Close
 
Jumat, 31 Oktober 2025   |   Sabtu, 9 Jum. Awal 1447 H
Pengunjung Online : 8.598
Hari ini : 115.191
Kemarin : 105.029
Minggu kemarin : 1.301.231
Bulan kemarin : 7.952.612
Anda pengunjung ke 105.216.314
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Artikel

11 juni 2008 04:31

Fenomena Jual Beli Naskah di Sumatra Barat

Sebuah Diskusi Awal terhadap Upaya Pengembangan Naskah Melayu-Minangkabau
Fenomena Jual Beli Naskah di Sumatra Barat

Oleh:  Pramono, S.S., M.Si.

Pendahuluan

Pada tahun-tahun belakangan ini, media massa, baik lokal maupun nasional di negeri ini ramai memberitakan praktik jual beli naskah kuno yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.[1] Praktik jual beli tersebut dilakukan oleh pewaris naskah kuno dengan para peneliti Malaysia. Mereka membujuk ahli waris naskah agar sudi menjual naskah kuno yang dimilikinya. Mereka menawarnya hingga jutaan rupiah untuk setiap naskah. Ahli waris naskah kuno yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun tergiur.

Salah satu naskah yang diburu oleh para peneliti Malaysia adalah naskah-naskah Melayu-Minangkabau, seperti naskah-naskah yang mengandung teks keagamaan, sastra dan rajah atau teks yang dianggap masyarakat punya kekuatan magis. Banyak faktor yang menjadikan daya tarik peneliti Malaysia untuk berburu naskah di Minangkabau (Sumatra Barat minus Mentawai). Di samping faktor geografis yang berdekatan, di wilayah ini juga terdapat tidak kurang dari 500-an naskah yang masih tersebar di tangan masyarakatnya.

Naskah-naskah itu mengandung teks yang beragam, seperti teks kesusastraan, kebudayaan, kesejarahan, dan keislaman. Di samping itu, menariknya, hampir seluruhnya naskah-naskah yang ada berbahasa Melayu (ditulis dengan aksara Jawi) dan Arab. Oleh karenanya, banyak filolog tidak mengatakan naskah yang ditulis oleh orang Minangkabau sebagai naskah Minangkabau, tetapi naskah Melayu. Orang Minangkabau menulis dengan menggunakan bahasa Melayu.

Dalam konteks penyelamatan dan pelestarian naskah-naskah Melayu-Minangkabau, dengan adanya praktik jual beli naskah itu –katanya—justru menguntungkan, karena naskah-naskah tersebut berada di tempat-tempat seperti perpustakaan yang lebih menjamin keselamatan naskah dari kerusakan dan kehilangan. Akan tetapi, di pihak lain dengan adanya praktik jual beli naskah seperti itu justru merisaukan dan membuat kemarahan orang Minangkabau khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Intinya, adanya praktik jual beli naskah Melayu-Minangkabau sangat merugikan dalam hal hubungan kebudayaan kedua belah pihak: Indonesia dengan Malaysia.

Kenyataan tersebut di atas menarik untuk dibahas lebih lanjut, terutama jika dimulai dari gambaran kondisi pernaskahan di Minangkabau sendiri sehingga menarik banyak peneliti luar negeri (baca: Malaysia) untuk memboyong naskah kuno ke ‘kampungnya‘. Hal yang juga penting selanjutnya untuk diuraikan adalah bagaimana praktik jual beli naskah kuno yang terjadi di wilayah tersebut. Sebagai solusi dari persoalan itu adalah program apa saja yang perlu disusun untuk mengupayakan pelestarian dan penyelamatan naskah kuno Melayu-Minangkabau tanpa ada ketersinggungan antara bangsa Indonesia dengan Malaysia.

Kondisi Naskah Melayu-Minangkabau

Jika dibaca beberapa laporan penelitian para filolog[2] tentang dunia pernaskahan di Sumatra Barat (Minangkabau), maka kita agak dibuat tercenang. Ternyata, dalam kebudayaan yang sangat kental diwarnai tradisi lisan, banyak ditemukan peninggalan tertulis berupa naskah. Pada saat ini, naskah-naskah tersebut ada yang dikoleksi di lembaga formal,[3] juga banyak naskah –dan sebagian besar—ditemukan dan disimpan di surau-surau yang tersebar di Sumatra Barat serta tidak sedikit juga berada di tangan perseorangan. Di samping itu, ada juga naskah-naskah yang dikoleksi di rumah gadang-rumah gadang bekas kerajaan-kerajaan Minangkabau.

Dari tempat-tempat terdapatnya naskah-naskah itu, surau merupakan tempat terdapatnya naskah Melayu-Minangkabau yang penting untuk dijelaskan. Di surau-surau-lah ratusan naskah dapat ditemukan. Surau merupakan skriptorium Minangkabau yang mempunyai peran penting dalam memproduksi naskah-naskah Melayu-Minangkabau. Dari surau juga dapat dilacak sejarah intelektual keislaman lokal Minangkabau.

Surau merupakan lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Sebagai pusat tarekat, surau juga menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan Belanda (Azra, 2003:34). Selain itu, sebagai pusat tarekat, surau juga menjadi tempat untuk konsentrasi gerakan bagi masing-masing golongan yang sedang berpolemik tentang paham keislaman yang terjadi di Minangkabau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Dalam fungsinya yang terakhir di atas, pada waktu itu surau menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari masing-masing kubu membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks. Seiring dengan persebaran paham keagamaan Islam di surau-surau tersebut, tradisi penulisan dan penyalinan naskah pun tumbuh dengan subur. Para syaikh, ulama, buya, dan ungku[4] yang mengajar di suatu surau, menyalin dan menulis naskah.

Naskah-naskah yang disalin dan ditulis tersebut dimaksudkan untuk menyebarkan pengajian dan mendebat ataupun mengkritik pendapat orang lain atau golongan yang berbeda paham keislamannya, serta untuk mengkritik keadaan sosial. Hal ini memberikan gambaran bahwa surau bukan sekedar tempat belajar membaca Alquran atau belajar adab, melainkan surau juga merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat kecendekiaan, center for excelent (Suryadi, 2000; lihat juga Azra, 2003 dan Pramono, 2005).

Menariknya, terutama dari sudut kebahasaan, naskah-naskah yang ada di Minangkabau kebanyakan ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu (BM), meskipun penulisnya adalah orang Minangkabau. Sebagai orang Minangkabau para penulis naskah tidak lantas menulis dengan menggunakan Bahasa Minangkabau (BMk). Yang unik adalah cara membacanya, yakni dibaca dengan bunyi BMk.[5]

Kecenderungan orang Minangkabau menulis dengan BM disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, BM secara sepintas kelihatannya hanya sedikit berbeda dengan BMk, yaitu berbeda dalam ucapan saja. Di samping itu, masyarakat Minangkabau yang bukan ahli bahasa juga merasa bahwa BMk itu tidak banyak bedanya dengan BM sehingga jika orang Minangkabau menggunakan kata BMk dalam berbahasa BM, mereka merasa seperti telah menggunakan kata BM tanpa perlu berusaha mencari kata yang lebih sesuai dalam BM.[6]

Kedua, BMk tidak mempunyai tradisi tulisan, tradisi tulisan dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dapat dikatakan relatif baru. Pengenalan terhadap tradisi tulis sejalan dengan pengenalan melalui ejaan Arab-Melayu. Oleh karena itu, dalam bahasa tulis, masyarakat Minangkabau cenderung menggunakan BM.[7]

Ketiga, aksara yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau dalam bahasa tulis mereka adalah BM Riau.[8]

Keempat, adanya kecenderungan mengindonesiakan kata-kata yang berasal dari BMk, kemudian menganggap dirinya telah berbahasa Indonesia, sampai sekarang dapat dilihat dalam masyarakat Minangkabau. Nama tempat seperti Tabiang, Lubuak Bagaluang, Padang Laweh, Alang Laweh, Limapuluh Koto dan Kubu Karambia, masing-masing diindonesiakan menjadi Tabing, Lubuk Begalung, Padang Lawas, Alang Lawas, Lima Puluh Kota dan Kubu Kerambil.[9]

Di samping kebahasaannya, dari segi aksara yang digunakan pun juga menarik, yakni penggunaan aksara Jawi. Di dunia Melayu, tidak diketahui kapan pertama kali penggunaan aksara Jawi. Akan tetapi, jelas aksara ini tercipta dan digunakan setelah terjadi pertemuan dunia Melayu dengan agama Islam. Paling tidak aksara Jawi sudah dipergunakan pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pada waktu itu Kerajaan Melaka diislamkan dengan masuk Islamnya Raja Melaka—Parameswara—bergelar Megat Iskandar Syah. Ia merupakan raja Kerajaan Melaka pertama yang memeluk agama Islam, yaitu sekitar 1400 M. Setelah itu, kesusatraan Melayu-Islam berkembang pesat. Kesusastraan Melayu-Islam itu, kemudian, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Nusantara. Sejak itu pula dunia Melayu selalu disandingkan dengan Islam sehingga yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri: berbahasa Melayu, berbudaya Melayu, dan beragama Islam.

Penggunaan aksara Jawi terus berkembang pesat selama berabad-abad untuk berbagai bidang kehidupan yang menggunakan tulisan, tak semata-mata dalam bidang kesusastraan. Pada 1850 Raja Ali Haji membakukan aturan ejaan aksara Jawi dalam kitabnya Bustanulkatibin, di samping berisi tata-bahasa bahasa Melayu.

Dalam masyarakat Melayu-Indonesia pemakaian ejaan Jawi baru terhenti—utamanya dalam naskah cetakan—sampai awal abad ke-20. Peranannya digantikan oleh ejaan yang menggunakan aksara Latin.

Penulisan bahasa Melayu dengan aksara Latin dimulai pada tahun 1901, yaitu ketika Ch. A. van Ophuysen dibantu oleh Engku Nawawi gl. St. Makmur dan M. Taib St. Ibrahim menerbitkan Kitab Logat Melajoe, yang merupakan pedoman ejaan Latin resmi pertama untuk bahasa Melayu di Indonesia.

Untuk kasus Minangkabau, banyak ditemukan naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dan sebagian kecilnya dengan aksara Arab dan Latin. Hal ini membedakan dengan skriptorium di wilayah lain yang banyak menggunakan aksara daerah setempat. Hal ini dikarenakan Minangkabau tidak mempunyai aksara. Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa ada kemungkinan aksara-aksara Sumatra berasal dari Sumatra bagian Tengah dan kemungkinan Minangkabau. Hal ini disebabkan karena aksara yang terdapat di Sumatra mempunyai model dasar yang sama. Akan tetapi, ke Utara memperlihatkan pengembangan yang berbeda dengan pengembangan di bagian Selatan. Masing-masing, baik di Utara dan di Selatan memperlihatkan pengembangan dengan model yang sama.

Akan tetapi, anehnya tidak ada peninggalan bertulis yang menggunakan “aksara Minangkabau”. Hal ini diperkirakan bahwa peninggalan itu mungkin pernah ada, tetapi sudah musnah karena waktu dan proses alam. Ada juga kemungkinan bahwa kemusnahan tersebut disebabkan dengan adanya gerakan pemurnian Islam yang terjadi di Minangkabau. Segala sesuatu yang dipandang tidak Islam dihancurkan, termasuk tulisan itu. Tentang persoalan ini, Kozok (1999: 65-66) mengungkapkan seperti berikut ini.

“Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci, Rencong, dan Lampung ... Salah satu budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam, bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu dikenal dengan tulisan Jawi. Aksara “Arab-Gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli yang kemudian hilang sama sekali. ... Besar kemungkinan aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.”

Untuk aksara Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan bahwa aksara Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan pengenalan aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan Minangkabau banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang pada akhir abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak orang. Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin.

Hingga akhir abad ke-20 banyak cerita-cerita lisan di Minangkabau yang disalin dan dicetak dengan menggunakan aksara Lain. Meskipun aksara Jawi sudah jarang digunakan di wilayah ini, tetapi aksara tersebut masih bertahan dan digunakan hingga sekarang. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kalangan tarekat Syattariyah. Beberapa syaikh-nya banyak menulis teks ajaran tasawuf dan sejarah para syaikh tarekat Syattariyah yang seluruhnya menggunakan aksara Jawi.

Penggunaan aksara Jawi untuk menuliskan teks-teks tasawuf, riwayat para syaikh dan ajaran tarekat Syattariyah dilakukan bukan karena penulisnya tidak bisa menggunakan aksara Latin. Dengan demikian, pertanyaan yang segera akan muncul adalah: kenapa ia menggunakan aksara Jawi, tidak aksara Latin yang lebih banyak dipahami khalayak yang lebih luas?

Penulis pernah mengajukan pertanyaan itu kepada salah seorang penulis naskah dari kalangan tarekat Syattariyah yang bernama Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib (w. 2006). Menurutnya, adapun digunakannya aksara Jawi dalam penulisan sejarah syaikh dan ajaran-ajaran yang terkait dengan tarekat Syattariyah itu adalah untuk mensejajarkan atau menyandingkan naskah-naskah itu dengan “Kitab Kuning”. Dengan disejajarkan dengan Kitab Kuning, maka naskah-naskah yang ditulis akan dianggap sama dengan kitab itu. Sama dalam hal ini berarti sama-sama penting, sama-sama dijadikan rujukan, atau yang lebih penting adalah sama-sama “asli” dan benar-benar “benar”.

Kondisi tersebut di atas merupakan gambaran tradisi pernaskahan yang menarik. Lebih menarik lagi, tradisi pernaskahan tersebut masih berlangsung hingga akhir abad ke-20 bahkan sampai sekarang (Pramono, 2005 dan 2006).

Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung cukup lama, tidak mengherankan jika tradisi pernaskahan di Minangkabau itu telah meninggalkan artefak budaya berupa naskah kuno (manuscript) dengan jumlah yang cukup banyak. Naskah-naskah tulisan tangan tersebut mengandung teks tentang berbagai pemikiran, pengetahuan, keislaman, sastra, pengobatan, serta perilaku masyarakat masa lalu. Naskah-naskah tersebut tersimpan di banyak surau dengan kondisi yang beragam, dari kondisi naskah yang cukup baik (naskah dapat dibaca) hingga naskah dalam kondisi rusak, dengan kerusakan yang cukup parah (naskah tidak bisa dibaca lagi, hancur).

Dari surau-surau yang ada di Minangkabau, diketahui bahwa terdapat 400-an naskah yang tersebar di berbagai surau. Dengan jumlah koleksi naskah sebanyak itu, berarti bahwa surau-surau tersebut merupakan tempat penyimpanan naskah Minangkabau yang terbesar di dunia. Hal itu dapat dilihat dari katalogus-katalogus: Ph. S van Ronkel (1908 A, 1908 B, 1909, 1913, 1912, 1946), katalogus Amir Sutarga dkk. (1972), serta katalogus yang diusahakan bersama oleh M.C. Ricklefs dan P Voorhoeve (1977), serta katalogus yang dikomplikasi oleh E.P. Wierenga (1998), dua katalogus yang tampaknya juga didasarkan kepada karya Ph. S van Ronkel, semakin membuktikan hal itu.

Mengingat bahwa tradisi pernaskahan di Minangkabau masih berlangsung hingga sekarang, maka dapat dipastikan jumlah naskah yang disebutkan di atas dapat bertambah. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa, sebagai suku-bangsa yang terkenal dengan tradisi lisannya yang sangat kental, ternyata Minangkabau memiliki tradisi pernaskahan yang cukup maju. Hal ini terjadi, karena melalui keberadaan dan peran suraulah, tradisi penulisan naskah-naskah yang telah berumur ratusan tahun tersebut tetap berlangsung. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan fenomena di wilayah lain, di mana tradisi penulisan naskah tidak lagi berkembang.

Dengan demikian, keberadaan naskah-naskah di Minangkabau sebagai hasil dari tradisi pernaskahan, merupakan khasanah budaya yang penting dan menarik untuk dikaji, setidaknya bila dipandang dari dua hal. Pertama, tradisi pernaskahan di Minangkabau merupakan sebuah kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Kedua, sebagai sebuah produk budaya, naskah-naskah Minangkabau merupakan gambaran berbagai bentuk ungkapan masyarakat, dengan bahasanya masing-masing. Pada konteks ini umumnya, artikulasi satu masyarakat bahasa, dan masa tertentu akan berbeda dengan artikulasi masyarakat bahasa, dan masa lainnya, kendati pada mulanya mereka membaca teks yang sama, sehingga dengan demikian muncul dinamika yang sedemikian unik. Lebih jauh, kaitannya dengan Islam, dari naskah-naskah Minangkabau akan memberikan data yang sangat kaya mengenai dinamika Islam di daerah tersebut.

Sayangnya, kekayaan budaya (naskah) yang luar biasa itu tidak terjaga secara baik. Dari laporan peneliti, naskah-naskah yang ditemukan kebanyakan kondisinya sudah rusak. Akan tetapi, ada beberapa yang kondisinya masih utuh, baik naskah yang sudah lama maupun naskah-naskah yang tergolong ‘baru‘. Kondisi naskah yang masih utuh pada saat dilaporkan oleh penelitinya, belum tentu pada saat sekarang masih tetap terjaga keutuhannya. Hal ini dikarenakan banyak faktor, terutama faktor bencana alam (gempa bumi dan banjir) yang menimpah ranah Minang beberapa tahun terakhir ini. Di samping itu, faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran pemilik naskah terhadap pentingnya naskah juga menjadi penyumbang ‘kerusakan‘ naskah; naskah ada yang ditumpuk atau dimasukkan ke dalam karung, dipindahkan jauh dari tempat semula (contohnya ke Jakarta), dijual atau bahkan ada yang dibuang serta dibakar.

Praktik Jual Beli Naskah

Praktik jual beli naskah di wilayah Nusantara sebenarnya sudah terjadi semenjak dahulu. Kehadiran pedagang-pedagang bangsa Barat di wilayah Nusantara pada abad ke-16 telah mengetahui adanya naskah-naskah kuno yang ada di wilayah itu. Mereka menjadikan naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatangkan untuk besar, seperti yang mereka kenal di benua Eropa dan sekitar Laut Tengah, serta daerah-daerah lain yang pernah ramai dengan perdagangan naskah. Para pedagang itu mengumpulkan naskah dari perseorangan atau dari tempat-tempat yang banyak mengoleksi naskah untuk selanjutnya membawanya ke Eropa dan menjualnya kepada perseorangan atau kepada lembaga-lembaga yang sebelumnya sudah memiliki koleksi naskah kuno (Baried, dkk. 1994: 45-46). Peristiwa seperti inilah sebagai salah satu penyebab banyak naskah-naskah di wilayah Nusantara tersebar di berbagai negara di Eropa.[10]

Praktik jual beli naskah seperti tersebut di atas, pada waktu itu terjadi hampir di seluruh daerah “penghasil” naskah yang ada di wilayah Nusantara, tidak terkecuali Minangkabau. Naskah-naskah Minangkabau juga banyak yang tersebar di luar negeri. Berdasarkan katalogus-katalogus yang memuat naskah Melayu dan Minangkabau yang disebutkan di atas, Zuriati (2003:1), menghitung ada 371 naskah Minangkabau yang berada di luar Sumatra Barat. Sebagian besar di antaranya hingga pada saat ini berada di luar negeri dengan rincian: 261 naskah berada di negeri Belanda, 102 naskah di Inggris, 19 naskah di Jerman Barat, dan 1 naskah berada di Malaysia. Selebihnya, 78 naskah, berada di Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional Jakarta.

Dalam perkembangannya, praktik jual beli naskah tidak berhenti pada waktu penjajahan saja. Sampai hari ini juga terjadi praktik jual beli naskah pun masih terjadi. Sebagaimana dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini, bahwa media massa lokal dan nasional di negeri ini pada beberapa tahun terakhir ini banyak memberitakan praktik jual beli naskah kuno. Sumatra Barat merupakan salah satu tempat yang disebut-sebut terdapatnya praktik jual beli naskah kuno yang dilakukan oleh pemilik naskah dengan para peneliti dari Malaysia.

Sumatra Barat yang kaya dengan khazanah naskah nya, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pemburu naskah asal Malaysia. Malahan, menurut beberapa sumber, praktik jual beli naskah ini telah dilakukan oleh peneliti Malaysia sejak tahun ‘70-an.[11] Dari investigasi yang dilakukan oleh Tim Gatra terungkap, ada 30 lembar naskah yang dijual Rp 150 juta. Naskah-naskah lain yang dibeli peneliti Malaysia antara lain, naskah Undang-Undang Minangkabau. Pemburu naskah dari Malaysia membelinya dari seseorang di Kelurahan Balaigurah, Bukittinggi, pada 1984 (Gatra, 26 Desember 2007, hlm. 74).

Ditambahkan lagi oleh Rasyid (Singgalang, 22 Januari 2008), bahwa para pemburu naskah biasanya datang sebagai wisatawan, lalu keluar masuk kampung atau membelinya lewat pedagang barang antik di kota Padang, Bukittinggi, atau Batusangkar. Naskah kuno mudah mereka dapatkan, karena pewaris naskah seperti ahli waris syekh, ulama atau para penghulu adat yang berpengaruh di zamannya jarang yang tahu apa isi, manfaat atau kegunaan naskah tersebut. Dan, terkadang naskah-naskah kuno hanya dianggap barang terbuang. Kalaupun dipelihara lebih karena benda pusaka atau dianggap punya kekuatan magis.

Banyak pihak, khususnya kalangan di Minangkabau dan umumnya bangsa Indonesia marah dengan adanya praktik jual beli naskah tersebut. Menurut mereka, naskah kuno itu sangat besar artinya, selain menjadi rujukan nilai-nilai sosial adat budaya dan bukti sejarah Minangkabau masa lalu, naskah kuno itu sekaligus membantah bahwa orang Minangkabau yang selama ini dianggap cuma punya tradisi lisan, terbukti sudah memiliki tradisi menulis sejak berabad-abad silam. Oleh karena itu, naskah-naskah harus diselamatkan, jangan sampai dibawa ke luar dari tempat aslinya. Kalaupun akan dilestarikan, tetap di wilayah Sumatra Barat.

Di samping itu, menurut mereka, praktik jual beli naskah telah melanggar Udang-Undang Perlindungan Cagar Budaya,[12] jual beli hanya boleh dilakukan masyarakat atau individu pemilik naskah kuno itu kepada kalangan dalam negeri. Jadi, jika menjual ke pihak luar (Malaysia misalnya), bisa dituntut secara hukum. Pada hakikatnya, telah terjadi “ketersinggungan budaya” yang disebabkan oleh adanya jual beli naskah kuno yang dilakukan pihak Malaysia di Minangkabau.

Akan tetapi di pihak lain, baik dari pihak orang-orang Minangkabau sendiri, lebih-lebih dari pihak orang-orang luar negeri[13] mempunyai anggapan yang berbeda dengan adanya praktik jual beli naskah kuno. Menurut pihak ini menyatakan bahwa tersebarnya naskah-naskah kuno Indonesia di berbagai negara (baik melalui jual beli maupun cara yang lain) di satu sisi memang merisaukan karena seharusnya naskah-naskah itu ada di tempat asalnya, tetapi di sisi lain bisa juga menguntungkan atau tidak menjadi persoalan. Naskah-naskah yang masih terdapat di tangan masyarakatnya kebanyakan tidak dirawat dengan baik, bahkan diacuhkan saja. Dengan dibeli dan dibawa ke luar negeri, naskah-naskah itu akan lebih terawat. Lebih-lebih jika naskah yang dibeli lalu disimpan di tempat yang benar-benar dipersiapkan untuk perawatan naskah. Misalnya, dalam konteks upaya penyelamatan dan pelestarian naskah-naskah Melayu, Malaysia sudah memiliki sebuah Pusat Manuskrip Melayu yang didirikan di Kuala Lumpur pada tahun 1985. Lembaga ini menginventarisasi dan mengupayakan pengadaan naskah-naskah Melayu, baik yang berasal dari dalam maupun luar Malaysia, membuat salinan mikrofilm dan mikrofis, mendokumentasikannya dalam bentuk katalog, menyediakan berbagai sarana pemeliharaan dan pelestarian naskah.

Sebenarnya, apapun alasannya, praktik jual beli naskah itu tetap akan merugikan, terutama persoalan pelestarian dan penyelamatan naskah Melayu-Minangkabau. Sudah dapat dipastikan naskah yang dijual tidak lagi lestari dan selamat dari konteks “kepemilikan” secara kebudayaan bagi orang Minangkabau. Selain itu, praktik jual beli naskah juga akan merugikan hubungan baik keluarga serumpun antara Malaysia dengan Minangkabau (Indonesia). Oleh karena itu, perlu didiskusikan langkah yang cerdas dan program yang jelas yang dilakukan secara bersama-sama untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, khususnya upaya penyelamatan (baca: pengembangan) naskah Melayu-Minangkabau secara bersama-sama.

Program Pengembangan Naskah Melayu-Minangkabau

Hingga hari ini kegiatan pengembangan pernaskahan Melayu-Minangkabau berupa kegiatan preservasi naskah, penelitian, dan pembinaan sudah dilakukan oleh berbagai pihak di Sumatra Barat.

Dalam pelaksanaan kegiatan itu, berbagai pihak memperoleh dana baik dari sponsor luar negeri (Jepang dan Inggris) maupun dalam negeri (pemerintah pusat dan pemerintah daerah). Akan tetapi, kegiatan yang dilakukan belum maksimal, mengingat lokasi yang begitu luas dan begitu susahnya mendapat akses dari pemilik naskah. Ditambah lagi, kegiatan yang disponsori oleh pihak luar negeri hasil kegiatannya cenderung agak susah untuk diakses hasil kegiatannya. Misalnya, kegiatan yang dilakukan oleh Yusuf dkk. untuk menyusun katalogus naskah Minangkabau, terkesan hasil terbitan berupa katalogus yang dicetak di Jepang tidak atau belum disebarkan secara luas.

Dalam konteks itu, program yang strategis untuk pengembangan naskah Melayu-Minangkabau semestinya dirancang dan dikerjakan oleh pihak Malaysia dengan Indonesia. Hal ini karena faktor geografis dan faktor kepentingan bersama, yakni sama-sama membutuhkan naskah-naskah Melayu-Minangkabau sebagai identitas budaya dan sumber kajian. Oleh karena itu, penulis menawarkan program kegiatan yang harus segera dilakukan dalam pengembangan dunia pernaskahan Melayu-Miangkabau, yaitu (a) membuat pangkalan data base, (b)penelitian bersama, dan (c) penerbitan hasil penelitian sebagai bahan bacaan.

Dari pihak Malaysia sebenarnya telah mempersiapkan lembaga-lembaga strategis untuk melaksanakan program-program di atas. Dalam hal pengumpulan data base tentang naskah Melayu (secara umum), Malaysia telah memiliki Pusat Manuskrip Melayu yang didirikan di Kuala Lumpur pada tahun 1985, yang berambisi menginventarisasi semua naskah Melayu di seluruh dunia. Beberapa aktifitas yang dilakukan antara lain: menginventarisasi dan mengupayakan pengadaan naskah-naskah Melayu, baik yang berasal dari dalam maupun luar Malaysia, membuat salinan mikrofilm dan mikrofis, mendokumentasikannya dalam bentuk katalog, menyediakan berbagai sarana pemeliharaan dan pelestarian naskah, serta mengadakan berbagai bentuk publikasi seperti penerbitan, seminar, pameran, dan lain sebagainya.

Hingga kini, Pusat Manuskrip Melayu tersebut telah berhasil menerbitkan katalog naskah-naskah Melayu yang ada di Malaysia, Singapura, Belanda, Prancis, Jerman, Afrika Selatan dan Washington. Secara sistematis dan berkala, tim dari Pusat Manuskrip Melayu tersebut juga melakukan “penyisiran” atas naskah-naskah milik masyarakat, kemudian mengupayakan pengalihan penyimpanannya di perpustakaan. Setiap temuan baru tim ini biasanya dipublikasikan secara berkala dalam seri terbitan Warkah Manuskrip Melayu.

Selain itu, di Malaysia telah ada semacam pusat kajian Melayu dalam bentuk institut, yaitu Institut Alam dan Tamadun Melayu (Institut ATMA) yang mengkaji peradaban (tamadun) Melayu dengan segala macam aspeknya, yang salah satunya adalah naskah-naskah kuno. ATMA merupakan pusat penyelidikan dan pengkajian Melayu di Malaysia yang dibina khusus untuk menghimpun peneliti dan sarjana dari seluruh dunia dalam suatu usaha besar untuk membina suatu khazanah dan pengetahuan yang lengkap tentang dunia dan peradaban Melayu. Institut ini secara organisasi berada di bawah naungan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada awal berdirinya (tahun 1972) institut ini bernama Institut Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu (Institut BKKM). Kemudian sejak tahun 1993 namanya diubah menjadi Institut ATMA.

Lembaga-lembaga di atas sedapat mungkin ke depan dapat bersinergi secara bersama-sama dengan lembaga-lembaga di Sumatra Barat yang juga sedang giat dalam pengembangan naskah Melayu-Minangkabau. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatra Barat, Museum Adytiawarman Sumatra Barat, Institut Agama Islam Negeri Padang, dan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

Penutup

Naskah Melayu-Minangkabau dengan kandungannya yang beragam masih banyak tersebar di tangan masyarakatnya. Naskah-naskah itu penting, baik secara akademis maupun sosial budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan budaya yang berharga. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengembangan untuk memungut mutiara yang terpendam dari naskah-naskah kuno itu. Upaya pengembangan yang dilakukan sejatinya dilakukan secara terbuka dan bersama-sama, demi kejayaan Melayu di bumi.

______________

Makalah ini disampaikan dalam seminar internasional Indonesia-Malaysia Update 2008, atas kerjasama antara Universitas Gadjah Mada (UGM) Indonesia, dengan Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Mei 2008 di UGM Yogyakarta

Pramono, S.S., M.Si., adalah Staf pengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang, Indonesia.

Kredit foto: naskahkuno.wordpress.com

[1] Beberapa berita di media massa tentang praktik jual beli naskah seperti pada Gatra, “Peneliti Malay Berburu Naskah” (24 Desember 2007); berturut-turut di Kompas, “Naskah Kuno: Jutaan Rupiah atau Ditukar Rumah Ibadah” (17 Mei 2006), “Naskah Kuno: Marak, Jual Beli Manuskrip Bersejarah” (28 Juli 2006), “Jual-Beli Naskah Kuno: Banyak Manuskrip Bersejarah Jatuh ke Tangan Orang Asing” (29 Juli 2006), Riau Pos, “Peredaran Manuskrip ke Luar Negeri Tak Terkontrol” (30 Januari 2008); Singgalang, “Naskah Kuno Minangkabau” (22 Januari 2008).

[2] Para filolog yang banyak meneliti naskah-naskah Melayu-Minangkabau seperti Oman Fathurahman yang meneliti naskah-naskah tarekat Syattariyah di Minangkabau untuk disertasinya yang berjudul “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat” (Depok : Pascasarjana UI, 2003); Tim Peneliti dari Kelompok Kajian Puitika, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, yang diketuai oleh M.Yusuf, yang telah berhasil menyusun Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau (Tokyo : The 21th Century Centre of Excellence Programme, “The Centre for Documentation & Area Transcultural Studies” Tokyo University of Foreign Studies, 2006) yang didanai oleh The Centre for Documentation & Area-Transcultural Studies (C-DATS), Tokyo University of Foreign Studies, Jepang; Pramono dalam beberapa penelitian naskah-naskah tarekat yang ada di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman; Zuriati yang banyak meneliti naskah-naskah undang-undang Minangkabau; dan Yusri Akhimuddin yang telah melakukan pemetaan 50-an naskah-naskah di Padang Pariaman.

[3] Beberapa tempat (lembaga) formal di Sumatera Barat yang memiliki koleksi naskah seperti di Museum Adityawarman Padang, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, miniatur Rumah Gadang di Kebun Binatang Bukittinggi, Kantor Arsip Kota Padang, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Padang, Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat dan Perpustakaan Fakultas Sastra, Unversitas Andalas Padang.

[4] Buya merupakan sebutan bagi seseorang yang menguasai ilmu agama dalam jamaah tarekat Syattariyah di Sumatera Barat. Pengetahuan agama seorang ungku tidak hanya dalam satu bidang ilmu saja, tetapi hampir menguasai seluruh cabang ilmu agama seperti, ilmu kitab, tasawuf, sejarah, fiqih, tafsir dan sebagainya. Seorang ungku mempunyai surau tersendiri untuk mengajarkan ilmunya dan memberikan “ijazah” kepada murid-murid yang dianggap telah lulus dan telah memahami pelajaran yang diberikannya.

[5] Penulis banyak membuktikan langsung saat orang-orang tua Minangkabau yang membaca sebuah naskah. Jika dibaca oleh orang Minangkabau yang berada di Payakumbuh, maka naskah yang ditulis dengan bahasa Melayu akan dibaca menjadi bunyi bahasa Minangkabau dialek Payakumbuh. Dan, jika dibaca oleh orang Minangkabau yang berada di Solok, maka naskah yang ditulis dengan bahasa Melayu itu akan terbaca bunyi bahasa Minangkabau dialek Solok, dan seterusnya.

[6]Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau. Jakarta : Balai Pustaka, 1992, hlm. 118.

[7] M. Yusuf, “Persoalan Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)” (Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1994), hlm. 132-133, mengutip Tamsin Medan, “Bahasa Minangkabau, di Sebelah atau di Bawah Bahasa Melayu? : Suatu Studi Pendahuluan Berdasarkan Penelitian Dialektologis” dalam Bahasa dan Sastra, Thn. VII Nomor 3, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, hlm. 22.

[8] Ibid. hlm. 133-134. mengutip J.L. van der Toorn, Minangkabausche Spraakkunst (‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1899), hal. xvi. Kutipan dibuat secara langsung yang berbunyi : de letterteekens, die de Minangkabauer voor zijn schrijftaal zigt, zijn dezelfde als in het Riausch; evenzo is de spelling der woorden in hoofdzaak die, welke voor het laatsgenoemde dialect gevolgd wordt.zigt, zijn dezelfde als in het Riausch; evenzo is de spelling der woorden in hoofdzaak die, welke voor het laatsgenoemde dialect gevolgd wordt.

[9] Ibid. hlm. 134.

[10] Perdagangan naskah merupakan salah satu faktor saja sehingga naskah-naskah Nusantara “menyeberang” hingga ke Eropan.Menurut catatan ahli pernaskahan (almarhumah) Dr Sri Wulan Rujiati, tersebarnya naskah-naskah Melayu ke luar negeri berlangsung dengan dua cara. Pertama dengan jalan damai, yakni berupa pembelian, penyalinan, dan hadiah. Kedua, melalui kekerasan, yakni penjarahan dan penyitaan pada waktu perang (Kompas, 20 Mei 1999).

[11] Menurut Fatkhurrakhman dalam tulisannya yang berjudul “Stop, Pencurian Budaya! yang penulis kutip pada 14 Mei 2008 di http//omahmoco.blogspot.com/2007/12/preservasi-budaya.html menyebutkan bahwa, beberapa pihak dari Malaysia pernah bermaksud membeli seluruh dokumentasi sastra yang dikumpulkan oleh H.B. Jassin. Dokumentasi sastra tersebut berisi ribuan naskah-naskah karya sastra sastrawan Indonesia, sejak tahun ‘30-an, naskah kuno abad XIX seperti naskah-naskah sastra Melayu-Tionghoa. Namun kemudian dibatalkan, karena pada tahun 1976, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, beserta Pemda DKI Jakarta, Pusat Bahasa, dan Dewan Kesenian bermufakat membentuk sebuah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (PDSHB).

[12] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang selaunjutnya dibuat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

[13] Hal ini pernah dilontarkan oleh Henri Chambert-Loir, Direktur Ecole Francais d‘Extreme-Orient, Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh beberapa tahun silam (Kompas, 20 Mei 1999). Menurut Chambert-Loir, kenyataan bahwa banyaknya naskah Melayu yang tersimpan di berbagai negara di luar negeri itu justru menguntungkan. Dengan dibawa ke luar negeri menurut Chambert-Loir, naskah-naskah itu terselamatkan, baik oleh situasi Indonesia waktu itu, juga karena naskah itu sekarang berada di tempat-tempat seperti perpustakaan Leiden di Belanda yang bisa menjamin keselamatan naskah itu dari kerusakan maupun kehilangan.


Dibaca : 3.839 kali.

Tuliskan komentar Anda !