Pengrajin perempuan sedang membuat kain  Ulos
    1. Asal  Usul
    Menurut  pandangan orang-orang Batak, ada tiga sumber kehangatan (panas) bagi manusia,  yaitu matahari, api, dan Ulos (http://tanobatak.wordpress.com/). Tentu  tidak akan menimbulkan pertanyaan jika dikatakan bahwa matahari dan api  merupakan sumber panas, tetapi tidak demikian dengan kain Ulos. Adalah  wajar jika kemudian orang-orang non Batak mempertanyakan kain Ulos sebagai  sumber panas atau kehangatan. 
    Munculnya pandangan  orang-orang Batak bahwa kain Ulos merupakan sumber panas terkait dengan suhu  tempat di mana orang-orang Batak membangun tempat tinggalnya. Secara geografis,  tempat tinggal orang Batak berada di kawasan pegunungan yang beriklim sejuk (http://www.silaban.net).  Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh matahari tidak cukup  memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Oleh karenanya, orang Batak  kemudian menciptakan sesuatu yang mampu memberikan kehangatan yang melepaskan  mereka dari cengkraman hawa dingin. Dalam konteks inilah kain Ulos  menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik kehangatan secara fisik  maupun non fisik kepada orang Batak. Kehangatan kain Ulos tidak saja  melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu membentuk kaum  lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan  perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan (http://www.silaban.net).  
    Kain Ulos lahir dari  pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring  berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos berkembang  menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial  masyarakat Batak (http://tanobatak.wordpress.com; http://www.arthazone.com). Bahkan,  kain ini dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan  dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan  kepada pemakainya (http://www.tamanmini.com). 
    Berbagai jenis dan motif  kain Ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan,  fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan  dalam upacara adat yang bagaimana. Bahkan, berbagai upacara adat seperti  pernikahan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya tak pernah terlaksana tanpa  Ulos (http://www.silaban.net/). Melihat peran sentral kain ulos  tersebut, nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan  bagian (baca: pelengkap) dari kehidupan orang Batak.
    Bila kain ini dipakai  oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian  bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali,  bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun terkait dengan  nilai-nilai sakral yang melingkupi kain Ulos, maka tidak semua Ulos  dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Ulos Jugia, Sadum,  Ragi Hotang, Ragidup, dan Runjat, hanya dapat dipakai pada  waktu-waktu dan upacara tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan  sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja  kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki (http://www.tamanmini.com).
    Bila Ulos  dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk  penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang  disebut ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong,  dan untuk menggendong anak disebut parompa. Dalam kesehariannya,  perempuan Batak memakai kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang  umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong  (http://www.tamanmini.com). 
    Secara garis  besar, ada tiga cara pemakaian Ulos, yaitu: pertama, siabithononton (dipakai).  Ulos yang dipakai di antaranya: ragidup, sibolang, runjat,  djobit, simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua,  sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing). Ulos  yang penggunaannya dililit di kepala atau bisa juga ditengteng di  antaranya: sirara, sumbat, bolean, mangiring, surisuri,  dan sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililit di pinggang).  Ulos yang dililitkan di pinggang di antaranya: tumtuman, mangiring,  dan padangrusa. Ketiga aturan pemakaian tersebut membawa pesan bahwa menempatkan  Ulos pada posisi yang tepat merupakan hal yang sangat penting, tidak  saja terkait dengan keserasian dalam berpakaian tetapi juga terkait dengan makna-makna  filosofis yang dikandungnya. Dengan kata lain, Ulos tidak hanya  berfungsi sebagai penghangat dan lambang kasih sayang, melainkan juga sebagai simbol  status sosial, alat komunikasi, dan lambang solidaritas  (http://tanobatak.wordpress.com). 
    Terkait Ulos  sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan mangulosi. Dalam  adat Batak, mangulosi (memberikan Ulos) melambangkan pemberian  kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Dalam hal mangulosi,  ada aturan umum yang harus dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh  dilakukan kepada orang yang mempunyai status kekerabatan atau sosial lebih  rendah, misalnya orang tua boleh mangulosi anaknya, tetapi sang anak  tidak boleh mangulosi orang tuanya (http://ath3r.wordpress.com). 
    Demikian juga dengan Ulos  yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbangkan tujuan dari  pemberian Ulos tersebut. Misalnya hendak mangulosi Boru  yang akan melahirkan anak sulungnya, maka Ulos yang diberikan adalah Ulos  Ragidup Sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pembesar  atau tamu kehormatan yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi),  maka Ulos yang digunakan adalah Ulos Ragidup Silingo. 
 Menenun Ulos  tidak hanya dilakukan oleh kaum perempuan
    Melihat begitu  pentingnya fungsi Ulos dalam masyarakat Batak, maka upaya-upaya  pelestarian harus segera dilakukan. Pelestarian tentunya tidak hanya  dimaksudkan agar keberadaan kain tersebut tidak punah, tetapi juga  merevitalisasinya sehingga memberikan manfaat (baca: kesejahteraan) bagi  orang-orang Batak yang melestarikannya. Namun demikian, revitalisasi harus  dilakukan secara hati-hati sehingga tidak melunturkan nilai-nilai yang  dikandung oleh kain Ulos. Jangan sampai muncul gugatan, “Kami merasa  sangat ngilu. Melihat Ulos diguntingi dan dipotong-potong.  Dijadikan taplak meja, bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Itu  pelecehan dan sangat tidak menghargai nilai budaya bangso Batak”  (http://tanobatak.wordpress.com). Pelestarian dan revitalisasi tidak boleh  hanya berorientasi pada nilai ekonomi saja, tetapi juga nilai-nilai yang  terkandung di dalamnya, sehingga orang Batak tidak  mengalami alienasi dan tercerabut dari akar lokalitasnya.
    2. Peralatan  dan Bahan
        a. Peralatan
    Peralatan yang  dibutuhkan dalam pembuatan kain Ulos di antaranya adalah  (http://penyairmalam.blogspot.com):
    - Alat tenun.  Salah satu keunikan dari kain Ulos adalah penggunaan alat tenun yang  masih menggunakan kayu atau biasa disebut ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), dan cara  pengoperasiaannya dilakukan secara manual.
Alat tenun Ulos yang sudah  dimodifikasi 
    - Alat pemintal kapas. Alat ini digunakan  untuk merubah kapas menjadi benang. Dalam masyarakat Batak, alat ini dikenal  dengan nama sorha. 
- Pamunggung, yaitu sandaran punggung.  Selain itu, juga berfungsi untuk cantelan mengikat dan menahan benang.
- Pagabe, berfungsi untuk memegang  benang yang dipintal. 
- Baliga, berfungsi untuk menyusun  dan mengatur benang. 
- Hatulungan. Alat ini bentuknya  seperti tombak dan berfungsi untuk membagi-bagi benang. 
- Pamapan, berfungsi untuk melilitkan  benang setelah dibagi-bagi hatulungan.  
- Sitadoan. 
- Palabuan (periuk tanah). Alat  ini digunakan untuk merendam bahan pewarna.
- Anian. Alat ini terbuat dari  sepotong balok kayu yang di atasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran Ulos  yang hendak dibuat. Fungsi alat ini adalah untuk menguntai benang sehingga  pembuatan Ulos semakin mudah. 
b. Bahan 
    Secara garis besar, ada  dua bahan yang digunakan dalam pembuatan Ulos, yaitu: bahan pembuat kain  dan bahan pewarna. Bahan pembuat kain adalah benang yang terbuat dari kapas.  Sedangkan bahan pewarnanya adalah: kulit kayu, rerumputan, akar-akaran, Lumpur,  dan dedaunan (http://penyairmalam.blogspot.com). 
    3. Cara Pembuatan
    Kain Ulos ada beberapa  jenis. Setiap jenis memiliki corak, motif, dan fungsi yang berbeda-beda. Namun  walaupun berbeda-beda, bahan yang digunakan adalah sama, yaitu sejenis benang  yang dipintal dari kapas. Yang membedakan antara satu jenis Ulos dengan  lainnya adalah proses pembuatannya. Dengan kata lain, proses pembuatan Ulos  menjadi penentu nilai dan fungsi sebuah Ulos, apakah Ulos  tersebut untuk siabithononton, sihadanghononton ataukah sitalitalihononton.  Selain itu, proses pembuatannya juga menentukan kepada siapakah kain Ulos  digunakan untuk mangulosi. 
 Membuat kain Ulos  dapat dilakukan di ruang-ruang kosong rumah
    Proses pembuatan kain Ulos  merupakan demonstrasi keahlian orang Batak merubah  benang menjadi kain yang kaya nilai.  Pembuatan kain ini merupakan rangkaian proses panjang mulai dari mangunggas  (memintal), makkulhul (menggulung), mangani (membentuk), dan manotar  (menenun) (http://tanobatak.wordpress.com). Adapun proses pembuatannya adalah  sebagai berikut:
    a. Tahap Persiapan
    Tahap ini meliputi  penentuan jenis Ulos yang hendak dibuat, pengadaan dan penyiapan kapas,  dan pengadaan bahan pewarna. 
    1) Pengadaan Bahan 
    Tahapan pertama pembuatan  kain Ulos menyiapkan bahan dasarnya. Adapun prosesnya adalah sebagai  berikut:
    - Pengadan kapas. Pada zaman dahulu,  kapas disediakan secara oleh masyarakat dengan cara bertani. Namun saat ini,  kapas biasanya didapat dengan membeli kepada penjuan kapas.
- Kapas kemudian dibeberkan.  Pembeberan bertujuan agar kapas mengembang sehingga memudahkan pemintal  membentuk keseragaman ukuran benang. 
- Dilanjutkan dengan pemintalan.  Pemintalan benang menggunakan alat yang disebut sorha. Untuk  mengoperasikannya, dibutuhkan dua orang. Satu orang memintal benang, dan  satunya lagi memutar sorha. Namun seiring perkembangan zaman, sorha  telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemintalan benang dapat dilakukan  dengan tenaga satu orang saja.
2) Pewarnaan
    Pewarnaan  merupakan salah satu proses paling rumit dalam pembuatan benang Ulos.  Hal ini karena proses pewarnaan menggunaan bahan-bahan alami sehingga  membutuhkan waktu yang cukup lama, berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Kegiatan  untuk  mendapatkan warna merah disebut “manubar” dan untuk mendapatkan warna  hitam disebut “mansop”. Sedangkan orang yang melakukan pewarnaan benang  disebut “parsigira”. Adapaun proses pewarnaan kain Ulos adalah  sebagai berikut:
 Ulos dengan warna dasar gelap
    - Setelah benang dipersiapkan,  dilanjutkan dengan pewarnaan benang Ulos. Untuk memberi warna dasar  benang Ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan ke dalam  sebuah periuk tanah (palabuan) yang telah diisi air. 
- Tumbuhan ini  direndam (digon-gon) selama berhari-hari sampai getahnya keluar.
- Kemudian tumbuhan itu diperas dan  ampasnya dibuang. Proses ini biasanya menghasilkan cairan berwarna hitam  kebiru-biruan yang disebut “itom”. 
- Selanjutnya, palabuan diisi  dengan air hujan yang dicampur dengan air kapur. 
- Kemudian cairan yang berwarna hitam  kebiru-biruan tersebut dimasukkan, lalu diaduk hingga larut (manggaru). 
- Setelah cairan pewarna siap, benang  Ulos di masukkan ke dalam larutan pewarna tersebut. Namun jika benang  tersebut hendak diberi warna lain (baca: tidak hanya satu warna), maka sebelum dicelupkan ke dalam tempat pewarna, bagian-bagian  benang yang hendak diberi warna lain terlebih dahulu dililit (diikat) dengan  benang. Untuk mendapatkan warna yang berkualitas bagus, pencelupan dilakukan secara  berulang-ulang. 
- Kemudian kain benang yang telah  berwarna tersebut disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu  dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat (marsigira).  Pekerjaan ini biasanya dilakukan pada pagi hari di tepi kali atau di pinggiran  sungai/danau.
- Setelah itu,  ikatan-ikatan benang dibuka dan diunggas agar menjadi kuat. 
- Benang  kemudian dilumuri dengan nasi yang dilumerkan (indahan ni bonang)  kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk. 
- Benang tersebut kemudin dijemur di bawah  terik matahari. 
3) Penentuan  Jenis Ulos
    Setelah proses pewarnaan  benang selesai, tahapan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah  menentukan jenis Ulos yang hendak dibuat. Hal ini  disebabkan karena jenis sebuah Ulos menentukan tata cara pembuatannya. 
    b. Tahap  Pembuatan
    Setelah benang  Ulos siap dan jenis Ulos yang hendak dibuat telah ditentukan,  maka proses pembuatan Ulos dapat segera dilakukan. Adapun proses pembuatanya adalah  sebagai berikut: 
 Kain Ulos yang kaya makna ternyata dibuat hanya dengat  alat
yang cukup sederhana
    - Setelah dijemur, benang-benang  tersebut kemudian diuntai (mangani). Untuk mempermudah proses  penguntaian, benang terlebih dahulu digulung berbentuk bola. Dalam proses ini,  kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan Ulos sesuai ukuran  dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.
- Setelah diuntai, benang Ulos  dapat segera diproses menjadi kain Ulos.   Proses ini disebut tonun (tenun). Orang yang bekerja sebagai penenun  Ulos disebut “partonun”.
- Setelah  ditenun, kain Ulos diberi hiasan-hiasan pengikat rambu Ulos. Pekerjaan ini disebut manirat,  dan orang yang mengerjakannya disebut panirat. 
Secara umum,  pembuatan kain Ulos terdiri dari mengani, tonum, dan manirat.  Namun sebenarnya, proses pembuatannya tidak sesederhana itu karena setiap jenis  Ulos membawa kerumitan-kerumitan tersendiri. 
    4. Jenis  dan Fungsi Ulos
    Pada  dasarnya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahan-bahan untuk membuat kain Ulos  adalah sama, yaitu kapas. Walaupun memiliki bahan dasar sama, tetapi ketika  cara membuatnya berbeda, maka akan menghasilkan jenis Ulos yang berbeda,  tidak saja pada jenis dan bentuknya, tetapi juga pada nilai dan fungsi yang  terkandung di dalamnya. Berdasarkan cara pembuatan, jenis dan fungsinya, terdapat  beberapa macam Ulos, di antaranya adalah (http://tanobatak.wordpress.com/):
 Beragam ragi  kain Ulos
    a. Ulos Jugia (Homitan).
    Ulos Jugia disebut  juga Ulos Naso Ra Pipot atau Pinunsaan. Ulos ini  mengandung nilai budaya yang tinggi dan harganya sangat mahal.  Oleh karenanya, Ulos ini biasanya disimpan di hombung atau parmonang-monangan  (jenis lemari pada jaman dulu). Menurut kepercayaan orang Batak, Ulos  ini hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah saur matua atau naung  gabe (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan  perempuan). Namun walaupun telah mempunyai cucu, seseorang belum masuk kategori  saur matua jika masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai  keturuan, walaupun telah mempunyai cucu dari anaknya yang lain. 
    Sulitnya  persyaratan untuk dapat memakai Ulos Jugia menyebabkan Ulos  ini menjadi benda langka sehingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos  ini sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya, dan nilainya sama  dengan sitoppi (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta). 
    b. Ulos Ragidup
    Pembuatan Ulos  Ragidup harus selesai dalam waktu tertentu menurut hatiha Batak  (kalender Batak). Bila dimulai artia (hari pertama), maka harus selesai  di tula (hari tengah dua puluh). Oleh karena pembuatannya dibatasi oleh  waktu, maka pembuatan Ulos jenis ini dilakukan secara gotong royong oleh  lima orang. Jumlah lima orang berdasarkan pada kain Ulos Ragidup  yang terdiri dari lima bagian, yaitu: atas, bawah, kiri, kanan dan tengah.  Kedua sisi, kiri dan kanan Ulos (ambi), dikerjakan oleh dua  orang, demikian juga dengan bagian atas dan bawah (tinorpa). Sedangkan bagian tengah  atau badan Ulos (tor) dikerjakan oleh satu orang. Sehingga secara  keseluruhan Ulos ini dikerjakan oleh lima orang. Kemudian, hasil kerja  kelima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut Ulos  Ragidup. 
    Warna, lukisan, serta  coraknya (ragi) memberi kesan seolah-olah Ulos ini benar-benar  hidup, sehingga orang menyebutnya Ragidup, yaitu lambang kehidupan. Oleh  karenanya, setiap rumah tangga Batak mempunyai Ulos Ragidup. Selain  lambang kehidupan, Ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian  dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe)  bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara  adat perkawinan, Ulos Ragidup diberikan oleh orang tua pengantin  perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai Ulos Pargomgom yang  maknanya adalah permohonan izin kepada Tuhan agar si pengantin dapat hidup  bersama. 
    Ada yang berpendapat  bahwa Ulos Ragidup nilainya setingkat di bawah Ulos Jugia. Namun  ada juga yang beranggapan bahwa Ulos Ragidup merupakan Ulos yang  paling tinggi nilainya karena selalu digunakan dalam upacara adat Batak, baik upacara  duka cita maupun upacara suka-cita. 
    Ulos biasanya dipakai oleh  golongan bangsawan (raja) dan masyarakat menengah ke atas. Pada jaman dahulu  juga dipakai untuk mangupa tondi (mengukuhkan semangat) anak yang baru  lahir. Selain itu, Ulos ini biasanya dipakai oleh suhut si habolonan  (tuan rumah) yang sedang mengadakan upacara. Dengan memakai Ulos ini  akan jelas kelihatan siapa tuan rumahnya. 
    Pada upacara perkawinan,  Ulos ini biasanya diberikan sebagai Pansamot, yaitu pemberian  dari orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki.  Di beberapa daerah, Ulos Ragidup  tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
    Jika ada orang tua yang meninggal  dunia, maka Ulos Ragidup ini hanya boleh dipakai oleh anak tertua, sedangkan  anak yang lainnya hanya boleh memakai Ulos Sibolang. Ulos ini  juga bisa digunakan untuk Panggabei (Ulos Saur Matua) kepada cucu  dari anak yang meninggal. Pada kondisi ini, Ulos Ragidup  mempunyai derajat yang sama dengan Ulos Jugia. 
    c. Ragihotang
    Ulos Ragihotang  merupakan Ulos yang mempunyai ragi (corak) rotan (hotang).  Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin, sehingga disebut juga  Ulos Marjabu. Tujuan pemberian Ulos ini adalah agar ikatan  batin kedua pengantin seperti rotan. Pemberian Ulos ini kepada si pengantin  dengan cara disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan  tangan kanan laki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan di  tengah dada seperti terikat. 
    Ulos ini  juga digunakan untuk mangulosi seseorang yang dianggap picik, dengan  harapan agar Tuhan memberikannya kebaikan sehingga orang tersebut rajin  berkerja. Dalam upacara kematian, Ulos ini dipakai untuk membungkus  jenazah, sedangkan dalam upacara penguburan kedua kalinya, digunakan untuk  membungkus tulang-belulangnya. Oleh karenanya, Ulos ini mempunyai  derajat yang cukup tinggi.
    d. Ulos Sadum
    Ulos  Sadum biasanya dipakai dalam acara-acara yang penuh keceriaan.  Hal ini dikarenakan Ulos ini mempunyai ragam warna yang cerah. Begitu  indahnya Ulos ini sehingga sering digunakan sebagai hiasan dinding atau  diberikan sebagai kenang-kenangan, khususnya kepada pejabat yang berkunjung ke  daerah Batak.
    Di Tapanuli  Selatan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa  (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Selain itu, Ulos  ini juga digunakan sebagai alas sirih di atas piring besar (pinggan godang  burangir/harunduk panyurduan) untuk mengundang (marontang) raja-raja.  
    e. Ulos Runjat
    Ulos ini  biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang ketika edang-edang  (menghadiri undangan). Selain itu, Ulos ini juga dapat diberikan kepada pengantin  oleh keluarga dekat, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak  pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik  pengantin perempuan). Ulos ini juga  dapat diberikan pada waktu mangupa-upa dalam acara pesta gembira (ulaon  silas ni roha). 
    f. Ulos Sibolang
    Ulos ini  dapat dipakai baik ketika berduka atau bersuka cita. Untuk dipakai pada saat  berduka-cita, biasanya dipilih Ulos Sibolang yang warna hitamnya  menonjol, sedangkan bila bersuka cita dipilih yang warna putihnya menonjol. 
    Dalam upacara  perkawinan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan  juga dapat disandang. Jika digunakan dalam upacara perkawinan, biasanya dipilih  yang warna putihnya menonjol. Ulos Sibolang yang digunakan dalam upacara  perkawinan, biasanya disebut Ulos Pamontari. 
    Oleh karena Ulos  ini dapat dipakai dalam semua kegiatan adat Batak, maka Ulos ini dianggap  oleh sebagian orang Batak sebagai Ulos yang paling tinggi nilai adatnya.  Namun demikian, Ulos ini kurang tepat dipakai sebagai Ulos Pangupa atau  Parompa.
    g. Ulos Suri-suri Ganjang.
    Disebut Ulos  Suri-suri Ganjang (biasanya orang Batak hanya menyebutnya Ulos Suri-suri)  karena coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu Ulos ini dipergunakan  sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul  gendang) Ulos ini dipakai hula-hula untuk menyambut anak boru.  Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “Ulos Tondi”  kepada pengantin. Ulos ini juga sering dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe.  Keistimewaan Ulos ini adalah panjangnya yang melebihi Ulos biasa.  Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu  kiri dan kanan sehingga si pemakai seakan mengenakan dua Ulos.
    h. Ulos Mangiring
    Ulos ini  mempunyai corak saling beriringan, yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan.  Oleh karenanya, Ulos ini biasanya digunakan oleh seseorang sebagai Ulos  Parompa kepada cucunya. Pemberian ini sebagai simbol bahwa si cucu akan  diikuti pula oleh kelahiran adik-adiknya yang akan menjadi teman seiring-sejalan.  
    Ulos ini juga dapat digunakan  sebagai pakaian sehari-hari. Bagi kaum laki-laki dalam bentuk tali-tali (detar),  sedangkan bagi kaum wanita dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada  waktu upacara mampe goar (pembaptisan anak), Ulos ini juga dapat  dipakai sebagai bulang-bulang oleh hula-hula kepada menantunya. 
    i. Bintang Maratur
    Ulos Bintang Maratur  sebagaimana namanya mempunyai ragi yang menggambarkan jejeran bintang  yang teratur. Jenis ragi ini bermakna kepatuhan dan kerukunan dalam ikatan  kekeluargaan. Selain itu, juga bermakna tingkatan sama rata dalam hal sinadongan  (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan). Ulos ini dapat  dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), tali-tali, atau saong.  Ulos ini mempunyai nilai dan fungsi yang sama dengan Ulos Mangiring.
    j. Sitoluntuho-Bolean
    Ulos ini  biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak  mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir  sebagai Ulos Parompa. Jenis Ulos ini dapat dipakai sebagai  tambahan, yang dalam istilah adat Batak dikatakan sebagai Ulos Panoropi  yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung  keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya yang berjejer  tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk  melubangi tanah guna menanam benih.
    k. Ulos Jungkit
    Ulos  Jungkit mempunyai hiasan yang terbuat dari permata. Oleh  karenanya, Ulos ini juga disebut Ulos Nanidondang atau Ulos  Paruda (permata). Pada zaman dahulu, Ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga  raja-raja untuk hoba-hoba, menerima tamu pembesar kerajaan, atau pada saat  melangsungkam resepsi perkawinan. Namun karena permata semakin sulit didapat,  maka bentuk ragi permata pada Ulos ini diganti dengan cara manjungkit  (mengkait) benang Ulos. Oleh karena proses pembuatannya sangat sulit,  maka Ulos ini merupakan barang langka, dan saat ini sudah sangat sulit  untuk menemukannya. 
    l. Ulos Lobu-Lobu
    Ulos  Lobu-Lobu merupakan Ulos yang digunakan untuk fungsi  khusus, misalnya oleh orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Oleh karenanya,  Ulos ini tidak pernah diperdagangkan dan orang yang membutuhkan biasanya  memesan langsung kepada pengrajinnya. Selain itu, Ulos ini biasanya disimpan  diparmonang-monangan, sehingga tidak cukup banyak orang yang mengenal  jenis Ulos ini. 
    Bentuk Ulos ini seperti  kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut Ulos  giun hinarharan. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan Ulos  ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya  anak yang dikandung lahir dengan selamat.
    Selain keduabelas jenis  tersebut, Ulos Batak masih mempunyai banyak macam dan coraknya, seperti:  Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna,  Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa,  Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, dan Ulos Takkup.  Menurut orang-orang tua, ragam Ulos Batak mencapai 57 jenis. 
    5. Penerima Ulos 
    Menurut adat yang  berkembang dalam masyarakat, setiap orang Batak akan menerima minimal tiga  macam Ulos dalam hidupnya, yaitu sewaktu baru lahir (Ulos Parompa  atau Ulos Paralo-Alo Tondi), kawin (Marjabu atau Hela),  dan saat meninggal dunia (Ulos Saput). Oleh karena setiap orang pasti  mendapatkan ketiganya, maka Ulos ini juga disebut na marsintuhu (Ulos  keharusan). (Tentang penerima Ulos sepenuhnya diolah dari  http://tanobatak.wordpress.com/).
    Kegiatan mangulosi
    a. Ulos Saat  Kelahiran
    Untuk  memberikan Ulos pada anak yang baru dilahirkan, ada dua hal yang harus  diperhatikan, yaitu: Pertama, apakah anak yang baru lahir merupakan anak sulung  atau tidak. Jika yang lahir adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan  anak sulung, maka yang mampe goar di samping sianak, hanyalah  orangtuanya saja (mar amani….). Dengan kata lain, pihak hula-hula  harus menyediakan dua Ulos, yaitu Ulos Parompa untuk sianak dan Ulos  Pargomgom Mampe Goar untuk ayahnya. 
    Kedua, apakah anak tersebut merupakan  anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. Jika masuk kategori  ini, maka yang mampe goar di samping si anak, juga ayah dan kakeknya (marama  ni… dan ompu ni… ). Jika kondisi ini yang terjadi, maka hula-hula  harus menyediakan Ulos sebanyak tiga buah, yaitu Ulos Parompa  untuk sianak, Ulos Pargomgom untuk ayahnya, dan Ulos Bulang-Bulang  untuk kakeknya.
    Oleh karena Ulos  ini secara khusus diberikan kepada si anak yang baru lahir, maka dalam  memberikan Ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan  agar si anak memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan dalam  pemberian Ulos biasanya melalui umpasa (pantun). 
    b. Ulos Saat Perkawinan
    Dalam upacara perkawinan,  Hula-Hula dari pihak perempuan harus menyediakan Ulos Si Tot  Ni Pansa, yaitu: Ulos Marjabu (untuk pengantin); Ulos Pansamot/Pargomgom  untuk orang tua pengantin laki-laki;  Ulos  Pamarai diberikan kepada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki  atau saudara kandung ayah; Ulos Simolohon diberikan kepada iboto  (adik/kakak) pengantin laki-laki yang sudah menikah. Jika iboto  pengantin belum ada yang menikah, maka Ulos ini diberikan kepada iboto  dari ayahnya. Jika pernikahan dilaksanakan di rumah mempelai perempuan, maka selain  Ulos Si Tot Ni Pansa, Hula-Hula dari pengantin perempuan harus  menyediakan Ulos Tutup Ni Ampang.  
    Pemberian Ulos  dalam upacara perkawinan tidak boleh dilakukan sembarangan, tetapi harus sesuai  dengan aturan adat. Secara sederhana, tata cara pemberian Ulos (biasanya  Ragi Hotang) yang disediakan oleh Hula-Hula adalah sebagai  berikut: 
    - Orang tua pengantin perempuan  langsung memberikan (mangUloshon) Ulos yang telah disediakan kepada  kedua pengantin. Ulos ini disebut Ulos Marjabu. 
- Apabila orang tua pihak perempuan  diwakili oleh keluarga dekatnya, maka si wakil tersebut berhak memberikan Ulos  kepada pengantin. Tetapi jika orang tua dari pengantin laki-laki, maka Ulos  Pansamot harus diterima secara terlipat.
- Penyampaian Ulos  biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan ungkapan-ungkapan  yang mengandung tuah (pasu-pasu). 
- Kemudian dilanjutkan pemberian  beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi). Beras ini ditaburkan kepada  umum dengan mengucapkan “horas” tiga kali. 
- Dilanjutkan dengan pemberian Ulos  kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya. Pemberian ini  dilakukan bersamaan dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. 
- Setelah itu  dilakukan pemberian Ulos Si Tot Ni Pansa kepada pamarai dan simolohon.  Ulos ini biasanya diberikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan  saudara nenek).
- Yang terakhir (penutup) adalah pemberian  Ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
c. Ulos Saat Kematian
    Ulos ini merupakan Ulos  terakhir yang diterima oleh orang Batak. Jenis Ulos yang diberikan  kepada orang  pada saat kematiannya  ditentukan oleh statusnya (umur dan keturunan). Secara garis  besar, ada tiga kategori orang meninggal, yaitu: muda, berkeluarga, dan tua.
    - Jika seseorang  mati muda (mate hadirianna) maka Ulos yang diterimanya, adalah Ulos  Parompa yang disebut parolang-olangan. 
- Apabila yang  meninggal sudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring), maka yang  diberikan adalah Ulos Saput.  Sedangkan yang  ditinggalkan (duda, janda) diberikan Ulos Tujung. 
- Bila yang meninggal dunia adalah orang  tua yang sudah lengkap menurut sari/saur matua, maka kepadanya diberikan  Ulos Panggabei. Sedangkan jika ia belum mempunyai keturunan yang meninggal  dunia, maka ia berhak mendapatkan  Ulos  Jugia. 
6. Nilai-nilai 
    Kain Ulos tidak  sekedar hasil kerajinan yang mempunyai tampilan indah, tetapi juga merupakan  manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Dengan kata lain,  dengan mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kain Ulos,  maka kita akan mengetahui apa dan siapa orang Batak. Oleh karenanya, upaya  pelestarian kain Ulos baik secara fisik maupun nilai-nilai yang  dikandungnya harus segera dilakukan. Atau, generasi Batak akan  teralienasi karena tercerabut dari akar lokalitasnya. 
    Secara garis  besar, ada empat nilai yang dapat kita ambil dari kain Ulos, yaitu:  kearifan lokal, keyakinan, tata aturan, dan kasih sayang. Pertama, kain Ulos  merupakan manifestasi dari pengetahuan lokal masyarakat Batak. Kondisi  geografis alam tempatan orang Batak yang berhawa cukup dingin menyebabkan  matahari dan api tidak cukup memberi kehangatan, kondisi ini telah menggugah  orang-orang Batak untuk mencari dan menciptakan sumber kehangatan baru, yaitu  kain Ulos. Oleh karenanya, penggunaan kapas sebagai bahan baku utama  untuk membuat kain Ulos, bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan proses  panjang dari sebuah pencarian. Demikian juga pewarna kain yang dibuat dari  bahan-bahan alami. 
    Kedua, pengetahuan lokal  tersebut terus berkembang dan akhirnya menjadi falsafah hidup orang Batak.  Menurut orang Batak, ada tiga sumber kehangatan, yaitu: matahari, api, dan Ulos.  Eksistensi kain Ulos semakin kuat ketika ia menjadi bagian penting dari  upacara-upacara adat yang dilakukan oleh orang Batak. Akhirnya, kain Ulos  menjadi kain sakral yang menjadi simpul keyakinan orang Batak kepada Tuhan. 
    Ketiga, kain Ulos  sebagai sumber tertib sosial (baca: tata aturan). Beragam Ulos dengan  segenap raksa yang terkandung di dalamnya, jika dikaji secara serius, ternyata  merupakan sumber untuk melakukan tertib sosial dalam masyarakat Batak. Ulos  Jugia, Ragidup, dan Ragihotang misalnya, mengandung tata aturan  bagaimana hidup bermasyarakat dan bagaimana tertib sosial dijaga dalam  masyarakat. Mengapa Ulos Jugia hanya boleh dipakai oleh kakek yang telah  mempunyai cucu, mengapa Ulos ragidup harus dipakai oleh tuan  rumah dalam kegiatan kemasyarakatan, dan mengapa Ulos Sadum harus  dijadikan alas sirih ketika menyambut raja. Dengan kata lain, keberadaan  beragam jenis Ulos tersebut, merupakan cara masyarakat Batak menjaga  harmoni sosial. 
    Keempat, kain Ulos sebagai  pertanda kehangatan (baca: kasih sayang) orang Batak. Pemberian Ulos (mangulosi)  agar orang yang diberikan terlepas dari serangan dingin yang menggrogoti tulang  merupakan cara orang Batak mengungkapkan kasih sayangnya. Dengan memberikan Ulos,  maka ia telah melindungi orang-orang yang dikasihinya.
    (Ahmad Salehudin/bdy/34/07-08)
    Daftar Bacaan
    - Ater B. Sinaga, “Makna  dan arti Ulos dalam Masyarakat Batak,” dalam http://ath3r.wordpress.com/makna-dan-arti-Ulos-dalam-masyarakat-batak/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- Biranul Anas / Jonny  Purba, “Busana Tradisional Batak,” dalam http://www.tamanmini.com/anjungan/sumut/budaya//busana_tradisional_batak,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- Efri Ritonga,  “Tiga Dunia pada Sehelai Kain,” dalam Koran Tempo, Minggu, 29 April 2007
- “Kajian Antropologi  Batak Prof Bas,” dalam http://www.silaban.net/wp-print.php?p=1675,  diakses tanggal 26 Juni 2008. 
- “Kapan Ulos Batak  Menjadi Kebanggaan?” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/06/30/kapan-Ulos-batak-menjadi-kebanggaan/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- “Melongok Produk Ulos  Moderen Ala Martha Ulos”, dalam http://www.silaban.net/2001/04/14/melongok-produk-Ulos-moderen-la-martha-Ulos/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- Monang Naipospos, “Proses  Pembuatan Ulos di Toba,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/01/proses-pembuatan-Ulos-di-toba/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- Oloan Pardede, “Mengenal  Ulos Batak,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2008/02/18/mengenal-olos-batak/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- “Proses Pembuatan Ulos  di Toba,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/01/proses-pembuatan-Ulos-di-toba/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- Richard Sinaga, 1997, Leluhur  Marga Marga Batak, dalam Sejarah Silsilah dan Legenda, (Jakarta: Penerbit  Dian Utama)
- “Sejarah Batak”, dalam http://parapat0.tripod.com/sejarah.html,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
- “Ulos Produk Eksotik”,  dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/10/22/Ulos-produk-eksotik/,  diakses tanggal 26 Juni 2008.
Dibaca : 178.541 kali.