Melayu merupakan suatu jejaring sosial lintas etnis yang kaya akan keberagaman. Melayu bukan golongan eksklusif yang menutup mata dan hati dari pergaulan dunia global. Melayu adalah bangsa yang terbuka, menjunjung tinggi semangat pluralisme, serta mengedepankan silaturahmi dan toleransi. Melayu menyatukan dirinya dalam perbauran ikatan perkawinan antara suku bangsa dan melaksanakan adat resam secara sadar dan berkelanjutan (Tengku HM Lah Husny, 1975).
Perdebatan mengenai identitas dan jatidiri bangsa Melayu sebenarnya telah selesai dengan ditemukannya berbagai data dan fakta tentang diaspora Melayu. Dengan adanya komunitas-komunitas Melayu, baik yang pernah ada maupun yang masih eksis hingga saat ini, di berbagai negeri yang berada di luar Semenanjung Melayu secara telak telah meluruskan salah kaprah yang dianut selama ini, yakni bahwa bangsa Melayu tidak dapat lagi disekat-sekat dalam pandangan yang sempit, baik dari sudut pandang linguistik, politik, geografi, etnik, atau agama. Bangsa Melayu adalah sebuah entitas yang lebih tepat dan adil jika ditinjau dari sudut pandang budaya yang meluas dan egaliter.
D. MelayuOnline Mempersatukan Diasporian Melayu Sedunia
Peradaban Melayu adalah peradaban yang dinamis. Bangsa Melayu tumbuh mengikuti arah dan kemajuan zaman meski sudah cukup lama merindukan dunia Melayu dengan wujud yang lebih aktual dan selaras dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, membangun Melayu bukan lagi sekadar membangun di bumi Melayu, melainkan membangun manusia-manusia Melayu sehingga masyarakat Melayu bisa meraih kehormatan lahir dan batin, yaitu Melayu yang berdaya dan berjaya serta bisa menyelesaikan tanggungjawab dan tantangan hidupnya tanpa terus bergantung pada orang atau bangsa lain.
Seiring dunia yang terus bergerak mengikuti kemajuan zaman, maka perlu adanya tindakan nyata untuk mengumpulkan sekaligus berupaya menyatukan pernak-pernik mozaik dalam khazanah kebudayaan Melayu yang berserakan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tepat pada tanggal 1 Muharram 1428 Hijriah atau 20 Januari 2007, www.MelayuOnline.com ditubuhkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Melayu (BKPBM) di Yogyakarta. Portal ini merupakan pangkalan data terlengkap tentang dunia Melayu sedunia. Kehadiran www.MelayuOnline.com ini tidak lain adalah sebuah upaya konkret untuk mengangkat kembali warisan dan nilai-nilai budaya Melayu yang semakin terpinggirkan sebagai akibat kehidupan masyarakat Melayu di dunia yang kian modern (Al Mudra, 2007).
Kerja budaya yang dilakukan segenap awak www.MelayuOnline.com adalah never ending process, tanpa mengenal akhir. Perlawanan www.MelayuOnline.com terhadap erosentrisme dilakukan dengan cara menggali, memelihara, mengekalkan, mengembangkan, dan mempublikasikan semua tentang Melayu secara sistematis dan komprehensif dengan memanfaatkan cybermedia untuk mengubah opini dunia terhadap kemelayuan yang terlanjur terpengaruh oleh hegemoni erosentrisme. Selain itu, www.MelayuOnline.com juga berusaha merekonstruksi paradigma pemikiran untuk meredefinisikan Melayu secara luas dan tidak eksklusif seperti yang terjadi selama ini (Al Mudra [b], 2008).
Upaya mempersatukan puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh dunia sebagai hasil dari proses diaspora bangsa Melayu sejak berabad-abad yang lampau juga menjadi target mulia yang dicanangkan www.MelayuOnline.com. Portal ini dinilai memiliki kekuatan yang mampu diandalkan untuk mengefektifkan hubungan antar puak-puak Melayu yang terserak di seantero jagat raya. Kemelayuan dalam versi www.MelayuOnline.com adalah Melayu sebagai sebuah kultur, bukan Melayu sebagai suku, etnis, atau entitas budaya dalam arti sempit lainnya.
Pemaknaan Melayu dalam versi www.MelayuOnline.com dimaknai sebagai setiap tempat, komunitas, kelompok masyarakat maupun daerah di belahan dunia manapun yang masih ataupun pernah menjalankan tradisi dan adat-istiadat Melayu. Secara historis, kesamaan budaya Melayu yang terjalin selama berabad-abad bukanlah ikatan sempit yang didasarkan pada ikatan darah (genealogis), tapi lebih pada ikatan kultural dan terkait erat dengan proses diaspora Melayu di mana banyak komunitas Melayu yang hingga saat ini masih eksis di wilayah-wilayah yang menjadi tempat tujuan gelombang diaspora Melayu.
Kaum diasporian Melayu yang tidak lagi menetap di bumi Melayu kini dapat dengan mudah mengetahui, mengenal kembali, mempelajari, dan mendalami semua hal tentang Melayu yang dipastikan sangat sulit diperoleh sebelum www.MelayuOnline.com ditubuhkan. Menu-menu yang disajikan www.MelayuOnline.com merefleksikan bagaimana Melayu adalah bangsa yang kaya akan keberagaman. Paradigma baru ini merupakan cara pandang orang Melayu yang melihat Melayu dari kacamata orang Melayu sendiri. Paradigma kemelayuan yang ditawarkan www.MelayuOnline.comadalah cara pandang dilakukan yang secara luas, beragam, dan objektifserta diwujudkan ke dalam struktur-struktur portal yang sistematis, komprehensif, dan ilmiah.
Aspek-aspek penting kemelayuan, seperti sejarah, budaya, sastra, bahasa, tokoh dan peneliti, hingga agenda acara dan lain-lainnya telah diklasifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah struktur yang menunjukkan betapa sejarah dan budaya Melayu begitu kaya akan khazanah keilmuan. Dari struktur www.MelayuOnline.com tersebut dapat dilihat kegemilangan sejarah dan kebudayaan Melayu melalui media penyampaian berteknologi mutakhir.
Sebagai pangkalan data yang terbesar dan terlengkap dalam tataran portal-portal sejenis, www.MelayuOnline.com dapat diakses oleh puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu, www.MelayuOnline.com juga memiliki jejaring relasi yang luas dan kuat serta mencakup banyak negara di level internasional. Dengan demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa potensi www.MelayuOnline.com sangat besar untuk berperan sebagai media dalam upaya mempersatukan dunia Melayu sedunia.
E. Penutup
Sejak zaman dahulu kala, bangsa Melayu telah dikenal sebagai bangsa petualang yang gagah berani. Orang-orang Melayu adalah kaum diasporian yang terdiri dari para pelaut tangguh dan bernyali tinggi. Kaum diasporian Melayu gemar menjelajah samudera, mengunjungi negeri-negeri lain, terutama untuk menjalin relasi perniagaan. Selain mengemban misi perdagangan, diaspora yang dilakukan orang-orang Melayu juga disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti hubungan diplomatik antar kerajaan/bangsa, dampak peperangan, serta imbas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa.
Kaum diasporian Melayu membawa kebudayaan Melayu ke negeri-negeri tujuan yang kemudian ditinggalinya. Di negeri yang baru itu, mereka yang datang dari bumi Melayu lalu menjalin hubungan dengan penduduk tempatan. Hubungan antara dua kebudayaan yang berbeda tersebut pada akhirnya melahirkan suatu kebudayaan baru yang di dalamnya masih terkandung nilai-nilai kebudayaan Melayu. Hingga saat ini, kebudayaan Melayu masih dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah nusantara, kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, bahkan hingga sampai ke Madagaskar dan Afrika Selatan.
Namun, fakta bahwa kebudayaan Melayu sudah menyebar luas ke berbagai penjuru belum banyak diketahui oleh khalayak umum, bahkan oleh sebagian besar orang Melayu sendiri. Kejanggalan itu kemungkinan besar disebabkan adanya dogma yang ditanamkan secara terus-menerus oleh kaum penjajah Eropa. Hegemoni erosentrisme telah menciptakan paradigma sesat bahwa yang dikategorikan sebagai orang Melayu hanyalah orang yang tinggal di bumi Melayu, menggunakan bahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan orang yang beragama Islam. Dalam kata lain, dogma Eropa telah menyebabkan perpecahan di dalam tubuh Melayu serumpun dan membuat Melayu terkotak-kotak dalam sekat-sekat yang membodohkan dan melemahkan. Ironisnya, pemahaman yang salah kaprah tersebut ternyata dianut juga oleh sebagian besar orang Melayu sendiri.
Kenyataan bahwa telah ditemukan unsur-unsur kemelayuan di luar bumi Melayu yang tidak lain adalah dampak positif dari proses diaspora bangsa Melayu sebenarnya telah menjawab pemahaman yang salah kaprah tentang identitas dan jatidiri orang Melayu ala erosentrisme. Dengan adanya unsur-unsur Melayu yang ditemukan di sejumlah tempat di dunia, termasuk di Afrika Selatan, menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa bangsa Melayu bukanlah bangsa yang abai dengan pluralisme dan kaya akan keberagaman. Orang Melayu bukan lagi harus hidup di tanah Melayu ataupun harus beragama Islam. Melayu tidak dapat lagi disekat-sekat dalam pandangan sempit yang justru mereduksi kebesaran Melayu itu sendiri.
Alangkah baiknya jika puak-puak Melayu serumpun yang sudah menyebar di berbagai penjuru bumi dipersatukan lagi dalam frame yang padu untuk membesarkan kembali kejayaan Melayu yang telah lama diidam-idamkan. Untuk itulah www.MelayuOnline.com hadir di semesta maya sebagai sarana yang sejauh ini dinilai paling berpotensi untuk mempersatukan kaum diasporian Melayu yang masih tercerai-berai. Kredibilitas pangkalan data ihwal Melayu dan kemelayuan yang terbesar dan terlengkap ini sudah diakui oleh banyak kalangan yang berkiprah di dunia kemelayuan.
Pada akhirnya nanti diharapkan bahwa amanat yang diemban www.MelayuOnline.com benar-benar dapat dijalankan dengan semaksimal mungkin dan terus mendapat dukungan dari berbagai pihak demi tercapainya persatuan bangsa-bangsa Melayu serumpun. Dengan berpadunya dunia Melayu sedunia, maka kegemilangan bangsa Melayu yang pernah jaya di masa silam bukan lagi menjadi hal yang mustahil untuk dibangkitkan kembali.
Referensi
Abu Hamid. 1994. Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahmad Jelani Halimi. 2008. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: UtusanPublications & Distributors.
Anita Mannur. “Postscript: Cyberscapes and The Interfacing of Diasporas”, dalam Braziel, Jana Evans, & Anita Mannur (eds.). 2003. Theorizing Diaspora: A Reader. Oxford: Blackwell Publishing.
Bunyamin Marasabessy. 2005. Tuan Guru Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam: Perlawanan Terhadap Imperialisme Belanda dan Pengasingan di Cape Town, Afrika Selatan, 1763-1809. Tidore: Yayasan Pendidikan Raudhatun Nasyi’Indragiri bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
D.G.E. Hall. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dari judul asli A History of South-east Asia (1970). Surabaya: Usaha Nasional.
Graham Thurgood. 1999. From Ancient Cham to Modern Dialects: Two Thousand Years of Language Contact and Change; With an Appendix of Chamic Reconstructions and Loanwords (Oceanic Linguistics Special Publications). Hawaii: University of Hawaii Press.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2007. “Wacana Pembuka: Mencari Jatidiri Melayu”, dalam Koentjaraningrat, dkk., Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
Mahyudin Al Mudra [a]. 2008. Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Konsep Kemelayuan Bangsa Serumpun. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
Mahyudin Al Mudra [b]. 2008. “MelayuOnline.com, Praksis Perlawanan Terhadap Erosentrisme”, kertas kerja yang disampaikan dalam seminar kajian Melayu dengan tema “Problem Eurosentrisme dalam Kajian Melayu: Mencari Perspektif Alternatif”, di Ruang Seminar Fisipol UGM di Yogyakarta, pada tanggal 24 Juni 2008.
Mahyudin Al Mudra. 2007. “MelayuOnline.com sebagai Sarana Merekonstruksi Peradaban Melayu di Era Gelombang Ketiga”, kertas kerja yang disampaikan dalam seminar antara bangsa Sustainability Strategies for Online Resources and Service in Research Institution, di Auditorium Yayasan Kepimpinan Perdana, Putrajaya, Malaysia, pada tanggal 6 Desember 2007.
Mohamed Effendy bin Abdul Hamid. 2009. Sejarah Champa dan Asia Tenggara: Warisan dan Arah Riset yang Baru, diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh An Ismanto dari kertas kerja dengan judul asli “History of Champa and Southeast Asia: Legacies and New Research” yang disampaikan dalam diskusi bulanan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) di Yogyakarta pada tanggal 5 Januari 2010.
Muhammad Gade Ismail. 1997. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke-16. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
“Presiden Bertolak Menuju Cape Town”, 2008, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010 dari www.antara.co.id.
Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Siti Nur Hidayah. 2008. “Budaya Melayu berdiaspora”, makalah dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Internasional 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Yogyakarta: Belum diterbitkan.
Suwardi. 1991. Budaya Melayu dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI.
Tengku HM Lah Husny. 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisir DeliSumatra Timur, 1612-1950. Medan: BP Husny.
__________
Mahyudin Al Mudra, SH, MM, Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi www.MelayuOnline.com.
Artikel ini adalah kertas kerja yang pernah disampaikan pada Workshop Mengkaji Ulang Diaspora Melayu Untuk Membangun Jejaring Melayu Sedunia (Revisiting Malay Diaspora for Malay World Networking) pada tanggal 20 januari 2010, di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta, Indonesia.