Kamis, 9 Oktober 2025 |Jum'ah, 16 Rab. Akhir 1447 H
Pengunjung Online : 415
Hari ini
:
8.542
Kemarin
:
15.176
Minggu kemarin
:
161.126
Bulan kemarin
:
7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314 Sejak 01 Muharam 1428 ( 20 Januari 2007 )
AGENDA
Belum ada data - dalam proses
Artikel
02 februari 2011 06:45
Kiprah Abdul Rivai, Pelopor Penerbitan Pers Berbahasa Melayu dari Luar Negeri (1871-1937)
Oleh Iswara N. Raditya
Abdul Rivai (1871-1937) adalah orang Indonesia pertama yang menggagas dan menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dari luar negeri pada tahun 1900. Ia juga merupakan dokter bumiputera pertama yang berhasil meneruskan sekolah ke Eropa dan menjadi orang Indonesia pertama yang sukses meraih gelar S-3 dari perguruan tinggi di Eropa. Selain itu, Rivai juga menjadi salah satu orang Indonesia pertama yang tercatat sebagai anggota Dewan Rakyat (Volksraad).
Pendahuluan
PuteraMelayu ini bukan sekadar seorang dokter. Lebih dari itu, ia adalah manusia Indonesia pertama yang menggagas surat kabar berbahasa anak negeri yang diterbitkan dari mancanegara.Dari Belanda, Abdul Rivai mendengungkan gema pers bumiputera dengan tutur aksara Melayu, yang kelak menjadi embrio bahasa nasional Indonesia. Tepat pada 14 Juli 1900, Pewarta Wolanda resmi meluncur di bawah asuhan Rivai. Inilah koran berbahasa Melayu pertama yang proses penggagasan hingga penerbitannya dilakukan dari luar negeri.
Pada Juli 1902, Rivai kembali menggebrak, kali ini dengan mengusung surat kabar bertajuk Bintang Hindia. Masih dari Belanda, Rivai memimpin surat kabar yang juga berbahasa Melayu ini, sementara para redaktur lain bergerak dari tanah air karena Bintang Hindia memang ditujukan bagi kaum bumiputera yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Untuk ukuran waktu itu, di mana teknologi informasi masih sangat terbatas, duduknya Rivai sebagai pemimpin redaksi Bintang Hindia menjadi bukti betapa ampuhnya anak Melayu kelahiran Bengkulu itu.
Anak Melayu “Menjajah” Amsterdam
Abdul Rivai dilahirkan di Palembayan, Bengkulu, pada 13 Agustus 1871 (Harry A. Poeze, 2008:34). Ayahnya, Abdul Karim, adalah seorang guru, begitu pula kakak lelakinya yang juga berprofesi sebagai pengajar. Sedangkan ibunda, Siti Kemala Ria, masih keturunan dari Raja Muko-Muko, pemimpin sebuah kerajaan lokal di Bengkulu. Rivai beruntung karena tumbuh di tengah nuansa politik etis (politik balas budi) yang cukup berpengaruh dalam membentuk mentalitas dan karakternya. Rivai menjadi seorang pejuang pergerakan yang taktis namun tidak mengidap alergi terhadap perkembangan zaman.
Abdul Rivai adalah sosok yang berwatak keras. Ia bercita-cita menjadi dokter dan itu harus tercapai (Soebagijo IN, 1976:2). Untuk itulah, selepas tamat dari sekolah lanjutan, Rivai merantau ke Batavia untuk melanjutkan studi di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artchen). Ia diterima sekolah dokter Bumiputera itu pada 1886 dan dinyatakan lulus dalam ujian akhir pada 1894. Setamat STOVIA, Rivai bertugas menjadi dokter di Medan.
Rivai mulai menabung demi mewujudkan impiannya untuk sekolah di Eropa. Setelah uangnya dirasa cukup, Rivai mundur dari pekerjaannya di Medan. Tujuannya adalah meneruskan sekolah ke Belanda. Conrad Theodore van Deventer, tokoh politik etis, sangat mendukung maksud Rivai itu. Namun, izin Rivai ke Belanda dipersulit orang pemerintahan yang tidak suka kepadanya dan akibatnya ia terpaksa harus menunggu keputusan dari pemerintah kolonial. Akhirnya pada akhir 1899, Rivai mendapatkan rekomendasi dari pemerintah untuk meneruskan sekolah ke Belanda. Dengan demikian, Abdul Rivai akan menjadi dokter bumiputera pertama yang berhasil menempuh sekolah kedokteran di Belanda (Agung Dwi Hartanto dalam Taufik Rahzen, dkk., 2007:12).
Awalnya, Rivai diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Utrecht. Namun, Rivai harus ke Amsterdam dulu untuk menempuh ujian persiapan karena dianggap belum layak menjadi mahasiswa di Utrecht. Ijazah STOVIA yang dikantongi Rivai dinilai belum cukup memenuhi syarat.
Di Amsterdam inilah Rivai memprakarsai penerbitan Pewarta Wolanda pada 1900, dengan bantuan dari Y. Strikwerda yang pernah bertugas di Hindia Belanda sebagai asisten residen (Ahmat Adam, 2003:160). Kendati diterbitkan dari Belanda, Pewarta Wolanda hadir dengan bahasa Melayu. Gebrakan inilah yang menjadi bukti kentalnya rasa nasionalisme yang mengalir di darah Rivai sebagai orang Indonesia sejati.
Selain mengurusi Pewarta Wolanda, Rivai sering mengirimkan tulisan ke berbagai media massa yang terbit di Belanda maupun di tanah air. Boleh jadi Rivai merupakan orang Indonesia pertama yang mengirimkan tulisan jurnalistiknya dari luar negeri melalui jasa telegraf yang kala itu menjadi teknologi informasi yang paling diandalkan. Artikel-artikel Rivai banyak menyoroti soal diskriminasi atas hegemoni bangsa Barat terhadap kaum bumiputera yang ada di Belanda.
Rivai semakin dikenal berkat artikel-artikelnya yang tangkas. Pada awal abad ke-20 itulah Rivai terlibat debat dengan A.A. Fokker, pejabat Belanda yang mengklaim lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang orang Melayu sendiri. Jelas, sebagai orang asli Melayu, Rivai tidak terima dengan pernyataan Fokker. Melalui Pewarta Wolanda, juga lewat sejumlah surat kabar lainnya, Rivai menghadapi Fokker. Selain itu, Rivai juga menantang Fokker untuk berdebat di mimbar publik.
Di arena debat, ketangkasan Rivai terlihat. Sebaliknya, Fokker yang terbawa amarah tidak bisa mengendalikan logikanya. Fokker ternyata tidak berkutik di hadapan Rivai. Di ambang kekalahannya, Fokker berdalih dengan berkata, “Seorang Belanda tidak boleh berbahasa Melayu.” (Soebagijo IN, 1981:545). Kemenangan Rivai semakin melambungkan namanya dan menarik perhatian para pejabat negeri Belanda. Berkat itulah Rivai akhirnya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Ultrecht tanpa proses yang berbelit-belit lagi.
Sementara itu, nama besar Rivai bersama Pewarta Wolanda terdengar sampai ke tanah air. Henri Constant Claude Clockener Brousson, mantan tentara Belanda, rupanya tertarik dengan sepak-terjang Rivai. Ternyata Brousson juga seorang pekerja pers. Pada 1899, ia membantu penerbitan media militer, Nederlandsche Soldatenkrant voor Indie. Brousson juga menerbitkan Soerat Chabar Soldadoe di Batavia pada 15 April 1900. Prajurit yang pernah bertugas di Aceh, Padang, dan Medan ini kerap berdiskusi dengan tokoh-tokoh bumiputera. Hal inilah yang rupanya mendorong Brousson untuk menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu.
Setelah berkorespondensi, Rivai dan Brousson sepakat untuk menggabungkan Pewarta Wolanda dan Soerat Chabar Soldadoe. Maka terbitlah surat kabar Bandera Wolanda pada 15 April 1901 dengan kantor redaksi di Batavia. Nama Rivai tercantum di jajaran dewan redaksi meskipun ia bekerja dari Belanda. Beberapa nama yang pernah terlibat dalam Bandera Wolanda, termasuk Raden Mas Pandji Sosrokartono (kakak kandung R.A. Kartini), dan Mas Abdullah (Adam, 2003:162-163)
Belum genap setahun terbit, Rivai dan Brousson terpaksa mundur dari Bandera Wolanda, terkait dengan pemuatan tulisan pada edisi Juni 1901 yang mengangkat persoalan agama yang sensitif sehingga memantik kritik keras dari sejumlah kalangan. Sepeninggal Rivai dan Brousson, Bandera Wolanda perlahan-lahan melemah.
Agen Ganda Bintang Hindia
Relasi Rivai dan Brousson bertambah kuat meskipun berjauhan. Bahkan, keduanya selalu dikait-kaitkan dengan perkumpulan Algemeene Nederlandsch Verbond dan Vereeniging Oost en West. Kedua organisasi yang bermarkas di Belanda dan beranggotakan kaum etis itu dikenal peduli terhadap nasib rakyat di Hindia Belanda. Ketika Brousson dan Rivai menggagas Bintang Hindia pada 1902, dewan pimpinan kedua organisasi itu menyurati Kementerian Urusan Jajahan Hindia Belanda agar mendukung penerbitan Bintang Hindia (Adam, 2003:168).
Saat edisi percontohan perdana Bintang Hindia diluncurkan pada Juli 1902, Rivai menulis bahwa majalah dua mingguan itu, yang oleh Rivai disebut dengan istilah “soerat tjerita”, bertujuan untuk memajukan pengetahuan rakyat hingga bisa mencapai status bangsawan pikiran. Rivai memang merumuskan konsep sendiri perihal keningratan, ia membagi kaum bangsawan menjadi bangsawan usul dan bangsawan pikiran.
Menurut Rivai, bangsawan usul ialah golongan ningrat yang memperoleh status priyayinya dari faktor keturunan. Sebaliknya, lanjut Rivai, bangsawan pikiran adalah kaum yang berstatus ningrat bukan lantaran keturunan, melainkan karena perjuangan, yakni melalui pencapaian intelektual dari kaum yang mau belajar (Bintang Hindia, 1902).
Rivai menempatkan kaum terpelajar dalam posisi yang sangat penting dalam memajukan bangsanya. Dengan menganalogikan bahwa bangsa Eropa telah “bersenjata”, Rivai menghimbau kaum muda bumiputera agar “mempersenjatai” diri. “Musuh yang bersenjata itu hanya boleh dilawan oleh musuh yang bersenjata pula. Demikian juga ilmu dan kepandaian itu hanyalah cakap dilawan dengan ilmu dan kepandaian,” tegas Rivai (Bintang Hindia, 1902).
Meskipun dibiayai pemerintah kolonial, Rivai menilai penerbitan Bintang Hindia justru demi kebaikan rakyat. Rivai ingin menjadikan Bintang Hindia sebagai media untuk menyuarakan gagasan tentang kemajuan moral dan sosial bangsa Indonesia. Melalui Bintang Hindia inilah Rivai berperan sebagai agen ganda: bekerja di surat kabar yang dibiayai pemerintah kolonial, namun juga selaku sosok bumiputera yang mengemban misi memajukan tanah airnya.
Bagi banyak orang bumiputera, Bintang Hindia di bawah kendali Rivai ibarat pembuka mata untuk mengubah sikap dan nilai tradisional menjadi lebih modern. Sekali lagi, Rivai tidak pernah merasa risih dalam memanfaatkan apa saja yang disediakan oleh Barat demi kemajuan bangsa. Lebih dari itu, Rivai diakui sebagai penggagas utama ide-ide baru dan merupakan penemu istilah “kaum muda”. Melalui Bintang Hindia, Rivai menjelaskan pemaknaan “kaum muda” yang ia defisinikan sebagai “semua orang Hindia yang tidak suka lagi memungut aturan kuno, tetapi yang mau memuliakan diri dengan pengetahuan dan ilmu” (Bintang Hindia, 1905).
Di bawah komando Rivai, Bintang Hindia benar-benar menjadi agen ganda yang justru menguntungkan karena dibiayai pemerintah kolonial, namun mampu memainkan perannya sebagai perumus jatidiri bangsa. Bintang Hindia mempopulerkan istilah “bangsa Hindia” dan “anak Hindia”, yang secara psikologi telah menanamkan rasa kebangsaan di kalangan bumiputera. Kelak, ketika nasionalisme menjadi matang pada dekade 1920-an, istilah “bangsa Hindia” lantas berubah menjadi “bangsa Indonesia”, seperti misalnya yang termaktub Sumpah Pemuda tahun 1928.
Bintang Hindia ibarat motor bagi Rivai untuk memasukkan gagasan-gagasan segar demi membuka mata bangsa Indonesia dalam upaya memajukan rakyat. Seruan Rivai kepada kaum intelektual Indonesia untuk bergerak maju ternyata diikuti upaya serius dari kalangan jurnalis pribumi dengan mendirikan surat kabar dan organisasi. Pertumbuhan pers milik bangsa sendiri ini menujukkan gairah kemajuan bumiputera yang kian merangsek maju di sepanjang dekade pertama abad ke-20 itu.
Bintang Hindia beranjak redup ketika Rivai mengundurkan diri dari dewan redaksi pada 1907.Perlahan tapi pasti, Bintang Hindia semakin kehilangan pamor, gairah yang dulunya bergejolak berkat Rivai kian terdengar lirih, bahkan lantas senyap. Akhirnya, koran yang pernah menggebrak dunia pers di Belanda maupun di Hindia Belanda itu menghembuskan nafas cetak penghabisan pada 1910 (Agung Dwi Hartanto, 2008:29).
Setelah lepas dari Bintang Hindia, tersiar kabar bahwa Rivai diterima di Universitas Gent yang menyediakan program doktor. Maklumat resmi dari universitas di Belgia tertanggal 23 Juli 1908 itu menyatakan: “Abdul Rivai telah diuji secara terbuka sesuai dengan undang-undang. Fakultas memutuskan bahwa yang bersangkutan lulus dengan memuaskan.” Dengan demikian, Rivai menjadi orang Indonesia pertama yang diterima sebagai calon doktor atau Strata-3 (Abdul Rivai, 2000:xvii).
Pada 1911, Rivai pulang kampung air dengan menyandang titel dokter lulusan Eropa. Sesampainya di tanah air, ia langsung diganjar jabatan tinggi sebagai opsir kesehatan pada angkatan militer di Cimahi, Jawa Barat. Dokter pribumi yang mampu menempati jabatan sepenting itu merupakan hal yang sangat istimewa. Setahun bertugas di Cimahi, Rivai kemudian dipindahtugaskan ke Padang, Sumatra Barat.
Karakter Rivai yang keras ternyata masih kental. Seringkali ia bentrok dengan rekan kerja atau bahkan atasannya yang orang Belanda karena kerap terjadi ketidakadilan yang menimpa kaum pribumi. Merasa selalu direndahkan dan dipersalahkan, Rivai lantas mengajukan surat pengunduran diri dari pegawai dinas kesehatan di Padang pada Januari 1912 (Perniagaan, 23 Januari 1912). Rivai lalu membuka praktek dokter umum, awalnya di Semarang, kemudian pindah ke Surabaya.
Berpraktek sebagai dokter umum tidak membuat Rivai berhenti berupaya memajukan bangsanya. Semasa masih di Sumatra Barat, Rivai sempat turut dalam usaha pergerakan nasional. Ketika Indische Partij (IP) dibentuk pada 5 Oktober 1912 oleh Tiga Serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Rivai ikut serta dengan mempelopori pendirian cabang IP pertama di wilayah Sumatra pada 19 November 1912. Selanjutnya, pada 8 Februari 1913, Rivai membentuk IP cabang Padang (Perniagaan, 10 Februari 1913). IP merupakan organisasi yang terbuka bagi segala kalangan dan perhimpunan politik pertama di Indonesia yang menyerukan kemerdekaan Hindia untuk Hindia atau Indonesia (Iswara N. Raditya, 2008:199).
IP dibubarkan paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada pertengahan 1913. Para mantan aktivis IP kemudian mendirikan Insulinde sebagai penggantinya (Perniagaan, 2 April 1913). Rivai ikut masuk sebagai pengurus Insulinde. Organisasi ini menjadi komunitas pergerakan yang cukup besar dan memiliki banyak cabang di berbagai daerah di Hindia Belanda, di antara di Yogyakarta (didirikan 17 April 1913), Kendal (21 April 1913), Batavia (14 Mei 1913), dan daerah-daerah lainnya (Perniagaan, 23 April 1913, 2 Mei 1913, dan 16 Mei 1913).
Penutup: Pembuka Jalan Indonesia Baru
Pada 1918, pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat). Rivai terpilih dalam jajaran anggota Volksraad selaku perwakilan dari organisasi Insulinde (Djawi Hiswara, 21 Januari 1918). Pada awalnya, Rivai tidak mau terlibat di dalam Volksraad bentukan Belanda itu. Rivai beralasan bahwa ia merasa sudah nyaman menikmati profesinya sebagai dokter swasta di Surabaya sembari ikut membantu kegiatan pergerakan bersama Insulinde. Namun, karena pers Belanda kala itu sering “rewel” jika ada pribumi yang namanya disanjung-sanjung dan disebut-sebut pantas menduduki kursi dewan, maka Rivai justru merasa tertantang. Ia ingin membuktikan bahwa seorang inlander bukan lagi bangsa yang terbelakang, bukan lagi kaum yang bisa dibodohi.
Tekad itu terbukti ketika Rivai menjadi anggota dewan. Ia membuktikan diri bahwa ia tak hanya garang dalam memainkan pena lewat tulisan. Orasi yang dilantangkan Rivai di forum-forum Volksraad berapi-api namun tetap berisi. Akan tetapi, Rivai ternyata enggan berlama-lama duduk di kursi panas, hanya setahun saja ia bertahan sebagai anggota dewan. Pertengahan Juli 1918, dikabarkan bahwa Rivai dan Radjiman Wediodiningrat (anggota dewan perwakilan dari Boedi Oetomo), mengundurkan diri dari kursi Volksraad dengan alasan karena mendapat tugas dari Raja Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono X, pergi ke Eropa guna mendampingi putera-putera raja yang sedang belajar di sana (Djawi Hiswara,18 Juni 1918).
Rivai melawat ke Barat lagi, mendampingi para pangeran Kasunanan Surakarta. Setelah menunaikan tugasnya di Eropa, termasuk di Belanda dan Swiss, Rivai kemudian memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Pengembaraan Rivai di dunia Barat berlangsung selama tahun 1919-1921. Sepanjang perjalanannya itu, Rivai tidak pernah absen mengirim tulisan-tulisan ke tanah air. Selama di Eropa, Rivai ikut terlibat dalam keredaksian Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap. Tulisan Rivai tetap trengginas dan memantik minat untuk ikut maju sehingga datang banyak surat dari Hindia Belanda yang memuji perjuangan putera Melayu itu.
Ketika menetap di Belanda, Rivai menjadi saksi hidup pada waktu Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djajadiningrat, dan Nazir Datoek Pamoentjak, ditangkap pemerintah Belanda pada 1927. Anak-anak muda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) itu diadili karena tiga tuduhan, yaitu menjadi anggota perkumpulan terlarang, terlibat pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Rivai tak tinggal diam, ia segera menulis kritikannya terhadap pemerintah Belanda melalui media Bintang Timoer.
Rivai kembali ke tanah air pada 1932. Sambil membuka klinik pengobatan di Tanah Abang, Batavia, Rivai tetap konsisten di jalur jurnalistik dengan masih membantu keredaksian Bintang Timoer. Untuk pekerjaan yang dicintainya itu, Rivai memperoleh honor 100 gulden, upah yang terbilang lumayan untuk zaman itu. Rivai sendiri sebenarnya tidak berharap mendapat imbalan dari Bintang Timoer, kendati kalaupun ada ia tidak akan menampiknya. “Saya suka bekerja dengan percuma kalau Bintang Timoer sendiri belum sanggup membayar, tetapi bilamana sanggup, saya minta bayaran,” aku Rivai suatu kali (Soebagijo IN, 1981:547).
Meskipun seorang dokter, bukan berarti Rivai kebal penyakit. Pada suatu hari ketika ia merasa raganya mulai melemah, dokter pribadinya menyarankan agar Rivai pindah ke tempat yang sejuk. Ia kemudian hijrah ke Bandung. Namun, kesejukan Paris van Java ternyata tidak mampu menyelamatkan Rivai dari takdir. Akhir riwayat, pada 16 Oktober 1937, Abdul Rivai menghembuskan nafas terakhir di Sumatrastraat, Bandung, dalam usia 66 tahun.
Semesta Indonesia berduka-cita karena kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Tidak sedikit media massa yang menyatakan belasungkawa. Salah satunya adalah Bintang Timoer yang menulis demikian, “Beliau seorang pionir pertama yang meretas jalan belajar ke Barat. Jasa ini bukannya sedikit. Usahanya memperbesar kepercayaan atas atas diri para pemuda yang menuruti jejak beliau merantau ke Eropa. Otak beliau tajam, pemandangannya luas. Beliau seorang pionir dari Kaum Muda.”
Harian Soeara Oemoem yang dipimpin Dr. Soetomo (tokoh Boedi Oetomo) juga turut berduka. “Dengan meninggalnya Dr. Abdul Rivai, maka seorang manusia yang aneh dan luar biasa telah meninggalkan kita. Dr. Rivai harus dihitung di kalangan mereka yang membuka jalan ke Indonesia baru, ke Indonesia di hari yang akan datang. Sebagai wartawan,ia membuka jalan baru bagi jurnalistik Indonesia. Penanya berapi-api. Di sinilah namanya dikenal lebih besar, baik oleh golongan Indonesia, lebih-lebih oleh pemerintah Belanda sebab ia amat gemar mengkritik politik penjajahannya,” demikian tulis Soeara Oemoem.
Soeara Oemoem melanjutkan kata-kata persembahan untuk mengiringi kepergian almarhum Abdul Rivai, “Ia boleh dianggap (sebagai) seorang yang ternama karena perjuangan politiknya di dewan (rakyat) dan di surat kabar. Tulisan-tulisannya dalam surat kabar menarik hati, dan ketabibannya melebihi ketabiban orang-orang Eropa. Demikianlah, Dr. Abdul Rivai telah meninggalkan kita. Mudah-mudahan dilapangi Allah dalam kuburnya. Amin” (Soebagijo IN, 1976:6-7).
__________
Iswara N. Raditya, Peneliti Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Editor/Redaktur www.MelayuOnline.com.
Sumber Foto:Reproduksi dari foto dalam buku Ahmat Adam, “The Vernacular Press and The Emergence of Modern Indonesia Consciousness 1855-1913”. 1998. a.b. Amarzan Loebis. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; dan foto dalam surat kabar Pewarta, Edisi Mei-Juni 1957.
Referensi:
Abdul Rivai, 2000. Student Indonesia di Eropa, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Yayasan Adikarya IKAPI.
Adam, Ahmat, 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Yogyakarta: Hasta Mitra.
Iswara N. Raditya, ed., 2008. 7 Bapak Bangsa, Jakarta: Rahzenbook.
Muhidin M. Dahlan, ed., 2008. Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa, Jakarta: Indonesiabuku.
Poeze, Harry A., 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG-KITLV.
Soebagijo I.N., 1976. Sebelas Perintis Pers Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Soebagijo I.N., 1981. Jagad Wartawan Indonesia,Jakarta: Gunung Agung.
Taufik Rahzen, et.al., 2007. Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Indonesiabuku.
Surat Kabar:
Bintang Hindia, 1902, 1905, 15 September 1906, 1 Oktober 1906, 15 November 1906.
Djawi Hiswara, 21 Januari 1918,18 Juni 1918.
Perniagaan, 23 Januari 1912, 10 Februari 1913, 2 April 1913, 23 April 1913, 2 Mei 1913, 16 Mei 1913.