1. Sejarah
    Kesultanan Benua Tamiang merupakan  kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum  ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses  perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan Benua Tamiang yang telah  dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Berikut ini akan  dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal  bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang.  
    a. Masa Awal Pembentukan  Tamiang
    Bukti adanya Negeri Tamiang adalah  bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee  Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama  yang menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang  terdapat pada situs Tamiang.
    Pada tahun 960, di wilayah Aceh  Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang bernama Tan Ganda. Negeri ini  berpusat di Bandar Serangjaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola  I yang menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh  berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman,  ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit  Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat pemindahan itu, maka mulai  berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh  (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda  (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190).
    Sepeninggalan Tan Penok, karena  tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh  diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya. Sejak saat itu, Kerajaan Bukit  Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai berikut: Raja  Pucook Sulooh (1190-1256); Raja Po Pala (1256-1278); Raja Po Dewangsa  (1278-1300); dan Raja Po Dinok (1300-1330).
    Pada akhir pemerintahan Raja Po  Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian  Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di  Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po  Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan  perang. Sejak saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang. 
    b. Masa Kesultanan Benua  Tamiang
    Proses islamisasi di Tamiang  berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan  melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam.  Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan  dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda Setia  sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352). Dengan demikian, kesultanan  ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat pemerintahan kesultanan ini letaknya  kini di Kota Kualasimpang.  
    Di akhir pemerintahan Sultan Muda  Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit.  Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan tersebut, meski  kondisi Kesultanan Benua Tamiang sempat porak-poranda. Atas kemampuannya  tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Muda  Sedia pada tahun 1352, namun bukan dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya  sebagai pemangku sultan saja. Pada masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat  pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini letaknya sekitar daerah  Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu  berakhir pada tahun 1369.
        Tahta kekuasaan kesultanan kemudian  beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya,  serangan Majapahit masih berlanjut hingga menyebabkan kegiatan penyebaran Islam  di kesultanan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penggantinya, Sultan Po  Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan  yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru  dan menyusun pemerintahan kembali.
    Keadaan baru dapat kembali stabil  pada masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada  masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota  Menanggini (kini bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam kembali dapat  dilakukan pada masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan  Islam dan pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama  pemerintahannya.
    Sultan Po Kandis digantikan oleh  anaknya sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena  tidak mempunyai anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po  garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558). Peristiwa penting yang  terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari  Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Ketika  itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di  Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang tujuannya adalah sebagai strategi  penting untuk menghadapi serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini  dapat dikatakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang. 
    2. Silsilah 
    Urutan sultan-sultan yang berkuasa  di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut: 
    - Sultan Muda Setia (1330-1352)
- Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
- Sultan Po Malat (1369-1412)
- Sultan Po Kandis (1454-1490)
- Sultan Po Garang (1490-1528)
- Pendekar Sri Mengkuta  (1528-1558)
3. Periode Pemerintahan
    Kesultanan Benua Tamiang dapat  eksis selama dua abad lebih (1320-1558). Selama rentang waktu yang panjang itu,  kesultanan ini pernah mengalami masa pasang surut. Kesultanan ini kini telah  masuk ke dalam sistem pemerintahan masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang. Terbentuknya  kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10  April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten  otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
    4. Wilayah Kekuasaan
    Wilayah kekuasaan Kesultanan Benua  Tamiang mencakup daerah-daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh  Tamiang, yaitu: Bendahara, Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak  Payed, Rantau, Seruway, dan Tamiang Hulu.
    5. Struktur Pemerintahan
    Kesultanan Benua Tamiang diperintah  oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu  oleh seorang mangkubumi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan  bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat  seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah  sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
    Di tingkat pemerintahan daerah,  sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu: (1) Datuk-datuk Besar yang  memimpin daerah-daerah kedatuan; (2) Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin  daerah-daerah suku perkauman; (3) Raja-raja Imam yang memimpin para imam di  daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah.  
        Dalam bidang keamanan dan  pertahanan kesultanan, juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya  menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh  panglima daerah, yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan,  Panglima Kuntum Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima  Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah  di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah  kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.
    6. Kehidupan Sosial-Budaya
    Data kehidupan sosio-budaya berikut  ini merupakan data pada masa modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang.  Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis  Melayu. Di samping etnis Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari etnis Aceh,  Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
    Sektor pertanian masih memegang  peranan penting dalam perekonomian masyarakat Tamiang sebab penduduk di  kabupaten ini mayoritas berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga  petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan  Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga). Tanaman pangan yang biasa ditanam penduduk  adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan tanaman  perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kopi,  kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sumbangan sektor  pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen  lebih, dan kontribusi terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu  sekitar 20 persen.
    Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua  cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang  Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai/Krueng Kaloy. Keberadaan  sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping  dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai  alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan,  maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.  
    (HS/sej/35/12-07).
     
    Sumber:
    - “Kabupaten Aceh Tamiang”, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/02/otonomi/883110.htm,  diakses tanggal 4 Desember 2007. 
- Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo.  2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan  Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Dibaca : 16.398 kali.
 Komentar untuk  "kesultanan benua tamiang" 
  
    | 
        17 May 2011.
        adam ismail Ada sedikit hal yang ingin saya ketahui, menurut kabar yang ada,bahwasanya gajahmada yang menyerang aceh,tidak ditemukan makamnya,nah di cerita tamiang ada kabar tersiar bahwa ada sebuah makam di daerah sarang jaya, yang diyakini adalah makamnya gaah mada.mohon pencerahannya......adam  | 
  
 Berikan komentar anda :