A. Hasjmy
            1.  Riwayat Hidup
    Siapa  yang tidak mengenal A. Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan,  dan politikus. Ia lahir di Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama  kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran  yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti  nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki. A. Hasjmy merupakan anak  kedua Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan  pegawai negeri. 
    A.  Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika itu A.  Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun (lahir pada  Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1). Mahdi A. Hasjmy  (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy (lahir pada tanggal  11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan  A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12  September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6)  Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir  pada tanggal 21 Juni 1955).   
    Hasjmy  menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche School Montasie  Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat  sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan  pendidikannya di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang  pendidikan tsanawiyah (menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah  (menengah tingkat atas). Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta  tanah air yang kuat, dan menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian  melanjutkan pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh  al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di  Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan  pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti  kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
    Pada masa  mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan  organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia  menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933  hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII  merupakan sebuah organisasi underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin  Indonesia), sebuah partai radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap  pemerintahan Hindia Belanda.
    Pada  tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama  dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah  menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi  salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan  radikal yang giat melakukan  gerakan  politik untuk menentang penjajahan Belanda.
    Sejak  tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan  Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI  (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik  yang kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda. Pada tahun  1941, bersama sejumlah teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah  tanah, yaitu Gerakan Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan  terhadap kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan  kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A.  Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu,  ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda  meninggalkan Aceh.
    Pada  awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun  dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu  organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan  Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal  14 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada  tanggal 17 Agustus 1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan  terhadap para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI  berubah menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi  menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda  Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan  diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai  Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam  sebagai dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi  Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai  pemimpinnya.
    A.  Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan  Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di  Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah  ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953  sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di  Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua  Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.    
    Selain  aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah  jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai  pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan  Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara  (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala  Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan  dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964);  dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia  pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas  permintaannya sendiri.
    Penunjukan  A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh sedang  dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara. Masyarakat Aceh  menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil memulihkan keamanan Aceh  pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan  seperjuangannya mulai memikirkan dan memusatkan perhatian pada pengembangan  dunia pendidikan di berbagai wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia  pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan  Mahasiswa) Darussalam. Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat  provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal,  yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).  Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan  juga berdiri sejumlah taman pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang  kini bernama Pusat Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).
    Setelah  tidak lagi memegang jabatan pemerintahan, A. Hasjmy kemudian aktif dalam berbagai  kegiatan intelektual. Ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Dakwah (Publisistik)  IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1968. Ia diangkat dan dikukuhkan sebagai  Guru Besar (Prof) dalam ilmu dakwah di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, pada tahun  1976. Ia kemudian menjabat sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry sejak tahun 1977  hingga November 1982.
    A.  Hasjmy sebenarnya juga pernah memegang sejumlah jabatan non-birokratis lainnya,  baik di pemerintahan maupun di pendidikan, yaitu: Anggota Badan Pekerja Dewan  Perwakilan Rakyat Aceh (1946-1947); Anggota Staf Gubernur Militer Aceh,  Langkat, dan Tanah Karo (1947); Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (1949);  Pimpinan Kursus Karang Mengarang di Kutaraja dan menjadi staf pengajarnya juga  (1947-1948 dan 1950-1951); Ketua II Panitia Persiapan Universitas Sumatera  Utara (USU), Medan (1957); Wakil Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Ekonomi  Negeri Kutaraja (1958); Ketua Umum Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama  Islam Negeri, Kutaraja (1959); Anggota Pengurus Besar Front Nasional (1960);  Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (1960); Ketua  Umum Panitia Persiapan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) (1960); Ketua DPR-GR  Daerah Istimewa Aceh (1961); Ketua Dewan Kurator Universitas Syiah Kuala  (1962-1964); Pimpinan Umum Harian Nusa Putra dan Staf Redaksi Harian Karya  Bhakti di Jakarta (1964-1965); Anggota MPRS Golongan B (wakil Daerah Istimewa  Aceh) (1967); menjadi dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan Ilmu  Dakwah pada beberapa fakultas di Kopelma Darussalam (sejak tahun 1967); Wakil  Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Aceh (sejak tahun 1969);  Ketua Umum MUI Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sejak tahun 1982); Anggota Dewan  Pertimbangan MUI Pusat (sejak berdirinya lembaga ini); Ketua Umum LAKA (Lembaga  Adat dan Kebudayaan Aceh) (sejak berdirinya lembaga ini); Ketua Umum Dewan  Masjid Indonesia Daerah Istimewa Aceh (sejak berdirinya lembaga ini); dan  Anggota Dewan Penasehat ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Pusat.     
    Ketika  tidak aktif di pemerintahan dan hanya aktif di dunia pendidikan, telah puluhan  kali A. Hasjmy menyampaikan makalah dalam berbagai kesempatan seminar,  lokakarya, simposium, konferensi, dan muktamar, baik di dalam negeri maupun  luar negeri. Sebagai bentuk apresiasi dirinya terhadap pengembangan keilmuan,  ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy pada awal tahun 1989. Pada tahun  1990, atas persetujuan istrinya dan semua putra-putrinya, ia mewakafkan kepada  yayasan tersebut berupa tanah seluas hampir 3.000 m2, rumahnya, buku-buku lebih  dari 15.000 jilid, naskah-naskah tua, album-album foto bernilai sejarah dan  budaya, dan masih banyak sekali benda budaya lainnya. Semua barang miliknya  dijadikan koleksi Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy. Pada  tanggal 15 Januari 1991, perpustakaan dan museum ini diresmikan oleh Prof. Dr.  Emil Salim, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada saat  itu.
    2.  Pemikiran
    A.  Hasjmy merupakan tokoh besar Aceh yang memiliki pemikiran multi-dimensi. Ia  dikenal sebagai ulama, politisi, sastrawan, dan juga sekaligus budayawan.  Berikut ini dikemukakan sejumlah butir pemikirannya yang dikelompokkan dalam  beberapa bidang pemikiran.
    2.  1. Pemikiran Politik Kebangsaan
    A.  Hasjmy mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotisme yang sungguh besar. Hal ini  dibuktikan dengan perannya dalam mempengaruhi pemerintah RI pusat agar mau  melepaskan Aceh dari “kungkungan” Provinsi Sumatera Utara dan berdiri sendiri  sebagai sebuah provinsi. Pada tanggal 1 Januari 1957, usahanya berhasil mendapat  persetujuan dari Presiden Soekarno, Presiden RI Pertama. 
    Oleh  Kabinet Ali Sastroamidjoyo ke-2, A. Hasjmy diminta menjabat sebagai Gubernur  Aceh yang pertama kali (1957). Tugasnya yang paling pokok adalah menyusun  pemerintahan daerah dan memulihkan keamanan. Ia pernah berhasil mengatasi  pemberontakan Darul Islam dengan cara damai. Hal itu ia lakukan menjelang  Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (untuk kembali ke UUD 1945 dengan dasar Pancasila),  tepatnya ketika Sidang Istimewa Kabinet Karya dilakukan pada permulaan bulan  Mei 1959. Sidang ini secara khusus membahas tentang penyelesaian pemberontakan  Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sidang ini dipimpin oleh Perdana  Menteri Ir. H. Juanda, yang juga dihadiri oleh sejumlah pejabat negara,  termasuk Panglima Kodam I Kolonel Sjamaun Gaharu dan Gubernur Aceh A. Hasjmy.
    Dalam  sidang itu, A. Hasjmy memberikan penjelasan tentang perjuangan rakyat dalam  menegakkan dan mempertahankan NKRI sejak masa Revolusi 1945 sampai Konferensi  Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Ia mengajak Darul Islam agar kembali ke  pangkuan NKRI dengan cara memberikan status keistimewaan pada Provinsi Aceh.  Makna keistimewaan berarti memperkokoh NKRI yang berpedoman pada Pancasila,  dengan tetap memperhatikan kekhususan dan kekhasan sejarah sosial-budaya Aceh  yang memang banyak didasarkan pada ajaran Islam.
    A.  Hasjmy berpandangan bahwa realitas budaya Aceh yang sangat khas dan bernafaskan  Islam tidak menghalangi penerimaan masyarakat Aceh terhadap Pancasila.  Menurutnya, Pancasila merupakan pedoman hidup nasionalisme yang tetap  memperhatikan religiusitas dan monoteisme. Dengan demikian, nafas dan nyawa  masyarakat Aceh adalah sama dengan struktur dan kultur seluruh bangsa Indonesia  dalam bingkai Pancasila itu sendiri. Sehingga, masyarakat Aceh tidak perlu  alergi terhadap Pancasila.
    Sebagai  tindak lanjut dari Sidang Istimewa Kabinet Karya, PM Juanda memberitahukan  kepada A. Hasjmy bahwa Kabinet Karya akan mengirimkan Misi Pemerintah ke Aceh  di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri II Idham Chalid. A. Hasjmy menolak  penunjukkan itu dengan mengusulkan agar yang memimpin misi pemerintah tersebut  adalah Mr. Hardi, Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Karya. Padahal, Mr.  Hardi merupakan tokoh nasionalis (anggota DPP PNI/Partai Nasionalis Indonesia),  berbeda dengan Idham Chalid yang jelas-jelas berasal dari kelompok Islam karena  ia seorang ulama (Nahdhatul Ulama/NU) terkenal pada saat itu. Ketika ditanya  oleh PM. Juanda tentang apa alasan A. Hasjmy lebih suka menunjuk Mr. Hardi  daripada Idham Chalid, A. Hasjmy menjawab dengan lugas: “NU, partainya Pak  Idham Chalid sudah sejak semula mendukung kebijaksanaan pemulihan keamanan di  Aceh; sementara PNI semenjak Mr. Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet terus  menentang penyelesaian dengan cara bijaksana. Kalau Wakil PM Idham Chalid yang  memimpin misi, besar sekali kemungkinan PNI tidak akan menyetujui hasil-hasil  yang dicapai misi. Lain halnya, kalau orangnya sendiri yang memimpin misi,  yaitu Wakil PM Mr. Hardi”.
    A.  Hasjmy memiliki pemikiran yang strategis terhadap pemulihan kondisi di Aceh  secara damai. Ia tidak memperdulikan apakah yang memegang amanat misi  pemerintah itu harus berasal dari kelompok Islam atau tidak, mengingat Aceh  begitu kental dengan nuansa keagamaannya. Ia berpikir bahwa kelompok yang  selama ini kontra (kelompok nasionalis) justru perlu dirangkul dengan  menjadikan salah satu tokohnya sebagai pemimpin misi pemerintah ke Aceh (Mr.  Hardi). Maka, dengan cara seperti ini kepentingan semua kelompok dapat  diakomodir, tidak hanya satu kelompok saja. Berdasarkan pemikiran semacam itu,  A. Hasjmy merupakan tokoh politisi yang mau bersikap terbuka dengan menerima  berbagai perbedaan yang ada.
    2.  2. Pemikiran Kebudayaan dan Keagamaan   
    Pemikiran  keagamaan A. Hasjmy banyak berhubungan dengan kondisi Aceh yang selama ini  dikenal sangat kental dengan nuansa keislamannya, dalam sistem sosial, politik,  dan kehidupan keberagamaannya. Pada tahun 1990, ia menjabat sebagai Ketua LAKA  (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh). 
    LAKA  didirikan untuk meningkatkan peran, fungsi, dan sistem lembaga adat dan  kebudayaan agar sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ketatanegaraan  Republik Indonesia. Rumusan tujuan LAKA sudah tercermin dalam UUD 1945 pasal 32  yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”. Dalam  Penjelasan UUD 1945 tentang pasal 32 dinyatakan bahwa “Kebudayaan bangsa  ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia  seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di  daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha  kebudayaan harus melaju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak  menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan  memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemauan bangsa  Indonesia”.
    Di  bawah kepemimpinan A. Hasjmy, LAKA banyak melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian  adat dan kebudayaan Aceh. Di samping itu, lembaga ini juga menyegarkan adat dan  kebudayaan tersebut dengan mengintrodusir pengaruh-pengaruh positif dari adat  dan kebudayaan lain (di luar Aceh). Apa yang dilakukan A. Hasjmy bersama  lembaganya itu tiada lain mencerminkan jiwa nasionalisme Indonesia yang tidak  sempit, dengan tetap mengakar kepada adat dan kebudayaan Aceh.
    Jika  kita menelisik pemikiran A. Hasjmy secara seksama, maka akan terlihat  progresivitas dalam berbagai pemikirannya. Ia pernah mengatakan bahwa penerapan  syariat Islam di Aceh tidak perlu dipahami secara eksklusif karena pada  dasarnya umat manusia diberikan kebebasan untuk memilih Islam. Tentang hal ini,  ia mengatakan: “Islam tidak memaksa. Anda dengan rela memilih Islam, kita  menerimanya, Aceh selalu terbuka!” Artinya, Islam adalah agama yang tidak  memaksa. Islam adalah agama yang menyeru kepada kebaikan, sehingga umat manusia  dapat menerimanya atau tidak menerimanya. Hanya saja, memang orang yang dapat  menerima Islam sebagai pedoman hidup merupakan orang yang tepat karena telah  menjadikan agama ini sebagai pedoman jalan hidupnya.
    Islam  dan adat dalam kehidupan sosial-kebudayaan Aceh seakan-akan tidak dapat  dipisahkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling menyatu. Kaitan  erat keduanya, misalnya dapat terlihat pada kesenian atau kerajinan tangan Aceh  yang banyak merujuk pada simbol-simbol keislaman. Segala sesuatu hal yang  berbau kesenian atau keindahan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu di luar  agama. Tentang hal ini, A. Hasjmy pernah berujar: “Kita tidak menolak  hal-hal yang membawa kesan keindahan, kerajinan, dan ketenangan. Seni itu  indah, ia dilahirkan oleh dasar keinsafan dan kemuliaan”. Maka, tidak aneh  jika ternyata kesenian dan kerajinan tangan Aceh terus berkembang.
    A.  Hasjmy dikenal sebagai ulama yang berpenampilan sangat sederhana.  Sehari-harinya ia mengenakan kopiah yang rapi dengan motif yang sering  berbeda-beda. Ia memang dikenal sangat bangga mengenakan pakaian adat Aceh  dalam kehidupan sehari-harinya. Ada makna apa di balik baju Aceh itu? Ternyata,  di balik itu ada makna budaya yang sangat mendalam. Konon, pakaian adat Aceh  memberikan getaran semangat kepada si pemakainya. Jika dilihat dari sudut  pandang budaya Islami, kemungkinan ia sedang menerjemahkan berbagai bentuk  budaya Islami dalam model budaya keacehan. Ia sedang melakukan “pribumisasi”  atau “kontekstualisasi” terhadap budaya Islami yang ketika itu memang lebih  dahulu berkembang di berbagai pelosok dunia.   
    2.  3. Pemikiran Pendidikan
    Pada  masa awal kemerdekaan, tingkat pendidikan di Aceh masih sangat rendah. Hal itu  memang telah disengaja oleh Belanda agar mereka lebih dapat berkuasa dan  menjajah Aceh dalam waktu yang cukup lama. Ketika A. Hasjmy menjadi Gubernur  Aceh banyak hal yang berhasil dilakukannya, termasuk dalam bidang pendidikan. 
        Kecintaan  A. Hasjmy terhadap dunia pendidikan tidak dapat disangsikan lagi. Ia sangat  mementingkan pendidikan dalam hidupnya. Bahkan, ia sering menasehati generasi  muda agar memperhatikan pendidikan sebagai modal penting dalam hidup ini. Kecintaannya  terhadap pendidikan tersebut dilukiskan dalam syairnya berikut ini:
    Memetik  bakti
Sungguh  berat tanggungan pemuda
Pelindung  umat harapan bangsa
Karena  itu wahai pemudaku
Berkemaslah  saudara siapkan diri
Penuhkan  dadamu dengan ilmu
Ajarkan  hati bercita tinggi
 
Biarkan  kita miskin harta
Asal  ruhani kaya raya
 Janganlah saudara beriba hati
Karena  papa tiada beruang
Apa  guna kaya jasmani
Kalau  jiwa bernasib malang
 
Ingatlah  wahai pemudaku sayang
Bunda  tiada mengharapkan uang
Beliau  menanti sembahan suci
Dari  puteranya pemuda baru
Mari  saudaraku memetik bakti
Kita  persembahkan kepada ibu
(Dewan  Sajak, 1938)
                                                                                        Ketika  menjabat sebagai gubernur, A. Hasjmy berpikir bahwa tugas atau program pokok  pemerintahannya adalah meningkatkan pendidikan rakyat. Sebagai implementasi  dari program ini, maka muncul apa yang disebut sebagai gerakan “Konsepsi  Pendidikan Darussalam”. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk melahirkan manusia  Pancasila yang berjiwa benar, berpengetahuan luas, dan berbudi luhur.
    Untuk  mencapai tujuan tersebut, maka pada tahap awal direncanakan pembangunan pusat-pusat  pendidikan pada: (a). Tiap-tiap ibukota kecamatan yang dinamakan Taman Pelajar,  yang mencakup di dalamnya: Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah  Menengah Atas, guru, asrama pelajar, dan sebagainya; (b). Tiap-tiap ibukota  kabupaten yang dinamakan Perkampungan Pelajar, mencakup di dalamnya: Sekolah  Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, rumah guru, asrama pelajar, dan  sebagainya; (c). Di ibukota Daerah Istimewa Aceh yang dinamakan Kota  Pelajar/Mahasiswa Darussalam, mencakup di dalamnya: sekolah lanjutan atas dan  berbagai lembaga pendidikan tinggi.
    Dalam  waktu yang relatif singkat, program pembangunan Kota Pelajar/Mahasiswa  Darussalam atau yang lebih dikenal Kopelma Darussalam benar-benar terwujud. Di  Aceh, berdiri dua universitas besar kenamaan, yaitu Universitas Syiah Kuala dan  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jami‘ah Ar-Raniry. Universitas yang pertama  dikenal sebagai pusat pendidikan tinggi yang bersifat umum, sedangkan  universitas yang kedua dikenal sebagai pusatnya kajian keagamaan, khususnya  Islam.
    Program  pembangunan pendidikan tersebut masih dilanjutkan dan dikembangkan oleh  generasi pasca-A. Hasjmy, bahkan hingga kini. Pembangunan sumberdaya manusia di  Aceh telah mendapatkan dasar-dasar pemikirannya melalui para tokoh pembaharu  pendidikan pada masa lalu, terutama melalui pembentukan sejumlah universitas di  sana. Dengan demikian, hasil pembangunan yang sekarang diraih merupakan buah  dari pohon yang telah ditanam dalam kepemimpinan masa lalu. Dalam hal ini, A.  Hasjmy ikut berkontribusi penting karena telah membuat Pola Dasar Pembangunan  Lima Tahun yang pertama atau disebut dengan sebutan “Aceh Membangun”, yang  ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No.  19/1962 tanggal 17 Januari 1962.
    Landasan  dari konsep “Aceh Membangun” adalah cita-cita dan kepribadian rakyat Aceh  sebagaimana dinyatakan di dalam Piagam Pancacita. Penyusunan konsep ini  dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk secara resmi melalui keputusan  Gubernur Kepala Daerah Aceh. Untuk mengimplementasikannya, maka pada setiap  tahunnya konsep ini dijabarkan secara rinci sehingga menjadi jelas dalam proses  pelaksanaannya.
    A.  Hasjmy pernah mengeluarkan Keputusan No. 90 Tahun 1960 yang menetapkan tanggal  2 September sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Hal itu dilakukan  untuk memajukan pendidikan di Aceh. Dalam rangka Hari Pendidikan Daerah itu dibuatkan  piala bergilir yang diperebutkan setiap tahunnya. Ketika itu juga diciptakan  dua lagu mars, yaitu Mars Hari Pendidikan dan Mars Darussalam.  Kedua lagu wajib itu harus dinyanyikan para murid sekolah dasar hingga  perguruan tinggi di Daerah Istimewa Aceh.
    Pasca-kepemimpinan  A. Hasjmy, pembangunan pendidikan di Aceh masih terus berjalan dengan sistem  yang terintegrasi secara baik. Generasi muda setelahnya dengan mudah meneruskan  kegiatan-kegiatan pendidikan karena generasi sebelumnya telah memberikan  panduan yang komprehensif tentang konsep pembangunan pendidikan.
    Pada  tanggal 13 Mei 1967, Gubernur Kepala Daerah Daerah Istimewa Aceh ketika itu  melalui suratnya No. 27/1967 menetapkan bahwa tugas pengawasan dan pembangunan  Kopelma Darussalam diserahkan kepada Yayasan Pembangunan Darussalam (YPD).  Ketika itu, A. Hasjmy menjabat sebagai Ketua YPD. Dengan demikian, dapat  dikatakan bahwa pembangunan Kopelma Darussalam yang telah dirintis sejak tahun  1958 masih berjalan.        
    2.  4. Pemikiran Kesusastraan 
    A.  Hasjmy memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan kesusastraan  Indonesia. Ia juga pernah membina cikal bakal pengembangan jurnalisme tanah  air, terutama di Aceh, sejak sebelum Perang Dunia Kedua. Ia memulai kiprah  dalam bidang penulisan sastra sejak usia 16 tahun. Sejak saat itu, ia aktif  menulis prosa, roman, esai, puisi, dan karangan ilmiah.  
    A.  Hasjmy merupakan pengamat teks Melayu klasik. Pada masanya, Aceh memang dikenal  melahirkan banyak pengarang kesusastraan, baik dalam bahasa Aceh, bahasa  Melayu, dan bahasa Arab. A. Hasjmy banyak menggunakan teks-teks dari ketiga  bahasa itu untuk memperkuat bukti-bukti sejarah pada setiap karya yang  ditulisnya. Di antara teks-teks yang dimaksud adalah Sufinat al-Hukkam, Hikayat  Malem Dagang, Syarah Rubai Hamzah Fansuri, Idharul Haaq, Hikayat  Putra Nurul A‘la, Hikayat Perang Sabi, Qanun al-Asyi, Hikayat  Pocut Muhammad, dan lain-lain.  
    2.  4. 1. Sastra Perjuangan
    Salah  satu karya sastra A. Hasjmy yang menggunakan salah satu dari teks-teks tersebut  adalah Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (Banda  Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971). Buku tersebut mendasari sepenuhnya pemikiran  dan latar belakang sejarah dalam karya klasik Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat  Prang Sabi, yang ditulis pada masa penjajahan Belanda di bumi Aceh  (1873-1888). Menurut sejumlah sumber, A. Hasjmy melakukan penambahan terhadap  isi karya Teungku Chik Pante Kulu dan kemudian menerbitkannya ulang. 
    Syair-syair  dalam buku A. Hasjmy itu pernah digunakan dalam sebuah tuntutan referedum  mayarakat Aceh pada tanggal 8 November 1999. Sekitar dua juta masyarakat Aceh  memadati Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tidak henti-hentinya massa  meneriakkan tuntutan referendum sembari membacakan syair-syair dalam buku A.  Hasjmy tersebut.   
    A.  Hasjmy dikenal sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru. Buku Hikayat Perang  Sabil terkait dengan masa penjajahan Belanda. Pada bagian mukadimah buku  ini terdapat puji-pujian kepada Allah SWT yang kemudian dilanjutkan dengan  seruan untuk melakukan Perang Sabil. Disebutkan bahwa barangsiapa yang mau  berjihad dalam perang sabil, maka akan mendapatkan pahala. Salah satu bentuk  pahala yang dimaksud bahwa mereka akan bertemu dengan dara-dara dari surga. 
        Buku  ini memuat empat kisah penting, yaitu Kisah Ainul Mardliyah, Kisah Pasukan  Gajah, Kisah Said Salmy, dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali. Di antara empat  kisah ini, Kisah Pasukan Gajah merupakan satu-satunya kisah yang bersumber dari  ajaran Islam. Inti dari keseluruhan kisah tersebut adalah memberikan pengertian  kepada para pembaca bahwa berjuang atau berperang melawan musuh (penjajah  Belanda) merupakan suatu ibadah dan kesyahidan yang akan mendatangkan pahala di  akhirat kelak.
    Kisah  Ainul Mardliyah bercerita tentang penyambutan ratu bidadari surgawi bagi mereka  yang mati syahid. Dikisahkan, ketika hendak berperang ada seorang pemuda  bernama Muda Belia yang bermimpi bahwa dirinya di surga dan bertemu ratu  bidadari surgawi bernama Ainul Mardliyah. Sang ratu menolak cinta pemuda itu  karena yang hanya dicintainya adalah seseorang yang mau mati syahid. Maka, Muda  Belia berperang melawan musuh-musuh hingga akhirnya ia mati syahid.
    Kisah  Pasukan Gajah bercerita tentang kegagalan serangan sebuah pasukan besar untuk  menghancurkan Kabah di Mekkah pada tahun 570 M. Kerajaan Habsjah dan Kerajaan  Parsia Majusi pernah menyerang Mekkah dengan pasukan berkendaraan gajah. Namun,  ternyata mereka justru diserang oleh suatu wabah penyakit yang menyebabkan  pasukan tersebut kocar-kacir berlarian untuk menyelamatkan diri. Sedangkan  Kisah Said Salmy dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali sebenarnya sama saja dengan  Kisah Ainul Mardliyah, yaitu tentang mati syahid dan pahala bagi yang  melakukannya.
    Berdasarkan  paparan isi singkat buku Hikayat Perang Sabil, pemikiran A. Hasjmy  terlihat bermuatan tentang pergerakan kepada masyarakat tanah air, terutama  masyarakat Aceh untuk berjuang melawan penjajahan musuh, di antaranya Belanda.  Maka, tidak aneh jika masyarakat Aceh yang menuntut referendum di Masjid  Baiturrahman Banda Aceh membacakan syair-syair buku itu sebagai salah satu  sumber kekuatan untuk menyemangati harapan dan perjuangan mereka. 
    Ada  satu sajak karya A. Hasjmy yang menggambarkan betapa perjuangan melawan  penindasan dan penjajahan Belanda perlu dilandasi dengan kesabaran dan  ketabahan hati yang sangat kuat.
    Sungguhpun  godaan datang berpalun,
Setiap  saat gelombang menyerang,
Namun  imanku tidak kan goyang.
 
Biarpun  cobaan datang beruntun,
Hatiku  tetap bagai semula,
Rela  badan jadi binasa.
                            Sajak  di atas dibuat A. Hasjmy pada tahun 1936 yang menunjukkan betapa kegigihan dan  ketabahan dirinya ketika masih muda. Ia merupakan salah satu tokoh puncak Aceh  yang pernah melakukan perjuangan fisik bersama tokoh-tokoh lainnya dalam  mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung dalam kesatuan laskar bersenjata  Divisi Rencong.
    2.  4. 2. Sastra Praksis
    A.  Hasymi memiliki perasaan iba terhadap nasib rakyat bawah. Hal itu diekspresikan  dalam sejumlah sajak-sajak yang ditulisnya. Perasaan dan sentuhan emosionalnya  dalam menangkap jeritan rakyat kecil di lingkungannya telah membangkitkan  refleksi dirinya terhadap apa yang disebut sebagai sastra praksis (pembebasan).  Ada salah satu sajaknya yang merefleksikan hal ini:
        Beri  Hamba sedekah, o toean,
Beloem  makan dari pagi,
Tolonglah  patik, wahai toean,
Setegoek  air, sesoeap nasi.
 
Lihatlah,  toean nasib kami,
Tiada  sanak tiada saudara,
Pakaian  di badan tidak terbeli,
Sepandjang  djalan meminta-minta,
Lihatlah,  toean, oentoeng kami,
Pondok  tiada, hoema tiada,
Bermandi  hoedjan, berpanas hari,
Di  tengah djalan terloenta-loenta.
 
Boekan  salah boenda mengandoeng,
Boeroek  soeratan tangan sendiri,
Soedah  nasib, soedah oentoeng,
Hidoep  malang hari ke hari.
 
O,  toean djangan kami ditjibirkan,
Djika  sedekah tidak diberi,
Tjoekoep  soedah sengsara badan,
Djangan  lagi ditoesoek hati... 
(Dewan  Sajak, 1938)
                                                                                            Sajak  di atas menunjukkan bahwa sejak muda A. Hasjmy tidak hanya menempatkan dirinya  di barisan orang-orang penting, tetapi ia juga ikut merasakan bagaimana nasib  rakyat jelata. Ia tidak mau terlena dengan kehidupan kaum elit yang memanjakan  kesenangan dan kebahagiaan, namun tidak peka terhadap kondisi kemiskinan di  sekelilingnya. Ia justru melihat bahwa isu-isu kemiskinan dan ketertindasan  sebagai masalah yang harus segera dipecahkan.   
    3.  Karya
    Karya-karya  A. Hasjmy sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:
    3.  1. Karya di Bidang Sastra
    - Kisah  Seorang Pengembara (sajak), (Medan: Pustaka Islam, 1936)
- Sayap  Terkulai (roman perjuangan), 1983, tidak terbit,  naskahnya hilang di Balai Pustaka waktu pendudukan Jepang.
- Dewan  Sajak  (puisi), Medan: Centrale Courant, 1938.
- Bermandi  Cahaya Bulan (roman pergerakan), Medan: Indische Drukkrij,  1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Melalui  Jalan Raya Dunia (roman masyarakat), Medan: Indische  Drukkrij, 1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Suara  Azan dan Lonceng Gereja (roman antar agama), Medan:  Syarikat Tapanuli, 1940; Jakarta: Bulan Bintang, 1978; Singapura: Pustaka  Nasional, 1982.
- Cinta  Mendaki (roman filsafat/perjuangan), naskah ini hilang  pada Balai Pustaka, Jakarta pada saat pendudukan Jepang.
- Dewi  Fajar (roman politik), Banda Aceh: Aceh Sinbun, 1943.  
- Rindu  Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen), Banda Aceh: Pustaka  Putro Cande, 1963.
- Jalan  Kembali (sajak bernafaskan Islam), Banda Aceh: Pustaka  Putro Cande, 1963 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hafiz Arif  (Harry Aveling).
- Semangat  Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru  (analisa sastra), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963.
- Hikayat  Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda,  Banda Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971.
- Ruba‘i  Hamzah Fansury, Karya Sastra Sufi Abad XVII,  Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974.
- Sumbangan  Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan Indonesia,  Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
- Tanah  Merah (roman perjuangan), Jakarta: Bulan Bintang, 1977
- Meurah  Johan (roman sejarah Islam di Aceh), Jakarta: Bulan  Bintang, 1950.
- Sastra  dan Agama, Banda Aceh: BHA Mejelis Ulama Daerah Istimewa  Aceh, 1980.
- Apa  Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah,  Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
- Kebudayaan  Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Hikayat  Pocut Muhammad dalam Analisa, Jakarta: Penerbit Beuna,  1983.
- Kesasteraan  Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Penerbit Beuna,  1983.
- Sejarah  Kesusasteraan Islam Arab (tidak diterbitkan)
3.  2. Karya di Bidang Sejarah dan Agama
    - Kerajaan  Saudi Arabia (riwayat perjalanan), Jakarta: Bulan Bintang,  1957.
- Pahlawan-pahlawan  Islam yang Gugur (saduran dari bahasa Arab), Jakarta:  Bulan Bintang, 1981, cet. IV; Singapura: Pustaka Nasional, 1971 dan 1982 (cet.  IV).
- Sejarah  Kebudayaan dan Tamaddun Islam, Banda Aceh: Lembaga  Penerbit IAIN Jami‘ah Ar-Raniry, 1969.
- Yahudi  Bangsa Terkutuk, Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1970. 
- Islam  dan Ilmu Pengetahuan Moderen (terjemahan dari bahasa  Arab), Singapura: Pustaka Nasional, 1972. 
- Dustur  Dakwah Menurut Al-Qur‘an, Jakarta: Bulan Bintang,  1974 dan 1994 (cet. III).
- Sejarah  Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 dan 1993  (cet. V).
- Cahaya  Kebenaran (Terjemahan Al-Qur‘an, Juz Amma),  Jakarta: Bulan Bintang, 1979; Singapura: Pustaka Nasional, tahun belum  diketahui datanya.
- Iskandar  Muda Meukuta Alam: Sejarah Hidup Sultan Iskandar Muda, Sultan Aceh Terbesar,  Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
- Surat-surat  dari Penjara (catatan sewaktu ia dalam penjara berupa  surat-surat kepada anak-anaknya kurun waktu tahun 1953-1954), Jakarta: Bulan  Bintang, 1978.
- Peranan  Islam dalam Perang Aceh, Jakarta: Bulan Bintang,  1978.
- 59  Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu,  Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Langit  dan Para Penghuninya (terjemahan dari bahasa Arab), Jakarta:  Bulan Bintang, 1978.
- Apa Sebab  Al-Qur‘an tidak Bertentangan dengan Akal  (terjemahan dari Bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Mengapa  Ibadah Puasa Diwajibkan Akal (terjemahan dari Bahasa  Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Mengapa  Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional,  Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Nabi  Muhammad Sebagai Panglima Perang, Jakarta: Mutiara, 1978.
- Dakwah  Islamiyah dan Kaitannya dengan Pembangunan Manusia,  Jakarta: Mutiara, 1978.
- Pokok  Pikiran Sekitar Dakwah Islamiyah, Banda Aceh: Majelis Ulama  Daerah Istimewa Aceh, 1981.
- Sejarah  Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,  Bandung: Al-Ma‘arif, 1981.
- Syiah  dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Nusantara,  Surabaya, Bina Ilmu, 1984.
- Bernarkah  Dakwah Islamiyah Bertugas Membangun Manusia,  Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
- Publisistik  dalam Islam, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Sejarah  Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,  1990.
- Malam-malam  Sepi di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta,  Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992.
- Mimpi-mimpi  Indah di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta,  Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1993.
- Wanita  Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang  (belum diketahui data penerbitnya). 
3.  3. Karya di Bidang Politik
    - Di  Mana Letaknya Negara Islam (tata negara Islam),  Singapura: Pustaka Nasional, 1970; Surabaya: Bina Ilmu, tahun belum diketahui  datanya. 
- Pemimpin  dan Akhlaknya, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia Daerah  Istimewa Aceh, 1973. 
- Apa  Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda  (berasal dari buku Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda,  setelah ditambahkan dan disempurnakan), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Bunga  Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Jakarta: Bulan Bintang,  1980.
- Perang  Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut Kemerdekaan Kembali,  Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1980.
- Mengenang  Kembali Perjuangan Missi Hardi, Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
- Ulama  Indonesia sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamaddun Bangsa  (belum diketahui data penerbitnya).
3.  4. Karya di Bidang Hukum
    - Sejarah  Hukum Islam, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh,  Banda Aceh, 1970.
3.  5. Karya di Bidang Etika
    - Risalah  Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
3.  6. Karya di Media Massa
    A.  Hasjmy aktif menulis di berbagai majalah dan harian yang terbit di Banda Aceh,  Medan, Padang Panjang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Singapura, dan  Malaysia. Berikut ini adalah daftar media massa yang pernah ditulisnya:
    - Sebelum  Perang Dunia II: Pujangga Baru (Jakarta), Angkatan Baru (Surabaya), Pahlawan  Muda (Padang), Kewajiban (Padang Panjang), Raya, Matahari Islam, Pemimpin  Redaksi (Padang), Panji Islam, Pedoman Masyarakat, Gubahan Maya, Suluh Islam,  Miami (Medan), Fajar Islam (Singapura),   
- Setelah  Perang Dunia II: Dharma, Pahlawan, Widjaya, Bebas, Sinar Darussalam, Majalah  Puwan, Gema Ar-Raniry, Serambi Indonesia (Banda Aceh), Nusa Putera, Karya  Bakti, Majalah Amanah, Panji Masyarakat, Harmonis, Mimbar Ulama (Jakarta),  Harian Waspada (Medan).    
4.  Penghargaan
    A.  Hasjmy mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putera Utama dari pemerintah  Republik Indonesia yang langsung diserahkan oleh Presiden Soeharto pada saat  upacara memperingati Hari Ulang Tahun RI ke-48 (tanggal 17 Agustus 1993).  Pemerintah Mesir juga pernah menganugerahi bintang perhargaan tertinggi kepada  A. Hasjmy yang langsung disematkan oleh Presiden Hosni Mubarak ketika itu. 
    (HS/tkh/34/12-07).
     
    Sumber:
    - “Ali Hasjmy”, dalam  www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hasjmy.html, diakses tanggal 25 November 2007.
- Ismail,  Badruzzaman dkk (ed.). 1994. Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia:  A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan. Jakarta: Bulan Bintang.
- “Sastra  dan Perang Aceh”, dalam  http://kompas.com/kompas-cetak/0401/24/pustaka/816040.htm, diakses tanggal 24  November 2007.
Dibaca : 17.926 kali.
 Berikan komentar anda :