
Riwayat Hidup
    Djohan Hanafiah adalah anak sulung dari tujuh  bersaudara yang lahir pada tanggal 5 Juni 1939 di Palembang  dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah. Ayah Djohan  Hanafiah adalah seorang biroktat beraliran nasionalis. Sikap nasionalis sang  ayah ditunjukkan ketika zaman revolusi fisik tahun 1945-1946, Raden Muhammad Ali  Amin turut bergerilya ke pedalaman Sumatra Selatan  melawan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie). Selain itu ayah  Djohan Hanafiah juga tidak mau memasukan anaknya ke sekolah-sekolah buatan  Belanda dan lebih memilih Taman Siswa (http://www.sripoku.com/). 
    Sejak usia dini, Djohan Hanafiah telah dikenalkan  dengan pendidikan di Taman Siswa. Sejak masuk pendidikan sekolah dasar antara tahun  1945-1946 sampai dengan sekolah menengah atas, semua ditempuh oleh Djohan  Hanafiah di Taman Siswa di Palembang (http://www.sripoku.com/). Besar kemungkinan  dari sinilah pengaruh sosok Ki Hajar Dewantara sangat dirasakan oleh Djohan  Hanafiah. Sosok pendidik dan penggali budaya sebagaimana yang  tercermin dalam pribadi Ki Hajar Dewantara membekas kuat dalam kehidupan Djohan  Hanafiah selanjutnya.
    Pria yang akhirnya menempuh pendidikan di  Universitas Sriwijaya,  Palembang, Sumatra Selatan ini kemudian aktif dalam kegiatan tulis-menulis  untuk menyalurkan minatnya dalam bidang kebudayaan. Di bangku kuliah inilah,  Djohan Hanafiah banyak menghabiskan waktu untuk bergulat dengan kajian  kebudayaan. Organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan koran Panji  Revolusi akhirnya dijadikan media bagi Djohan Hanafiah untuk menyalurkan  minatnya dalam bidang kebudayaan (http://www.sripoku.com/).
    Aktivitas Djohan Hanafiah di bidang kebudayaan  sempat terhenti karena selepas menyelesaikan kuliah, Djohan Hanafiah mulai  merambah ke dunia bisnis. Keputusan untuk terjun ke dunia bisnis ternyata lebih  dipengaruhi oleh faktor politis, yaitu peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang  mengharuskan Djohan Hanafiah untuk tidak menulis tentang kebudayaan.
    Pada tahun 1967-1971,  Djohan Hanafiah menjadi Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya  pindah menjadi Sales  Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun  1973, lalu membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer Volkswagen  di Palembang hingga tahun 1975. Kemudian Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI  (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)  dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia)  (http://www.sripoku.com/).
    Bisnis Djohan Hanafiah terus berkembang hingga memimpin sejumlah  perusahaan di Palembang.  Terakhir, Djohan Hanafiah menjabat sebagai Direktur Utama PT.Tejacatur  Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun ke dunia politik  dan meluangkan waktu yang lebih banyak untuk menggali sejarah dan budaya Palembang. Selama dua  periode, yaitu periode 1992-1997 dan 1999-2004, Djohan Hanafiah terpilih menjadi  anggota DPRD Sumatra Selatan. (http://www.sripoku.com/).
    Ternyata di sela-sela kesibukannya dalam  berbisnis dan berpolitik, minat Djohan Hanafiah untuk menulis tentang budaya  kembali muncul. Bermula dari rasa penasaran dan kegelisahan akan kalimat yang  lazim berlaku di masyarakat tentang penyebutan wong Palembang sebagai  Palembang “Buntung”, Djohan Hanafiah mencoba mengurai makna dari anggapan  Palembang “Buntung” tersebut.
    Sebutan Palembang “Buntung” sebenarnya lebih  bermakna sebagai anekdot karena para pendatang, baik dari Jawa, Minang, atau  Melayu, menilai bahwa wong Palembang adalah perwujudan dari budaya yang  “gado-gado”, yaitu suatu anggapan yang dikenakan kepada wong Palembang  karena dinilai tidak memiliki identitas yang jelas. Wong Palembang  dinilai tidak memiliki budaya yang mengakar kuat karena adanya dua budaya besar  yang berpangaruh bagi orang Palembang, yaitu Melayu dan Jawa.   
    Sebagai salah satu upaya untuk mengaplikasikan  pemikirannya, Djohan Hanafiah menulis buku yang berjudul Melayu-Jawa: Citra  budaya dan sejarah Palembang. Buku yang terbit pada tahun 1995 ini mengupas  tentang wong Palembang, asal dan adat istiadatnya yang ternyata  berkaitan erat dengan budaya yang datang silih berganti di Palembang sehingga  mendistorsikan budaya setempat (local genius) yang berujung pada  penyebutan Palembang “Buntung” (Djohan Hanafiah, 1995:2, 10, 13-14).    
    Selain bergiat di bidang kebudayaan, Djohan  Hanafiah juga menaruh perhatian yang serius terhadap sejarah Palembang. Jika  ditilik ke belakang, latar belakang ketertarikan Djohan Hanafiah tentang  sejarah Palembang, khususnya nasionalisme, terpengarauh dari dua figur utama,  yaitu Ki Hajar Dewantara dan Raden Muhammad Ali Amin (ayah Djohan Hanafiah).
    Dua figur inilah yang membentuk karakter Djohan  Hanafiah. Ki Hajar memberikan cerminan bagaimana cara mengangkat derajat kaum  Bumiputera yang diwujudkan melalui Perguruan Taman Siswa. Sedangkan Raden  Muhammad Ali Amin mengajarkan tentang sisi nasionalisme yang diterjemahkan  dengan keikutsertaaannya dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik dan  menolak untuk memasukkan anak-anaknya di sekolah buatan Belanda dan lebih  memilih Taman Siswa.
    Sisi nasionalisme telah diajarkan oleh dua figur  utama yang membentuk karakter Djohan Hanfiah yang mengedepankan pemikiran untuk  mengangkat budaya dan sejarah lokal Palembang. Djohan Hanafiah mencoba untuk  menuliskan budaya dan sejarah Palembang, baik tentang peristiwa maupun adat  istiadat. Lewat berbagai tulisan yang kemudian dibukukan dan diseminarkan  tersebut, Djohan Hanafiah menaruh harapan bahwa budaya dan sejarah Palembang  dapat dikenal dan lestari.
    Buku pertama yang ditulis oleh Djohan Hanafiah  yang berbicara tentang masalah sejarah adalah peperangan antara pihak Belanda  dengan Kesultanan  Palembang Darussalam pada tahun 1819-1821. Buku tersebut berjudul Perang  Palembang 1819-1821 yang diterbitkan oleh Pariwisata Jasa Utama pada tahun  1986. Secara khusus, Djohan Hanafiah menyatakan bahwa, “Saya menulis soal  sejarah perang ini, sebab hanya perang itu yang terus membangun rasa  nasionalisme wong Palembang,” katanya (http://www.sinarharapan.co.id/).
    Lewat karya Djohan Hanafiah gairah untuk  menanamkan nasionalisme di kalangan wong Palembang mulai tersemai. Bisa  dikatakan minat wong Palembang untuk kembali menggali sejarah daerahnya  berawal dari pembacaan kembali tulisan-tulisan dari Djohan Hanafiah. Tulisan-tulisan  Djohan Hanafiah berpengaruh untuk membangun kesadaran tentang kepedulian wong  Palembang terhadap sejarah daerahnya sendiri. 
    Meskipun telah cukup memberikan hasil, aktivitas Djohan  Hanafiah untuk terus menulis tidak berhenti sebatas hanya menerbitkan sebuah  buku saja. Djohan Hanafiah terus mencari ide-ide baru yang berkenaan dengan  sejarah Palembang dan akhirnya berhasil menerbitkan beberapa karya tulis,  antara lain Masjid Agung, sejarah dan masa depannya (1988); Palembang  zaman baru, citra Palembang tempo doeloe (1988); Kuto Besak:  Upaya Kesultanan Palembang menegakkan kemerdekaan (1989) (http://www.kidnesia.com/).
    Selain menulis buku tentang sejarah dan  kebudayaan, Djohan Hanafiah juga merupakan seorang organisator. Setidaknya ada  dua organisasi kebudayaan yang pernah didirikan oleh suami dari Napsiah ini,  yaitu Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) pada tahun 1997 (http://www.seputar-indonesia.com/)  dan Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Drs.  Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid  Prabudiradja IV dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan  Mahmud Badaruddin III). Zuriat ini didirikan pada tanggal 3 Maret 2003 di  Masjid Lawang Kidul, Palembang (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).  
    Kiprah Djohan Hanafiah dalam menggali, mengembangkan  kebudayaan, dan sejarah lokal Palembang sepertinya merupakan pekerjaan yang  tidak akan pernah selesai. Akan tetapi kondisi fisik Djohan Hanafiah yang  semakin renta akhirnya mencapai titik maksimal. Ayah dari Revi Vereyanthi, Resi  Stantiawati, Reli Everyanti, dan Mohamad Iksan ini harus dirawat di rumah sakit  karena didiagnosa menderita penyakit jantung.  (http://www.sripoku.com/).
    
    Djohan Hanafiah di usia senja
    Tokoh besar yang dikenal oleh masyarakat  Palembang sebagai budayawan dan sejarawan ini akhirnya tutup usia pada hari  Kamis, 15 April 2010, pukul 01.15 WIB, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo  (RSCM), Jakarta dalam usia 71 tahun (http://www.seputar-indonesia.com/). Beliau  didiagnosa menderita penyakit jantung koroner. Setelah sempat dirawat selama 12  hari di RSCM, akhirnya Djohan Hanafiah meninggal dunia. Pada hari yang sama, jenazah  Djohan Hanafiah dimakamkan di TPU Puncak Sekuning, Palembang (http://www.sripoku.com/).
    Pemikiran
    1. Palembang “Buntung”
    Ketertarikan Djohan Hanafiah dalam mengkaji  tentang budaya dan sejarah Palembang bisa dikatakan bermula dari ungkapan  Palembang “Buntung”. Sebagai wong Palembang, pada awalnya seorang Djohan  Hanafiah tidak mengerti akan maksud ungkapan tersebut. Didorong oleh rasa ingin  tahu akan ungkapan Palembang “Buntung”, maka Djohan Hanafiah mencoba untuk  menerjemahkan ungkapan yang sering dia dengar tersebut.
    Setelah mencari sumber dan data untuk menuntaskan  rasa ingin tahu, akhirnya Djohan Hanafiah mendapatkan arti tentang ungkapan  Palembang “Buntung”. Palembang “Buntung” ternyata diartikan sebagai  ketidakjelasan akan akar budaya pada masyarakat Palembang (wong Palembang).  Secara kebudayaan, wong Palembang itu tidak jelas identitasnya, disebut wong  Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan. Sebab dalam kebudayaan Palembang  ditemukan budaya Jawa dan Melayu (http://www.sripoku.com/). Berawal dari sinilah,  maka Djohan mencoba menyumbangkan pemikiran untuk mencairkan, atau setidaknya  mendistorsi, ungkapan yang terlanjur melekat pada wong Palembang  tersebut.
    Penelitian yang kemudian dilakukan oleh Djohan  Hanafiah akhirnya terpolarisasi dengan terbitnya buku yang berjudul Melayu-Jawa:  Citra budaya dan sejarah Palembang. Buku yang terbit pada tahun 1995 ini  secara khusus mengupas tentang sejarah dan budaya Palembang. Buku tersebut juga  mencoba memaparkan dan menjawab kenapa ungkapan Palembang “Buntung” kemudian  melekat pada wong Palembang.    
    Ditilik dari segi sejarah, jika kita membaca buku  Melayu-Jawa: Citra budaya dan sejarah Palembang, maka jelas terlihat bahwa  sejarah Palembang memang terbentuk dari beragam suku bangsa yang pernah  mendiami bahkan menguasai daerah yang kini dikenal dengan nama Palembang  tersebut. Mulai suku bangsa Cina, Jawa, Melayu, bahkan Eropa (Belanda) pernah  ambil bagian dalam pembentukan sejarah dan budaya di Palembang. Maka tidak  mengherankan jika kemudian banyak warisan, khususnya peninggalan budaya, yang  tertinggal dan diamalkan oleh orang-orang setelahnya.
    Banyaknya budaya warisan tersebut tampaknya  membaur dan bercampur sehingga menghasilkan kebudayaan baru yang kemudian  dipakai oleh wong Palembang. Sebagaimana dinyatakan oleh Djohan  Hanafiah, “... digodok oleh local genius dan disebutlah sebagai  kebudayaan Palembang” (Djohan Hanafiah, 1995:2). Melalui buku tersebut, Djohan  Hanafiah menuangkan pemikirannya bahwa budaya yang kemudian lazim dipakai oleh wong  Palembang adalah percampuran antara budaya Melayu-Jawa yang kemudian  bercampur dengan local genius sehingga memunculkan budaya Palembang. Inilah  jawaban atas kegelisahan Djohan Hanafiah yang telah dirasakannya sejak usia  remaja. Sebagaimana yang diungkapkan Djohan Hanafiah, “Buku merupakan cermin  kegelisahan saya sejak remaja mengenai identitas wong Palembang. Ya, identitas  wong Palembang itu yakni Melayu-Jawa,” katanya (http://www.sripoku.com/). 
    Dari buku ini Djohan Hanafiah mendapat pengakuan  sebagai budayawan dari publik di Palembang, dan kemudian meluas secara nasional  maupun international. Djohan dinilai telah mampu merumuskan identitas wong  atau masyarakat Palembang yang sebelumnya seakan tidak memiliki identitas atau  “buntung” (http://www.sripoku.com/).
    2. Nasionalisme
    Pemikiran tentang nasionalisme didapatkan Djohan  Hanafiah dari dua figur, yaitu Ki Hajar Dewantara dan Raden Muhammad Ali Amin.  Ki Hajar Dewantara memberikan cerminan bagaimana cara mengangkat derajat kaum  Bumiputera yang diwujudkan melalui Perguruan Taman Siswa. Sedangkan Raden  Muhammad Ali Amin adalah seorang biroktat beraliran nasionalis. Sikap  nasionalis sang ayah ditunjukkan ketika zaman revolusi fisik tahun 1945-1946,  Raden Muhammad Ali Amin turut bergerilya ke pedalaman Sumatra Selatan melawan  tentara NICA (Nederlandsch  Indië Civil Administratie). Selain itu ayah Djohan Hanafiah juga  tidak mau memasukan anaknya ke sekolah-sekolah buatan Belanda dan lebih memilih  Taman Siswa (http://www.sripoku.com/). Dari dua tokoh  inilah, tercipta sisi nasionalis seorang Djohan Hanafiah yang diwujudkan dengan  lahirnya berbagai karya dengan tema sejarah dan budaya lokal Palembang.
    Pandangan Djohan Hanafiah mengenai sejarah cukup  menarik. “Sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah yang jelek secara moral  juga harus ditulis, tidak hanya yang baik-baik. Ini penting, sebab ini akan  menentukan sejarah selanjutnya. Sejarah di Indonesia banyak ditulis yang  baik-baik saja, sehingga sering berbenturan dengan realitas hari ini. Dampaknya  orang ragu menjadikannya sebagai pijakan buat menyusun sejarah ke depan,”  katanya (http://www.sripoku.com/). 
    Berpijak dari pandangan tersebut, maka Djohan  Hanafiah berupaya untuk menuliskan sejarah wong Palembang. Bagi Djohan  Hanafiah, terlepas dari pandangan para pembaca nantinya, menuliskan tentang  sejarah wong Palembang merupakan suatu hal yang penting, yaitu sebuah  upaya untuk membangun kesadaran bagi wong Palembang agar mau mengerti,  atau setidaknya tahu, tentang sejarah daerahnya sendiri.
    Pemikiran Djohan Hanafiah untuk menuliskan  tentang sejarah Palembang akhirnya tersalurkan ketika buku pertamanya yang  membahas tentang sejarah terbit pada tahun 1986. Buku berjudul Perang  Palembang 1819-1821 tersebut ditulis oleh Djohan Hanafiah dengan tujuan  untuk menggali semangat nasionalisme yang dimiliki oleh wong Palembang  ketika terjadi perseteruan antara pihak Belanda dan Kesultanan Palembang  Darussalam (http://www.sripoku.com/).
    Bagi Djohan Hanafiah, upaya untuk mengenal jati  diri bisa dimulai dengan cara mengenal sejarah bangsanya sendiri, yang dalam  hal ini adalah sejarah lokal Palembang. Untuk itulah, berbagai tulisan yang  kemudian dihasilkan oleh Djohan Hanafiah mengambil tema besar tentang sejarah  lokal Palembang.
    Upaya Djohan Hanafiah di awal era 1980-an  ternyata berbuah cukup manis. Karyanya yang berjudul Perang Palembang  1819-1821 ternyata banyak dibaca dan memberikan warna sehingga memantik  beberapa orang untuk menulis tentang sejarah Palembang, baik dalam karya tulis  ilmiah seperti skripsi maupun dalam artikel-artikel. 
    Semangat Djohan Hanafiah dalam menggarap  pemikiran orang Palembang untuk mau menulis tentang sejarahnya sendiri tidak berhenti  sampai pada penulisan buku pertamanya. Djohan Hanafiah terus memainkan peran  nyata dengan tetap produktif menulis beberapa buku yang terbit pada era  1980-an, antara lain Masjid Agung, sejarah dan masa depannya (1988); Palembang  zaman baru, citra Palembang tempo doeloe (1988); Kuto Besak:  Upaya Kesultanan Palembang menegakkan kemerdekaan (1989) (http://www.kidnesia.com/).
    Karya
    Sejak tahun 1980, Djohan Hanafiah telah menghasilkan  puluhan buku bertemakan sejarah dan budaya dan tidak kurang dari tidak kurang  dari 288 artikel. Artikel-artikel tulisan Djohan Hanafiah tersebut banyak  dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal. Berikut ini adalah beberapa  karya dari Djohan Hanafiah:
    a. Buku
    - Djohan Hanafiah,  1986. Perang Palembang 1819-1821. Palembang:  Pariwisata Jasa Utama.
- Djohan Hanafiah,  1987. Kuto Gawang: Pergolakan dan permainan politik dalam kelahiran Kesultanan  Palembang Darussalam. Palembang:  Pariwisata Jasa Utama.
- Djohan Hanafiah,  1988. Masjid  Agung Palembang: Sejarah dan masa depannya. Jakarta: Haji Masagung.
- Djohan Hanafiah,  1989. 82 tahun Pemerintah Kota Palembang. Palembang:  Humas Pemda Kotamadya Palembang.
- Djohan Hanafiah,  1989. Palembang zaman baru, citra Palembang tempo doeloe. Palembang: Humas Pemda Kotamadya Palembang.
- Djohan Hanafiah,  1989. Kuto  Besak: Upaya Kesultanan Palembang menegakkan kemerdekaan. Jakarta: Haji  Masagung.
- Djohan Hanafiah,  1995. Melayu-Jawa: Citra budaya dan sejarah Palembang. Jakarta:  Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Palembang  bekerjasama dengan PT Raja Grafindo Persada.
- Djohan Hanafiah et.al.,  1996. Perang Palembang melawan VOC. Palembang: Karyasari. 
- Djohan Hanafiah,  1996. Sejarah perkembangan pemerintahan di Sumatra Selatan. Palembang:  Pemerintah Daerah Sumatra Selatan.
- Djohan Hanafiah et.al.,  1999. Pasemah  Sindang Merdika. Palembang:  Paguyuban  Masyarakat Peduli Musi. 
b. Artikel atau Makalah
    - Djohan  Hanafiah, “Palembang sebagai ajang pertemuan aneka macam kebudayaan dalam  dimensi waktu”. Makalah yang disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengajaran  Sejarah Arsitektur 6, kerjasama LSAI dan Jurusan Arsitektur STT Musi,  Palembang: 2001.
- Djohan  Hanafiah, “Dinasti Syailendra berasal dari Gunung Dempo”. Makalah yang  disampaikan pada Seminar Nasional “Peradaban Besemah sebagai Pendahulu Kerajaan  Seriwijaya”, Palembang: 28 Februari 2009 . 
C. Organisasi
    - Pendiri  Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) pada tahun 1997. KKP merupakan sebuah  organisasi di Palembang yang didirikan dengan tujuan untuk menggali seni dan  adat-istiadat Palembang (http://www.seputar-indonesia.com/)
- Himpunan  Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Drs. Raden H.  Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid Prabudiradja IV dengan  gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III).  Zuriat ini didirikan pada tanggal 3 Maret 2003 di Masjid Lawang Kidul,  Palembang (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).  
Penghargaan
    Totalitas Djohan Hanfiah dalam menggali sejarah  dan kebudayaan Palembang memang tidak diragukan lagi. Pelacakan kembali sejarah  dan budaya Palembang yang mulai marak pada tahun 1980-an, bisa dikatakan, dipicu  oleh pembacaan atas tulisan-tulisan yang telah dibuat oleh Djohan Hanafiah.
    Atas kerja keras tersebut, maka tidak berlebihan  jika beberapa pihak memberikan apresiasi berupa penghargaan kepada Djohan  Hanafiah. Beberapa penghargaan tersebut antara lain:
    
- Mendapatkan  sebutan sebagai “Bapak penggali sejarah dan budaya Palembang” oleh wong Palembang  setelah bukunya yang berjudul Melayu-Jawa: Citra budaya dan sejarah  Palembang, terbit pada tahun 1995. Melalui buku ini, Djohan Hanafiah  berhasil memunculkan identitas wong Palembang yang dikatakan  telah”buntung” (http://www.sripoku.com/).
- 3rd  Malay and Islamic World Convention dari Dr. M. Mahatir, Prime Minister di Melaka pada  tahun 2002 (http://www.sripoku.com/).
- Satya  Lencana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri  pada tahun 2004 (http://www.detiknews.com/).
(Tunggul Tauladan/tkh/02/04-2010)
    Referensi
    - “Budayawan Palembang Djohan Hanafiah berpulang,  tersedia di http://www.detiknews.com,  diunduh pada tanggal 22 April 2010
- “Menulis buku dan nasionalisme” tersedia dalam http://www.sinarharapan.co.id,  diunduh pada 22 April 2010
- Djohan Hanafiah, 1995. Melayu-Jawa: Citra  budaya dan sejarah Palembang. Jakarta: Pemerintah Daerah Tingkat II  Kotamadya Palembang bekerjasama dengan PT Raja Grafindo Persada
- Erik Okta Subadra, 2010. “Budayawan Djohan  Hanafiah tutup usia”, tersedia di http://www.seputar-indonesia.com,  diunduh pada tanggal 22 April 2010.
- Kemas Ari, 2006, “Sultan di mata Taufik Wijaya”,  tersedia di http://www.kesultanan-palembang-darussalam.com,  diunduh pada tanggal pada 15 Desember 2009.
- Taufik Wijaya, 2010. “Djohan Hanafiah: Bapak  penggali sejarah dan budaya Palembang”, tersedia di http://www.dapunta.com/budayawan-djohan-hanafiah.html,  diunduh pada tanggal 22 April 2010.
- Taufik Wijaya, 2010. “Penggali sejarah dan budaya  Palembang” tersedia di http://www.sripoku.com  diunduh pada tanggal 22 April 2010
- Tersedia di http://www.kidnesia.com, diunduh pada tanggal 22 April 2010.
                                
Sumber foto
    
- “Budayawan Palembang Djohan Hanafiah berpulang,  tersedia di http://www.detiknews.com,  diunduh pada tanggal 22 April 2010
- “Institute Djohan Hanafiah  hingga Srivijaya Society” tersedia di  http://www.beritamusi.com  diunduh pada tanggal 22 April 2010.
Dibaca : 12.168 kali.
 Berikan komentar anda :