Jumat, 31 Oktober 2025   |   Sabtu, 9 Jum. Awal 1447 H
Pengunjung Online : 0
Hari ini : 2.241
Kemarin : 159.605
Minggu kemarin : 1.301.231
Bulan kemarin : 11.308.505
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
IMAGE GALLERY
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Opini

27 juli 2011 05:14

DSM, Pelopor Jurnalisme Melayu

DSM, Pelopor Jurnalisme Melayu

Oleh Iswara N Raditya

Tahun 1905, saat Perang Rusia melawan Jepang menuju usai, koran Kabar Perniagaan menulis bahwa Jepang adalah kekuatan terbesar di Asia. Datoek Soetan Maharadja alias DSM yang tidak sepakat lantas menyerang surat kabar terbitan Batavia itu. Lewat Tjahaja Sumatra, DSM menyatakan bahwa ia tidak akan pernah peduli kepada orang Asia, melainkan hanya bangsa Melayu! Tak lama berselang, masih di tahun 1905, DSM beradu kalam lagi. Kali ini melawan Dja Endar Moeda, editor Pertja Barat. Pertja Barat menyebut DSM dengan sindiran “Datuk Bangkit” dalam artian menghina: bangkit berarti naik, mengulang-ulang keluhan lama. Namun, sebenarnya pertikaian yang terjadi di antara jurnalis Melayu itu lebih disebabkan karena persaingan memperebutkan pasar.

Melalui Tjahaja Sumatra pula, pada awal 1909 DSM mengeluhkan minimnya sekolah untuk anak-anak pribumi. Ia mengatakan, pemerintah kolonial bisa membuktikan ketulusannya terhadap rakyat yang dijajah dengan membangun lebih banyak sekolah dan memperluas kesempatan pendidikan bagi pribumi. DSM memang sangat peduli dengan pendidikan pribumi. Jauh sebelumnya, saat masih bergabung dengan surat kabar terbitan Padang, Palita Ketjil, DSM tersandung kasus. Dua artikelnya, yakni “Kesengsaraan dan Perlindungan Rakyat Biasa” serta “Pikiran Orang Aceh”, yang dimuat pada 1893 dituding menghina pemerintah. Akibatnya, DSM divonis penjara 1 bulan dan denda. DSM pun naik banding ke Mahkamah Agung di Batavia. Namun, akhir dari kasus ini tidak diketahui kelanjutannya. Itulah DSM, orang Melayu yang tak pernah gentar menghadapi siapa saja, bahkan melawan pemerintah kolonial sekalipun.

Datoek Soetan Maharadja lahir di Padang, Sumatra Barat, pada 27 November 1862 dengan nama asli Mahjoedin. Ia menyandang gelar penghulu, warisan dari ayahandanya. Pada 1876, DSM menjadi magang jaksa di Padang dan 3 tahun kemudian menjadi juru tulis di kantor jaksa. DSM dipromosikan sebagai ajudan jaksa di Indrapura pada 1882. Setahun berikutnya, DSM kembali ke Padang sebagai ajudan jaksa kepala, hingga dipindahkan ke Pariaman pada 1888. Di warsa yang sama, DSM diangkat menjadi jaksa di Pariaman dan berhenti pada 1892. Selepas itu, DSM balik ke Padang dan banting setir menjadi jurnalis di surat kabar Palita Ketjil, juga ketika koran ini berganti nama menjadi Warta Berita (1895-1897). Selanjutnya, selama 1901-1904, DSM menjadi koresponden untuk Bintang Hindia dan majalah Insulinde. Sejak 1904, DSM menjadi editor Tjahaja Sumatra hingga 1910.

Setelah sekian lama bekerja untuk orang lain, DSM ingin mempunyai koran sendiri. Pada awal 1911, ia menerbitkan Otoesan Melajoe yang segera menjadi mulut perlawanannya terhadap kaum ulama dan angkatan muda Minangkabau. Duel paling seru terjadi pada kurun 1911-1913. Kubu ulama muda menerbitkan jurnal Al-Moenir pada April 1911 yang memuat tentang semua yang dianggap tabu oleh kaum adat. Sebaliknya, DSM balik menyerang dengan menyebut lawannya sebagai kaum Padri. Kekesalan DSM terhadap kaum ulama sebenarnya berawal dari Perang Padri, ketika kakek buyutnya terbunuh. DSM yang berasal dari kaum Adat menuding para ulama yang baru pulang dari Arab sebagai penerus Padri yang berusaha mengembalikan kejayaan mereka di ranah Minang. Melalui Otoesan Melajoe, DSM mengingatkan pembaca agar tidak membiarkan kemerdekaan mereka dirampas oleh “orang-orang Mekkah” tersebut. Kendati moderat akan kemajuan dan perubahan, dalam konteks konflik dengan kaum ulama, DSM justru menganjurkan kembali ke adat Minangkabau.

Kendati keras, DSM ternyata memperhatikan emansipasi perempuan. Pada 1908, DSM memprakarsai “Pekan Raya Melayu” di mana ia memperkenalkan sekolah penenun pertama untuk perempuan: Padangsche Weefschool. Pada 1912, DSM berkampanye untuk meningkatkan derajat kaum hawa melalui perluasan kesadaran dan pendidikan. Realisasi dari upaya itu, DSM membuka sekolah tenun di beberapa tempat di Sumatra Barat. Selain itu, ia menggagas surat kabar untuk perempuan, Soenting Melajoe, pada 10 Juli 1912. Di bawah arahan DSM, Soenting Melajoe dihajatkan sebagai koran perempuan reformis untuk mengejar kemajuan dan perbaikan nasib. DSM menunjuk anak gadisnya, Zoebaidah Ratna Djoewita, dan Siti Roehana Koedoes, jurnalis perempuan Melayu, duduk di keredaksian Soenting Melajoe.

DSM juga aktif dalam pergerakan Melayu. Pada akhir 1880, ia mengetuai gerakan Medan Perdamaian. Selain itu, pada 1888, ia mendirikan Medan Keramean yang bertujuan mengarahkan minat dan kepentingan anggotanya ke jalan yang benar. Pada 1906, DSM membentuk Medan Perdamaian Minangkabau Laras nan Duo di Padang dan memprakarsai gerakan memurnikan adat Minangkabau. Pada 1911, ia membentuk Perserikatan Orang Alam Minangkabau dan dilanjutkan dengan Sarekat Adat Alam Minangkabau (SAAM) pada September 1916.

Bagai hidup di dua dunia, DSM adalah seorang tokoh adat yang konservatif, namun sekaligus orang modern yang meyakini pentingnya pendidikan demi mencapai kemajuan. DSM menganjurkan kemajuan Melayu melalui pendidikan Barat. Inilah yang membuatnya diberi gelar penggagas dan penghulu pandangan sekuler kaum muda. Kedudukan DSM sebagai aristokrat dan pemuka adat membuat perannya sangat berpengaruh. Apapun bentuk gerakannya, kiprah DSM bagi dunia pergerakan dan jurnalisme nasional menjadi hal positif. DSM wafat pada tahun 1921.

__________

Iswara N Raditya, Redaktur/Editor www.MelayuOnline.com


Dibaca : 1.217 kali.

Tuliskan komentar Anda !