Rabu, 29 Oktober 2025   |   Khamis, 7 Jum. Awal 1447 H
Pengunjung Online : 0
Hari ini : 41.684
Kemarin : 180.132
Minggu kemarin : 1.301.231
Bulan kemarin : 7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
IMAGE GALLERY
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Ensiklopedi Melayu

Menginang atau Menyirih

Perangkat menginang atau menyirih.

Menginang atau menyirih adalah istilah untuk menyebut kebiasaan mengunyah paduan daun sirih, pinang, dan kapur yang pada masa selanjutnya juga dicampur dengan gambir dan tembakau. Kebiasaan yang kini mulai sulit ditemukan ini merupakan kebiasaan khas masyarakat di Asia Tenggara, tak terkecuali masyarakat Melayu. Selain menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari, sirih pinang juga hadir sebagai perkakas utama perhelatan adat, seperti pertunangan (pinangan), pernikahan, upacara melenggang perut, hingga upacara membangun rumah.

Sirih pinang telah menjadi salah satu simbol budaya Melayu. Hal ini mudah dilihat dari tradisi lisan Melayu yang kerap memunculkan perangkat sirih pinang sebagai metafora maupun sebagai pijakan membangun ajaran moral adat. Sirih pinang kerap muncul dalam tunjuk ajar Melayu, misalnya: Makan sirih berpinang tidak / Pinang ada di bawah tangga / Makan sirih mengenyang tidak / Kerana budi dan bahasa. Sirih pembuka pintu rumah / Sirih pembuka pintu hati / Yang jauh jadi dekat / Yang renggang kembali rapat. Dua pantun ini cukup memberikan gambaran bahwa kebiasaan menginang merupakan bagian dari pergaulan sosial budaya masyarakat Melayu. Menurut Norhayati Mohd. Said (cet ke-2, 1987:2-3), sirih pinang merupakan bagian dari sopan santun dan saling menghormati dalam kebudayaan Melayu.

Bahan-bahan dalam bersirih pinang juga dilekati berbagai makna yang ditilik dari sifat masing-masing bahan. Sirih, misalnya, dianggap mengajarkan sifat rendah diri dan memuliakan orang lain lantaran pohonnya bersifat memanjat, memerlukan sandaran pohon atau tempat lain, tetapi tidak sampai merusak sandarannya. Pohon pinang dianggap melambangkan keturunan orang baik-baik, tinggi secara adat dan lurus dalam budi pekerti, seperti penampilan pohonnya yang menjulang ke atas. Kapur yang putih dianggap mewakili niat hati bersih. Gambir yang pahit menandakan hati yang tabah menahan penderitaan. Sedangkan tembakau yang pahit juga dianggap mencerminkan sifat tabah dan rela berkorban untuk orang lain (Said, 1987:1 dan Mahyudin Al Mudra, 2006: 22-23).

Kebiasaan menginang sendiri menurut perkiraan Anthony Reid dimulai sudah sejak lama. Buah pinang misalnya, yang dalam catatan para musafir Cina disebut pin-lang, konon telah dikonsumsi sebagai bagian dari bersirih pinang (betel-chewing) pada dua abad sebelum Masehi (Reid, 1985:529-530). Para pengelana Eropa juga banyak memberi kesaksian bahwa kebiasaan ini begitu meluas, baik di kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa. Contohnya kesaksian Antonio Pigafetta yang melayari kawasan Nusantara pada warsa 1521. Ia menulis bahwa masyarakat Nusantara “secara terus menerus mengunyah buah yang mereka sebut areca (pinang), yang menyerupai buah pir. ... dibungkus dengan daun (sirih). Mereka semua melakukan itu, sebab itu dapat menyejukkan hati, dan jika mereka berhenti memakannya mereka akan mati,” (Pigafetta via Reid, 1985:530 dan Reid, terj. 1992:49).

Di kalangan bangsawan, sirih pinang kerap disuguhkan ketika raja menjamu tamu-tamu asing. Pengalaman Augustin de Beaulieu yang mengunjungi Kesultanan Aceh antara 1620-1621 menunjukkan hal itu. Ia diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Muda dengan suguhan bejana besar dari emas yang penuh dengan sirih (dalam Lombard, terj. 2007:199). Kebiasaan menyuguhkan perangkat sirih pinang kepada tamu, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat biasa mengindikasikan bahwa kebiasaan ini memiliki fungsi sebagai alat pergaulan sosial. Menurut William Marsden, suguhan sirih pinang merupakan tanda penerimaan atau ramah-tamah dari tuan rumah. Orang Sumatra biasa menyuguhkan peralatan sirih pinang lengkap dan menghidangkannya kepada tamu.  Bahkan jika ia bepergian, mereka akan tetap membawa peralatan menginang sebagai bekal dalam perjalanan (Marsden, terj. 2008:257-258).

Selain berfungsi sebagai alat pergaulan sosial, sirih pinang juga menjadi perangkat penting dalam berbagai perhelatan budaya Melayu. Hal ini dimungkinkan karena hakikat dari kebiasaan bersirih pinang menyimbolkan penghormatan dan persembahan kepada tamu, orang lain, atau bahkan arwah leluhur. Dalam kebudayaan pra-Islam, sirih pinang kerap digunakan sebagai sesajian kepada leluhur atau para dewa (Al Mudra, 2006:2). Bahkan hingga kini, masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, masih menyajikan sirih pinang sebagai simbol penghormatan kepada arwah para leluhur dalam perayaan-perayaan adat (http://koran.kompas.com).

Sajian sirih pinang juga selalu hadir dalam berbagai ritual budaya, seperti upacara kematian, kelahiran, penyembuhan, dan terutama pertunangan dan pernikahan. Istilah meminang sendiri, misalnya, merupakan kata yang diambil dari tradisi menghadirkan sirih pinang dalam prosesi melamar seorang gadis. Selain menjadi barang hantaran pelamar laki-laki, atau penyambutan oleh keluarga perempuan, sirih pinang juga menjadi hiasan dalam pesta perkawinan. Hiasan tepak sirih maupun ornamen berupa pohon pinang kerap ditampilkan sebagai pemanis suasana dalam resepsi pernikahan.

Anthony Reid memiliki perkiraan yang menarik berkaitan dengan masuknya simbol sirih pinang dalam upacara pertunangan atau perkawinan. Menurutnya, perjamuan sirih pinang dalam prosesi perkawinan adalah bentuk permulaan dari hubungan sosial (social intercourse) sebelum kedua mempelai menuju hubungan seksual (sexual intercourse). Perjamuan antara keluarga mempelai laki-laki dan perempuan berlangsung dengan suguhan sirih pinang, hal ini menyimbolkan ikatan kekerabatan dua keluarga. Sementara berlangsungnya perkawinan dua mempelai, yakni laki-laki dan perempuan, menyimbolkan bersatunya dua insan manusia ke dalam relasi keluarga yang salah satunya untuk merestui terjadinya hubungan seksual (Reid, 1985:531-532).

Tak hanya berfungsi dalam ranah sosial budaya, kebiasaan menginang juga dipercaya mempunyai manfaat kesehatan. Dalam dunia kedokteran, kebiasaan menginang dianggap memiliki efek sebagai narkotik ringan (mild narcotics). Perpaduan buah pinang (areca nut), daun sirih (piper betel), dan kapur (lime) menghasilkan zat kimiawi yang berfungsi menenangkan sistem saraf pusat, sehingga dapat menenangkan pikiran (http://en.wikipedia.org).

Di samping berfungsi sebagai narkotik ringan, sirih pinang juga diyakini memiliki manfaat untuk pencernaan, berfungsi sebagai pasta gigi, menguatkan gigi, dan menyegarkan bau mulut. Khasiat daun sirih juga telah lama diketahui, yaitu memiliki manfaat sebagai antiseptik. Mengkonsumsi sirih diyakini mampu mencegah sakit diare dan disentri. Bahkan dalam Kitab-kitab Tib (kitab kesehatan) Melayu, banyak diulas mengenai manfaat tanaman tradisional, termasuk daun sirih sebagai obat berbagai macam penyakit (Harun Mat Piah dalam Rogayah A. Hamid dan Mariyam Salim, 2006:286).

(Lukman Solihin/ensi/15/07-09)

Daftar Bacaan:

  • Al Mudra, Mahyudin. 2006. Tepak Sirih. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).
  • Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu (terjemahan cet-1).
  • Mat Piah, Harun. 2006. “Ubat Tradisional: Kitab Tib Versi Terengganu,” dalam Rogayah A. Hamid dan Mariyam Salim, Kesultanan Melayu Terengganu, hlm. 273-300. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • Reid, Anthony. 1985. “From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia”, The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 3 (May, 1985).
  • ----------. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (terjemahan).
  • Said, Norhayati Mohd. 1987. “Sirih Pinang: Lambang Daun Budi Masyarakat Melayu”, dalam Sirih Pinang: Kumpulan Esai, hlm. 1-3. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • Wikipedia the free encyclopedia. “Arecoline”, diunduh tanggal 30 Mei 2009 dari: http://en.wikipedia.org/   
  • Harian Kompas. “Membawa Upeti ke Leluhur”, diunduh tanggal 10 Juli 2009 dari: http://koran.kompas.com/  

Kredit Foto: http://culture.melayuonline.com/