Close
 
Jumat, 24 Oktober 2025   |   Sabtu, 2 Jum. Awal 1447 H
Pengunjung Online : 0
Hari ini : 23.971
Kemarin : 113.980
Minggu kemarin : 694.659
Bulan kemarin : 7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
IMAGE GALLERY
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Opini

25 februari 2010 07:33

Budaya “Mahar” di Sulawesi Selatan: Perlukah Dipertahankan?

Oleh Samsuni

Ketika sebuah keluarga dalam suku Bugis-Makassar akan mengadakan pesta perkawinan, hal yang paling urgen dibicarakan adalah mahar. Sejak 30 tahun terakhir, mahar dalam tradisi perkawinan orang Bugis-Makassar telah menjadi momok yang menakutkan bagi para pemuda yang semakin cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pihak keluarga perempuan tidak tanggung-tanggung mematok jumlah mahar yang terbilang fantastis dan cukup tinggi, yaitu kisaran antara dua puluh juta, tiga puluh juta, lima puluh juta, dan bahkan sampai ratusan juta. Tentu saja jumlah tersebut akan “mencekik leher” bagi keluarga laki-laki yang berstatus ekonomi lemah. Belum lagi dengan pemberian lainnya seperti sebidang tanah, seperangkat perhiasan emas, dan seserahan lainnya.

Dewasa ini, interpretasi yang muncul dalam pemahaman sebagian orang Bugis-Makassar tentang pengertian mahar masih banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan mereka, terdapat dua istilah yaitu sompa dan dui‘ menre‘ (Bugis) atau uang panaik (Makassar). Sompa adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan dui‘ menre‘ atau uang panaik adalah “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.

Secara sepintas, kedua istilah di atas memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan dui‘ menre‘ adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat. Tetapi, sebagian orang Bugis-Makassar memandang bahwa nilai kewajiban dalam adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syari‘at Islam. Sejatinya, sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara (Pelras, 2006: 4), seharusnya mereka lebih mementingkan nilai kewajiban syari‘at Islam daripada kewajiban menurut adat. Kewajiban memberikan mahar dalam syari‘at Islam merupakan syarat sah dalam perkawinan, sedangkan kewajiban memberikan dui menre` menurut adat, terutama dalam hal penentuan jumlah dui menre`, merupakan konstruksi dari masyarakat itu sendiri tanpa memiliki dasar acuan yang jelas.

Apa sebenarnya yang melandasi jumlah  dui menre` tersebut cenderung semakin meningkat? Ada dua faktor utama yang menyebabkan kecenderungan tersebut yaitu, pertama, disebabkan oleh semakin memudarnya kekuasaan politik tradisional sejak 30 tahun terakhir sehingga tidak ada lagi aturan maupun pihak-pihak yang berwenang menegakkan aturan adat. Faktor kedua disebabkan oleh munculnya paradigma berpikir dalam masyarakat Bugis-Makassar yang menganggap bahwa keberhasilan mematok jumlah dui menre` yang tinggi merupakan sebuah prestise. Belum ada keterangan yang jelas mengenai kapan dan dari mana munculnya anggapan yang telah membentuk paradigma berpikir sebagian masyarakat Bugis-Makassar tersebut.

Aslan Abidin, seorang pengamat kebudayaan dari Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pernah mengemukakan dalam sebuah kesempatan bahwa anggapan tersebut muncul karena orang Bugis-Makassar memiliki karakter berkompetisi. Mereka senantiasa hidup dalam suasana persaingan di dalam masyarakat, bahkan dengan keluarga sendiri. Hanya saja, menurut dia, kompetisi yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bugis-Makassar tersebut dianggap kurang tepat. Masih ada medan kompetisi yang lebih penting daripada kepemilikan materi. 

Besar Mudharat dari pada Maslahat

Di satu sisi, tingginya jumlah dui menre` memang mendatangkan maslahat (manfaat) karena dapat memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam mempersiapkan diri menghadapi perkawinan. Selain itu, ada pula anggapan yang mengatakan bahwa tingginya jumlah dui menre` dapat mengurangi tingkat perceraian di dalam rumah tangga karena tentu seorang suami akan berpikir sepuluh kali untuk menikah lagi dengan pertimbangan jumlah dui menre` yang sangat tinggi. Barangkali saja kedua alasan tersebut memang benar, tetapi di sisi lain ada hal penting yang perlu diperhatikan yaitu sisi mudharat atau kerusakannya.

Dalam kenyataannya, banyak pemuda yang gagal menikah akibat ketidakmampuannya memenuhi jumlah dui menre` yang dipatok oleh keluarga perempuan, sementara pemuda dan si gadis telah menjalin hubungan yang serius. Persoalannya tidak hanya sampai di situ, pemuda yang lamarannya ditolak tentu akan merasa malu dan harga dirinya direndahkan. Dari sinilah terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari, yaitu pemuda dan si gadis meninggalkan kampung halaman untuk menikah di tempat lain tanpa ada restu dari orangtua mereka. Tentu saja perbuatan mereka memunculkan persoalan lain yang justru akibatnya lebih fatal lagi. Kedua orangtua si gadis yang merasa ripakasiri atau dipermalukan karena anak gadisnya dibawa lari akan merasa malu karena harga dirinya direndahkan. Menurut adat setempat, untuk mengangkat kembali harga dirinya yang telah diinjak-ijak, maka kedua orangtua si gadis berkewajiban membunuh pemuda itu. Konsekuensi lain dari tingginya jumlah dui menre` juga dapat menyebabkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat seperti hamil di luar nikah (zina), semakin banyaknya perawan tua yang berujung pada terjadinya fitnah, dan lain sebagainya.

Melihat kenyataan tersebut, muncullah sebuah pertanyaan di benak saya: “Masih perlukah budaya dui menre` tersebut dipertahankan?” Menurut hemat penulis, fenomena di atas telah menunjukkan bahwa tingginya jumlah dui menre` dalam perkawinan orang Bugis-Makassar ternyata lebih besar mudharatnya daripada maslahatnya. Untuk apa kita mempertahankan status sosial jika pada ujungnya juga akan menanggung malu karena anak gadis dibawa lari atau bahkan dihamili orang lain?

Mudah-mudahan anggapan saya tidak keliru jika mengatakan bahwa paradigma berpikir masyarakat tentang pengertian dan makna dui menre` perlu diluruskan. Jika budaya dui menre` tersebut tetap dipertahankan maka seterusnya akan menjadi momok dalam masyarakat, terutama pemuda yang akan menikah. Maka yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran terhadap masyarakat. Siapakah yang berwenang melakukannya? Tentu saja masyarakat itu sendiri dengan berkaca pada kenyataan yang ada.

_________

Samsuni adalah redaktur www.melayuonline.com dan www.ceritarakyatnusantara.com.

Sumber Foto: http://potretwisata2000.blogspot.com


Dibaca : 9.179 kali.

Tuliskan komentar Anda !