Close
 
Kamis, 9 Oktober 2025   |   Jum'ah, 16 Rab. Akhir 1447 H
Pengunjung Online : 434
Hari ini : 8.566
Kemarin : 15.176
Minggu kemarin : 161.126
Bulan kemarin : 7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Artikel

13 desember 2010 08:42

Relasi Simbolik Kalampoang dan Pusaka

Relasi Simbolik Kalampoang dan Pusaka

Oleh Hudjolly

Konsep hubungan patron dan klien telah berlangsung sejak lama yang diwarisi hingga masa kini dan kesadaran semacam itu terdapat dalam semua masyarakat dunia. Setiap ‘bangsawan’ (patron) mempunyai sejumlah orang dari tingkat strata yang lebih rendah (klien), klien berharap perlindungan dari patron. Para klien sebenarnya adalah orang bebas namun bergantung dengan keadaan patron. Dalam masyarakat Bugis, patron biasanya diduduki oleh kalangan bangsawan yang disebut Ajjoareng atau Pappuangeng, atau Karaeng. Sedang klien berasal dari kalangan masyarakat biasa yang disebut joa’ atau anakaraeng, atau ana’ guru (pengikut) (Ahimsa, 2007). Hubungan mereka sangat dekat, bahkan digambarkan oleh Ahimsa bahwa pernah terjadi suatu kelompok klien melakukan bunuh diri lantaran patron mereka mati tenggelam. Hubungan patron dan klien dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal-balik dan bersifat turun temurun. Patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuh-musuh dan melindunginya dari tuntutan hukum, atau dari gangguan penguasa yang lain. Patron juga membantu keluarga kliennya dalam hal ekonomi, dengan memberikan lahan kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya. Klien berkewajiban untuk membantu patronnya dalam kondisi tertentu. Klien berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada patron, misalnya, dengan bekerja di lahan atau rumah tuannya, atau menjadi prajurit, dan mengerjakan berbagai kegiatan-kegiatan lain (Ahimsa,2007).

Model patron-klien juga diterapkan oleh berbagai masyarakat dalam berbagai periode sejarah. Hubungan patron-klien menjadi bagian dalam sistem sosial politik masyarakat, hubungan ini menandakan relasi kekuasaan yang bergerak dalam ruang non verbal antar masyarakat, antar kelompok sosial. melalui sejumlah simbol kekuasaan, seperti kebangsawanan dan benda pusaka. Tetapi tidak semua relasi kekuasaan bergantung pada kemurnian darah kebangsawanan, melainkan dipicu dua hal. Pertama, beberapa patron mendasarkan dirinya pada pengaturan kekuatan untuk mendapatkan jabatan. Bukan hanya pewarisan kedudukan secara turun temurun. Kondisi semacam itu berubah sejak masa pemerintahan kolonial yang menerapkan komersialisasi ekonomi (Poelinggomang, 2004). Sehingga kepemilikan tanah kemudian menjadi pemicu munculnya gejala patron-klien. Kedua, ditandai adanya perbedaan penguasaan sumber daya yang kemudian tidak diikuti  adanya institusi yang dapat menjamin keamanan individu baik untuk menjaga sumberdaya, status maupun kekayaan seseorang.

Konsepsi relasi kekuasaan orang Bugis tradisional, tidak senantiasa berlandaskan garis keturunan sebagai penjamin mendapatkan posisi kekuasaan. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman dalam proses suksesi suatu kerajaan. Namun terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk jabatan tertentu, calon yang akan dipilih biasanya merupakan salah seorang dari sekian banyak keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan berasal dari status tertentu. Jadi, akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak yang kurang lebih sama untuk berkompetisi dalam suksesi tersebut. Faktor utama yang dapat memenangkan kompetisi adalah pengikut. Kandidat yang memiliki pengikut paling banyak serta didukung oleh pengikut yang paling berpengaruh akan menang. Secara mendasar, pengikut (joa’) dibedakan menjadi dua jenis (Poelinggomang, 2004 ; Mattulada, 1975; Ahimsa, 2007).  Pertama, pengikut dari kalangan orang biasa, yang mengabdi langsung kepada patron  misalnya, menjadi prajurit dalam pasukannya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang ikut menjadi pendukung, tapi bangsawan ini juga memiliki pengikut dan pendukung tersendiri.

Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka seorang patron harus berupaya untuk memperluas jaringan kliennya. Terdapat beberapa cara untuk membangun dukungan jaringan klien. Cara pertama adalah menunjukkan kedermawanan dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan cara melindungi dan menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding patron yang lain. Cara berikutnya dengan membangkitkan kebanggaan pengikut. Pengikut pada gilirannya akan merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan pemimpinnya, karena dengan memegang jabatan tersebut meningkatkan peluang patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya (Mattulada, 1975). Pengembangan kekuasaan juga dilakukan dengan cara lain yaitu  perkawinan. Perkawinan dengan sesama bangsawan dilakukan sebagai cara menjaga kemurnian darah `putih` mereka. Ada juga“perkawinan politik” yaitu dengan menikahi keturunan atau keluarga bangsawan yang memiliki joa’ banyak serta pendukung yang berpengaruh atau kharismatik (Pelras,2006).

Perkembangan jaringan klien meniscayakan adanya kesempatan orang untuk mendapatkan predikat ajjoareng meski bukan dari kalangan bangsawan karena berhasil menduduki posisi kekuasaan yang strategis. Ada juga kepemimpinan yang berasal dari kalangan bangsawan yang cenderung tidak memperlihatkan simbol-simbol kebangsawanannya dengan cara mengganti nama kebangsawanan mereka. Kemampuan yang dimiliki seorang ajjoareng cukup berguna untuk meningkatkan kharisma kekuasaan mereka, misalnya bangsawan yang memiliki latar belakang militer (ksatria). Kekuasaan ajjoareng semakin bertambah pengaruh jika memiliki gaukang (pusaka). Gaukang adalah benda-benda yang oleh masyarakat dianggap memiliki ciri yang khas dan berbentuk aneh, benda-benda tanda kebesaran dari suatu kesatuan pemerintahan atau kerajaan,  gaukang juga disebut kalompoang (Poelinggomang,2004). Benda-benda tersebut menjadi simbol kekuasaan.

Kalampoang: Pusat  Pengukuhan

Kekhususan ciri dan bentuk yang dimiliki benda tersebut menyiratkan makna kesucian, benda titisan dan memiliki kekuatan gaib, itulah sebab benda tersebut dianggap pelindung masyarakat. Menurut Poelinggomang (2004),  dalam hubungannya dengan gaukang, masyarakat bersikap memberikan pelayanan, membuatkan tempat dan menyediakan tanah serta bangunan bagi  pemeliharaan gaukang yang biasanya berbentuk batu. Tanah tempat ditemukan adanya gaukang disebut tanah kebesaran (butta kalompoang). Kalompoang dan pemegangnya merupakan kesatuan kepemimpinan untuk mengikat ketaatan dari yang dipimpin (Peolinggomang, 2004).

” ... salah satu  sebab yang membuat I Sangkilang menyatakan diri sebagai Batara kerajaan Gowa dan dapat memiliki pengikut yang banyak, serta berhasil mengikat ketaatan, kesetiaan pengikut bahkan beberapa bangsawan istana, karena ia menunjukkan bahwa ia memiliki sebuah kalompoang kerajaan Gowa yaitu sudanga, dengan dukungan bangsawan dan pengikutnya ia berusaha merebut kekuasan Gowa...”( Poelinggoman, 2004: 57).

Para pemilik kalampoang dianggap oleh rakyat sebagai juru bicara dari penguasa kalampoangnya. Ini menandakan perikatan yang masih kuat dengan konsepsi kekuatan adimanusiawi-kekuasan manusia yang saling mempengaruhi. Penguasa atau para pemimpin mendapatkan legitimasi dari kekuatan kalampoang untuk menegakkan kekuasaannya. Sehingga para penguasa yang berhasil menegakkan kekuasaan adalah orang-orang yang sukses menjaga, memelihara kalampoang yang ada pada mereka (Poelinggomang, 2004). Maka dapat dikatakan bahwa kalampoanglah yang memiliki kekuasaan ‘utama’. Berkaitan dengan kepercayaan (simbolisme) pada kekuatan kalompoang itu, terjadi juga  pada masyarakat Jawa pasca terbangunnya Kraton Yogya di 1776 (Ricklefs, 1974).

Bentuk kekuasaan yang mewujud berkat adanya kalampoang bernama Bori, yaitu suatu pemerintahan yang berpaut dengan keberadaan gaukang. Para pemimpin Bori (ajjoareng) pemilik gaukang itulah yang menyandang nama karaeng (Poelinggomang,2004). Bahwa pengakuan pada kekuatan kalampoang merupakan bentuk kesadaran kosmis masyarakat. Kesadaran kosmis ialah bagian dari kesadaran umum masyarakat yang menyertai konsepsi kekuasan. Kesadaran itu berisi kerelaan mengabdi pada atasannya, ajjoareang atau karaeng, serta pengabdian para pemimpin Bori pada raja, atau penguasa yang lebih tinggi. Kesadaran pengabdian disebut kasuwiyang, sebuah bentuk penunaian kewajiban para pengabdi, rakyat pada kekuasaan (Poelinggomang,2004). Umumnya penguasa daerah, pemimpin Bori, mendahulukan kewajibannya (kasuwiyang) mereka pada penguasa yang lebih tinggi sebagai tanda kesetiaan dan pernyataan  `takluk` sebagai bawahan. Praktik kesetiaan ini sudah memasuki kesadaran bernegara “pengakuan kedaulatan kekuasaan sebuah kerajaan”. Bagi masyarakat biasa, kasuwiyang dapat diwujudkan ketika mereka memberikan bagi hasil panenan (hasil bumi) pada pemimpin atau pemilik tanah si pemegang kalampoang.

Fenomena ketergantungan pada gaukang, juga dilaporkan oleh Ahimsa (2007). Kekuasaan kepala daerah di wilayah Mandar dipinjam dari berbagai kekuasaan benda pusaka. Kebesaran gaukang tidak hanya terkait pada kekuasaan, tetapi benar-benar diperlakukan sebagai pelindung masyarakat. Sekitar tahun 1864-1865, ketika wabah kolera mengganas di Sulsel, menelan ribuan orang, penduduk menggelar upacara ritual ornamen, yakni membawa berkeliling semua gaukang yang dimiliki ke setiap daerah. Uniknya, seusai acara ritual tersebut wabah kolera berangsur hilang. Kejadian tersebut berulang juga di tahun 1874 dan 1875.

Dari berbagai contoh tentang gaukang  dan peristiwa yang bersangkutan dengannya, gaukang dianggap sangat penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk bisa menguasai atau meminta bantuan kuasa gaukang, karaeng harus memiliki kekuatan yang besar pula, termasuk kekuatan untuk mengendalikan gaukang. Aru atau karaeng yang memperantarai kekuatan gaukang mempunyai kedudukan penting bahkan dianggap sebagai juru bicara gaukang, karena itu turut menentukan terpeliharanya tatanan dari masyarakat, berhak atas kekuasaan (Ahimsa, 2007)

Pusaka di Jawa: Sebuah Titik Temu Nalar

Bukanlah sebuah kebetulan mengenai adanya kesamaan dalam konsepsi kekuasaan dua masyarakat, seperti Jawa dan Bugis-Makassar. Kesamaan itu dapat dilicermati dalam pengakuan terhadap kekuatan di luar manusia. Masyarakat Jawa percaya kekuasaan itu terdapat pada pemimpin sebagai perwujudan dewata dalam bentuk manusia. Kesadaran semacam ini merupakan nalar penetapan, pencarian format kualifikasi kepemimpinan. Perwujudan dewata berarti memiliki sifat baik, luhur, adil, berpengetahuan dan dicintai/dipatuhi orang. Pusaka juga menjadi salah satu prasyarat kepemimpinan di tanah Jawa. Dalam babad Ki Ageng Mangir misalnya, pusaka menjadi peneguh legitimasi kekuasaan Ki Ageng Mangir melawan raja Mataram. Hari jadi kabupaten/daerah juga diwarnai dengan kirab benda pusaka.

Meski tidak sama persis tetapi kita melihat suatu kesamaan genus tradisi bahwa kekuasaan di mata orang Bugis-Makassar berasal dari putra langit (to manurung). Artinya, kekuasaan berasal dari luar manusia, dengan kata lain manusia hanyalah mahkluk yang lemah, ia menjadi kuat lantaran berbagai penyatuan kekuatan asing dari luar dirinya (Laica,2005). Masyarakat Jawa mengenal laku tapa untuk mengatasi kelemahan diri dengan cara menyatukan kekuatan gaib. Individu-individu yang berkuasa dianggap punya kekuatan batin, sehingga kekuatan politik (kekuasaan) merupakan ungkapan realitas numinus (Suseno,2001). Pengakuan terhadap kekuatan di luar manusia berarti bentuk duplikasi identitas kesempurnaan yang tidak ditemui d alam riil atau pada diri manusia itu sendiri.

Bentuk-bentuk bangunan dalam keraton, misalnya, merupakan simbolisasi pengungkapkan nalar kesadaran kekuasaan di luar diri manusia itu. Bahwa ada pengakuan pada kekuatan adimanusiawi, kuasa gaib yang memberi kekuatan untuk berkuasa, ia melegitimasi pemegang pemimpin. Bisa saja seorang anak bangsawan berdarah ‘putih’, tidak dapat menjadi pemimpin borinya, hanya karena ia tidak memiliki gaukang, sedangkan saudaranya yang justru banyak memiliki gaukang, maka si pemilik gaukang itu dijadikan pemimpin Bori. Kuasa gaib dari gaukang yang dimilikinya dianggap sudah menjadi satu dengan pemilik. Pemegang gaukang yang hebat berarti memiliki kekuatan yang cakap pula untuk mengendalikan tuah dari gaukang. Hal ini menunjukkan kapasitas diri. Jadi gaukang dan pusaka adalah tanda dari kemampuan diri, tanda bahwa seseorang (pemilik pusaka/gaukang) memiliki suatu kualifikasi personalitas tertentu.

Memiliki kualifikasi pengendalian hal-hal yang spesifik, karena sejumlah pusaka juga bersifat spesifik. Pusaka (di Jawa) memiliki watak-watak tertentu, misalnya pengasihan, sifat telengas (kejam) perbawa (wibawa), hal ini dapat diterjemahkan bahwa si pemilik pusaka itu akrab dengan penguasaan sifat-sifat tersebut. Apabila dipahami bahwa raja dapat menyatukan sedemikian rupa kekuatan kosmis alam untuk melebur dalam dirinya, sehingga ia layak menjadi pemimpin, berarti sang raja telah menyatukan berbagai sifat dan karakter yang kualified untuk menunjang kapasitas kepemimpinannya. Bersatunya kekuatan ‘alam lain’ dan ‘alam ini’ ‘dibuktikan’ dalam perwujudan bangunan, pusaka, gaukang, untuk  berkomunikasi dengan ‘kuasa’ dari alam lain.

Kekuatan gaukang yang menyembunyikan kuasa gaib akan diberi ruang tersendiri, diberi rumah dan tanah khusus agar petugas dapat memeliharanya dengan baik. Ruang pertemuan antara Raja Jawa dan Ratu Pantai Selatan menyimpan makna bertemunya atau persatuan dua kuasa. Strategi simbolik agar kekuasaan raja Jawa mendapat legitimasi dan membangun pencitraan ‘didukung’ alam lain sehingga memperoleh ketaatan rakyat. Orang-orang yang memperoleh kekuasaan dapat dibayangkan sebagai wadah yang memuat sebagian dari fluidum kosmis.

Di titik ini ada perbedaan bahwa gaukang tidak serta merta samadengan benda pusaka di Jawa. Barangkali secara bahasa, untuk kata ganti penunjuk benda, keduanya bisa sama. Tetapi gaukang bukanlah jenis pusaka yang dibikin manusia, gaukang  merupakan pemberian alam, bersifat ditemukan, maka gaukang (sebagai sumber kekuatan) mewakili kuasa alam yang menetas dan menyatu dalam benda-benda. Pusaka merupakan barang yang bersifat buatan, lalu diberi kekuatan gaib oleh manusia yang mampu menaklukan kuasa gaib (sekti), sehingga benda pusaka itu menjadi berkekuatan.

“...pada prinsipnya kekuatan adiduniawi itu ada di mana-mana, tetapi ada tempat, benda dan manusia dengan pemusatan yang lebih tinggi. Orang yang dipenuhi dengan kekuatan itu tidak bisa dikalahkan dan tidak bisa dilukai, mereka itu sekti..”(Suseno, 2001:99)

Jadi mesti berhati-hati untuk mengidentikkan mana gaukang-kalompoang dan mana ‘pusaka’. Mana pusaka keramat dan mana pusaka empu. Pusaka juga tidak sama dengan senjata. Pembedaan ini diperlukan untuk menyusun jenis-jenis pengakuan kekuasaan yang dilekatkan suatu kebudayaan masyarakat pada benda-benda ciptaan mereka, temuan mereka. Selanjutnya benda-benda tersebut memiliki kedudukan khusus dan memberikan arti lambang keabsahan, kekuatan, ke-kstaria-an dan seterusnya.

Ketika pusaka, gaukang memiliki kedudukan dan berpengaruh pada relasi-relasi sosial masyarakat yang terbentuk akibat kehadiran benda tersebut, maka penambahan fungsi sosial dan  perubahan status sosial diatur dengan menggunakan kepemilikan benda-benda ini. Gaukang dan pusaka mengatur proses perubahan kekuasaan dari seseorang ke orang lain, ini sebuah prestasi  politik kebudayaan. Nilai-nilai simbolis tampak diintrepetasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda, namun orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semula terbentuk, telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik setiap kelompok etnis (Abdullah,2007). Dengan begitu, wujud dan isi kebudayaan dapat dirujukan pada pendapat Koentjaraningrat (1974) bahwa wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai dan norma-norma, yang berada dalam pemikiran warga masyarakat yang dapat dijumpai dalam bentuk tulisan-tulisan, karangan warga masyarakat yang bersangkutan, termasuk kreasi arsitektur. Wujud kebudayaan juga bisa dikatakan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat berupa sistem sosial. Wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia berupa kebudayaan fisik.

Kekuasaan tergantung pada siapa yang berhasil menguasai pertautan kuasa kosmis, kekuatan alam di luar manusia. Masyarakat Bugis-Makassar memiliki kecenderungan kosmologis bahwa gaukanglah yang menjadi pemersatu kekuatan adiduniawi, ia menjadi milik pemimpin terdahulu  yang dipelihara terus menerus sepanjang keturunan, asal muasalnya tidak jelas.

Sedangkan masyarakat Jawa percaya bahwa raja adalah titik pemusatan kekuatan kosmis, pertautan kekuatan kosmis terangkum dalam pribadi seseorang. Raja merupakan orang yang berhasil memusatkan takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri (Suseno, 2001). Kekuatan raja terukur lewat keberkahan dan ketenangan yang dipancarkan dari perpaduan kuasa adiduniawinya, semakin luas wilayah raja maka semakin besar kekuatan adimanusinya, keberhasilan pertanian juga dikaitkan dengan keberhasilan raja memelihara kekuatan kosmis untuk  mendapatkan dukungan rakyat yang dipimpinnya. Bencana alam, wabah penyakit, dan hama tikus diartikan sebagai kemunduran kasekten penguasa yang mengkhawatirkan, sebagai penyurutan penyatuan kekuatan-kekuatan adimanusia.

Apabila seseorang sudah berhasil menjadi raja, penguasa, lalu datang hasratnya untuk memperluas wilayah, maka ia akan mengumpulkan kekuatan fluidum kosmic yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya, termasuk dari benda-benda pusaka kerajaan (Suseno,2001). Jika kehilangan pemusatan kekuatan itu maka hilang pula kekuasaan yang melekat padanya. Karena rakyat tidak akan menyerahkan ketaatannya pada raja yang  tidak berhasil merangkum fluidum kosmic.Dalam posisi ini, patut dibedakan kekuasaan yang bersumber dari kesadaran untuk taat pada pemimpin yang sudah dipilih dan ketundukan rakyat lantaran adanya sanksi ancaman (hukum hadat).

Penutup

Bagaimana hubungan raja dan keraton dan pusaka/gaukang?. Keraton bukanlah semata suatu pusat politik dan budaya, keraton merupakan pusat keramat kerajaan (Lombard,1996). Keraton menjadi rumah gaukang-gaukang kerajaan. Suseno (2001) menambahkan bahwa keraton adalah tempat bersemayamnya raja, dan raja merupakan pusat kekuatan kosmis yang mengalir ke bawahnya, melalui keraton membawa ketentraman dan keberhasilan pertanian, keadilan, dan kesuburan. Inilah yang menyebabkan adanya kecenderungan pemakaian nama-nama raja lewat bahasa simbolik: pemangku bumi (Hamangkubhumi), Paku Jagad raya (Pakubuwana), atau Yang memangku Jagad raya atau ada juga Yang Memangku Negara.

Ajjoareng dan anakaraeng merupakan pusat relasi sosial masyarakat, yang dari hubungan ini patronase mengatur skema-skema hubungan berikutnya yang saling menguntungkan. Pusaka dan Gaukang merupakan identitas simbolik untuk memperoleh posisi patron, bangsawan dan orang yang diikuti (ditaati) oleh anakaraeng atau pendukung.

__________

Hudjolly

Sumber Foto: http://www.jogjatrip.com

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan,2007 “Rekonstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 2007 ”Patron Klien di Sulsel” Yogyakarta, Kepel press

____________ 2006 ”Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra” Yogyakarta, Kepel Press

Koentjaraningrat 1974, “Kebudayan, Mentalitet dan Pembanguan” Jakarta, PT Gramedia

Lombard, D 1996. “Nusa Jawa Silang Budaya” Jakarta, PT Gramedia

Suseno, Franz Magnis. 2001 ”Etika Jawa” Jakarta, PT Gramedia

Marzuki, Laica, H.M, 2005, ”Perjanjian Pemerintahan (Govermental Contract) pada Kerajaan-Kerajaan Bugis-Makassar”, tp --

Mattulada, H.A, 1975, “Latoa; Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis”, Disertasi. Jakarta, Universitas Indonesia

Pelras, Christian, 2006, ”Manusia Bugis”, Jakarta, Nalar

Poelinggomang, Edward PL,2004 “Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan, Makassar 1906-1942” Yogyakarta, Ombak.

Ricklefs, MC,  1974. “Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi”. London: Oxford University.


Dibaca : 2.041 kali.

Tuliskan komentar Anda !