Kebudayaan  Melayu, sebagaimana kebudayaan Jawa, memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari  India kira-kira semenjak abad ke-5 M hingga abad ke-14 M, namun pencapaian  keduanya cenderung berbeda. Sementara kebudayaan Jawa menorehkan prestasi yang  menonjol dalam bidang seni plastis seperti candi, patung, dan relief, pencapaian  kebudayaan Melayu yang terbesar ada di bidang kesusastraan.
    Maka tidak  aneh jika Braginsky (1998:1) menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu  adalah sastra. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kebudayaan Melayu tidak  menghasilkan pencapaian di bidang-bidang lain. “Dasar tradisi” sebagaimana yang  disebutkan oleh Braginsky sering dianggap baru ada semenjak abad ke-16. Ini  adalah tarikh tertua yang pernah diterakan pada manuskrip yang ditulis dengan  aksara Jawi dan menggunakan bahasa Melayu (Harun Mat Piah, 2002:26).
    Artefak sastra  yang dihasilkan melalui sarana bahasa Melayu, aksara Jawi, kertas dan tinta sejak  abad ke-16 inilah yang oleh kajian keilmuan Barat-modern dianggap memenuhi syarat  sebagai objek formal dan material keilmuan. Tetapi pemahaman dengan  ukuran-ukuran Barat-modern seperti ini terbukti telah menyisihkan realitas literer  lain dalam kesusastraan Melayu, yakni hasil-hasil sastra yang tak dituliskan dan  berkembang sebagai sastra lisan rakyat. Sehingga, kesusastraan Melayu sangat  mungkin telah menjadi “dasar tradisi” kebudayaan Melayu jauh sebelum abad  ke-16.
    Pada masa ketika  orang Melayu sudah mengucapkan bahasa Melayu Purba tetapi belum mampu menciptakan  aksara, sangat mungkin sekali bahwa mereka telah menghasilkan kesusastraan yang  sebagian besar berupa karya-karya sastra lisan yang hanya bisa diapresiasi dan  dibagi melalui ucapan sehingga mudah hilang bersama udara.
    Ketika orang  Melayu mulai mengenal agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India, mereka  juga mengadopsi bahasa bersama dan aksara yang digunakan dalam kedua agama  tersebut. Kemudian merek mengintegrasikannya dengan bahasa asli, dan mulai menciptakan  karya-karya tertulis berdasarkan kaidah-kaidah dalam bahasa bersama itu sehingga  perasaan dan pikiran mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk kekal.
    Namun, keberadaan  aksara dan alat tulis serta kemahiran menulis saja tidak cukup. Karya-karya  sastra tertulis dari masa ketika orang Melayu sangat dipengaruhi oleh  kebudayaan India tidak satu pun yang selamat, kecuali karya-karya yang dituliskan  pada bahan-bahan yang secara fisik mampu bertahan dari perubahan alam, seperti  yang kini kita jumpai dalam berbagai prasasti atau nisan.
    Melenyapnya  karya-karya sastra dari masa yang jauh ini juga bisa dikaitkan dengan hakikat  sastra yang dalam bentuk maupun isinya mengandung nilai-nilai tertentu yang dianut,  diyakini, dan diamalkan oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang menciptakannya.  Karya-karya sastra pada masa pengaruh India tentu mengandung nilai-nilai  keagamaan Hindu-Buddha yang sangat pekat sehingga ketika pengaruh Islam muncul,  nilai-nilai itu harus disisihkan dan digantikan oleh nilai-nilai Islam.
    Harus ditekankan  bahwa agama Hindu-Buddha mempunyai watak elitis, dalam arti pendalaman  pengetahuan tentang kedua agama tersebut hanya dapat dilakukan oleh kalangan  tertentu, misalnya kelas brahmana atau bhiksu (Marwati Djoened Pusponegoro  & Nugroho Notosusanto, 1994:26). Karakter elitis ini membuat Islam yang  memiliki watak yang lebih egaliter—karena memberikan kesempatan kepada siapa  saja untuk mendalaminya—dapat diterima dan tersebar luas di kalangan orang  Melayu. Dengan karakter egaliter itu pula, aksara Jawi yang diperkenalkan oleh  kebudayaan Islam/Arab-Persia mendapatkan dukungan besar ketika mendesak  karya-karya dan aksara yang masih mengandung bentuk maupun nilai-nilai budaya  sebelumnya yang elitis.
    Jadi, “dasar  tradisi” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Braginsky memang dapat diterima.  Tetapi, harus diingat juga bahwa kesusastraan Melayu sangat mungkin sudah ada  bahkan sebelum abad ke-16 M, walaupun bukti-bukti untuk itu sangat sukar diperoleh  dan sebagian besar bahkan hanya dapat diduga berdasarkan jejak-jejak yang sangat  kabur yang tercermin pada karya-karya dari masa yang lebih kemudian.
    MelayuOnline.com  berangkat dari proposisi bahwa kesusastraan Melayu telah memulai sejarahnya  sejak orang Melayu Purba mampu mengucapkan bahasa dan hal ini dimulai sejak  zaman prasejarah. Karena itu, MelayuOnline.com akan mendeskripsikan secara singkat  latar belakang sejarah kesusastraan Melayu semenjak zaman ini dan dilanjutkan  dengan masa pengaruh kebudayaan India atas dunia Melayu. Kedua periode ini akan  digolongkan sebagai periode-periode sejarah sastra yang mungkin dapat disebut  sebagai periode “sebelum masa pengaruh Islam”.
    Penerapan Islam  sebagai pemilah bagi dua “zaman besar” kesusastraan Melayu yang berbeda dilandasi  oleh alasan yang cukup kuat. MelayuOnline.com, mengikuti Harun et.al. (2002) namun  dengan melakukan beberapa modifikasi, memandang bahwa Islam adalah daya gerak  yang telah mentransformasi seluruh kebudayaan Melayu, terutama kesusastraannya,  menjadi gejala peradaban yang berkembang pesat dan menyebar luas.
    Setelah  melewati fase peralihan dari pengaruh India ke pengaruh Islam, yang lazim disebut  sebagai Masa Peralihan atau Masa Transisi, di mana pengaruh-pengaruh dari  kebudayaan India masih cukup kuat namun mulai mendapat imbangan dari pengaruh Islam,  kesusastraan Melayu mencapai masa keemasannya. Zaman ini sering disebut sebagai  Zaman Klasik. Pada zaman ini, kesusastraan Melayu bukan hanya merupakan proyek  literer belaka, tetapi juga—dan terutama—mengemban fungsi praktis-religius,  bahkan sosial-politik-ekonomi.
    Para juru  dakwah mula-mula menggunakan aksara Jawi untuk melancarkan pengajaran agama Islam  kepada orang Melayu yang masih dipengaruhi oleh agama dan budaya dari India. Traktat-traktat  keagamaan dan berbagai sarana dakwah lain, termasuk narasi dakwah melalui wadah  literer, ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Jawi.
    Orang Melayu dan  etnis-etnis lain di kawasan Asia Tenggara yang ingin menyelami religiusitas Islam  harus menguasai bahasa Melayu dan aksara Jawi. Sehingga, sastra Melayu pada  Zaman Klasik adalah, menurut istilah Braginsky (1998:1), sastra antaretnis, yang  juga nampak dalam berbagai genre yang lain seperti undang-undang kenegaraan,  tatacara pemerintahan, inventarisasi pengetahuan tradisional, akta-akta dan  surat-surat resmi antarkerjaan Melayu maupun antara kerajaan Melayu dengan entitas  politik-ekonomi dari luar.
    Tetapi harus  diingat bahwa “periodisasi” kesusastraan Melayu tersebut tidak menetapkan  batas-batas pembagian yang sangat jelas dan ketat. Gejala kesusastraan Melayu  adalah gejala yang unik dalam kesusastraan dunia karena kategorisasi yang biasanya  diterapkan dengan cukup mudah terhadap sastra modern seringkali kesulitan  merangkum khasanah yang sangat kaya ini. Misalnya, masa pengaruh India tidak  meninggalkan karya sastra tertulis, tetapi anasir-anasir sastrawinya terkandung  di dalam karya-karya sastra yang diciptakan pada masa pengaruh Islam.
    Misalnya, Hikayat  Seri Rama jelas mengandung pengaruh yang kental dari Ramayana,  sebuah karya yang khas India. Tetapi karya ini dijumpai sebagai karya  sastra tertulis yang menggunakan aksara Jawi dan berasal dari Zaman Klasik  serta telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi suatu karya yang  dapat dikatakan merupakan karya yang baru. Sedangkan Sulalat-us-salatin,  yang lebih terkenal dengan nama Sejarah Melayu, adalah karya yang bertarikh  1612 M atau mungkin juga 1535 M, namun menjadi ikon kesusastraan Melayu setelah  ditransliterasi dan diterbitkan dengan alat percetakan modern pada tahun  1800-an oleh Syeh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
    Demikian  besarnya pengaruh Islam terhadap kebudayaan dan kesusastraan Melayu pada Zaman Klasik  sehingga semua perkembangan kesusastraan pada masa berikutnya—yakni setelah  masuknya pengaruh Barat/modern, pengaruh Tionghoa, dan ketika muncul kesadaran  nasional serta kebangkitan kembali kebudayaan asli/lokal di tengah interaksi  kebudayaan global—selalu terkait dengan Islam, baik secara langsung maupun tidak  langsung. Walaupun demikian, setiap masa pengaruh tersebut tentu juga memiliki  karakteristiknya masing-masing.
    Kita tidak bisa  menyangkal bahwa hubungan dengan dunia Eropa-Barat telah memberikan pengaruh  yang besar terhadap kesusastraan Melayu. Pengaruh yang paling menonjol dari  hubungan ini adalah meresapnya estetika modern yang antara lain memberikan  otonomi yang lebih luas terhadap karya sastra sebagai ekspresi kebahasaan yang  bersifat indiviual. Otonomi dan individualitas inilah yang kemudian menjadi  pembeda tegas antara kesusastraan Melayu modern dari kesusastraan “zaman lama”  yang fungsional dan kolektif.
    Hubungan  antara dunia Melayu dengan dunia Barat berlangsung sejak pelayaran ekspedisi  Ferdinand de Magellhaens berhasil menemukan jalur laut ke Kepulauan  Rempah-rempah melalui samudera Pasifik dan Vasco da Gama membuka jalur dagang  ke Goa, India, yang dilanjutkan lagi dengan ekspedisi-ekspedisi ke Kepulauan  Melayu. Titik balik terjadi ketika Alfonso D`Abulquerque menaklukkan Malaka  pada 1511. Pada masa goyahnya kekuatan ekonomi-politik Melayu ini, pusat kebudayaan  dan kesusastraan Melayu berpindah ke kerajaan-kerajaan Melayu lain, yakni Aceh,  Johor, Riau-Lingga, Banjarmasin, Kelantan, Patani, dan lain-lain.
    Yang menarik,  praksis kesusastraan Melayu tidak hanya diamalkan oleh orang Melayu, tetapi  juga mulai diamalkan oleh agen-agen budaya dari Barat. Kepentingan ekonomi-politik  Barat di Kepulauan Melayu memaksa orang Barat mengadopsi bahasa Melayu agar  dapat berinteraksi dengan suku bangsa yang kelak akan menjadi jajahannya.
    Penguasaan  bahasa Melayu ini terlihat ketika tentara Spanyol yang berangkat dari Manila  untuk menyerang Brunei pada 1578 membawa dua surat untuk sultan Brunei, satu ditulis  dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi sementara yang lain ditulis dalam bahasa  Tagalog (James T. Collins, 2005:31). Contoh lain adalah kamus Melayu-Belanda  yang disusun oleh Frederik de Houtman (1596) ketika menjadi tawanan Sultan Aceh  (1599-1601) dan diterbitkan di Amsterdam pada 1603 (A. Teeuw, 1994:251-252).
    Mudah diduga  jika kemudian penguasaan bahasa semacam ini juga menimbulkan upaya estetifikasi  bahasa Melayu—walaupun skalanya mungkin tidak terlalu besar. Salah satu upaya ini  dilakukan pada 1695, ketika guru besar Bahasa Arab dan Bahasa Ibrani dari  Oxford, Thomas Hyde, menulis sajak bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Jawi  untuk memperingati hari kematian Ratu Mary (Gallop dalam Collins, 2005:67).
    Kekuatan-kekuatan  imperial Barat-Eropa-kulit putih yang berkelindan dengan kapitalisme dan  bernegosiasi dengan gagasan-gagasan humanitarian dan emansipasi kelas menengah  urban selanjutnya memunculkan gejala kolonialisme, di mana Barat-Eropa-kulit  putih menginvasi dan mendominasi dunia Timur, termasuk dunia Melayu, secara  total, mulai dari pandangan dunia, cara berpikir hingga harga-harga komoditi. Dalam  prakteknya, bangsa-bangsa Barat yang menganggap diri superior dibanding dunia  Timur mendirikan koloni di dunia Timur dan memindahkan serta menerapkan semua  nilai dan klaim superioritasnya ke wilayah koloni.
    Selama masa  kolonial ini, Melayu sebagai etnis maupun rumpun budaya baik di Semenanjung  Melayu dan Borneo Utara yang dikuasai Inggris, di Hindia Belanda yang dikuasai  Belanda, hingga di Mindanao yang dikuasai Spanyol dan selanjutnya Amerika Serikat,  menjadi warga negara kelas dua di kampung halaman mereka sendiri.
    Bagi penguasa  kolonial Barat, dunia Melayu adalah dunia yang belum dewasa dan mesti dibimbing  serta diajari agar taraf kebudayaannya meningkat. Dengan superioritas yang diklaimnya,  kekuatan-kekuatan kolonial di dunia Melayu mengingkari kenyataan bahwa dunia  yang dipandangnya sebagai inferior adalah dunia yang memiliki ragam pengetahuan  dan logika sendiri.
    Pandangan  tentang superioritas Barat bahkan meresap dalam pandangan keilmuan modern yang  dibangun di Barat dan diklaim sebagai bentuk pengetahuan objektif yang bebas nilai.  Ajektif “primitif”, “inlander”, “bumiputera”, menjadi ajektif yang peyoratif  dan bertebaran dalam studi-studi ilmu sosial serta diterapkan secara paksa dalam  berbagai aspek kehidupan di wilayah koloni.
    Pada saat yang  sama, ke-belum-dewasa-an dunia Melayu bagi Barat menyajikan ideal-ideal yang  berbeda dari realitas faktual yang dijumpai dalam masyarakat modern-urban  Barat, sehingga ajektif “eksotik” diterapkan secara idealistis untuk merujuk  pada dunia Timur sebagai liyan yang lebih “tenang”, “indah”, dan “bersifat  surgawi” daripada dunia Barat.
    Eksekusi paling  kentara dari pandangan ini adalah konsepsi Mooi Indie atau Hindia Elok yang  melatari semua penciptaan karya seni, terutama seni rupa, di Hindia Belanda. Penguasa  kolonial juga berkuasa untuk menentukan politik kebahasaan agar sesuai dengan  kepentingan kolonial sendiri, yang terutama ditujukan untuk mendidik tenaga  terampil untuk menjalankan mesin birokrasi di negara kolonial yang semakin rumit.
    Pendidikan  yang dilakukan di sekolah memerlukan bahasa pengantar yang efektif. Di Hindia  Belanda, politik kebahasaan pemerintah kolonial untuk keperluan pendidikan umum  memiliki tiga pilihan bahasa Melayu, yakni bahasa Melayu Pasar/Rendah yang terpakai  sebagian besar dalam dunia dagang dan telah bercampur dengan berbagai bahasa  atau dialek, terutama bahasa Tionghoa; bahasa Melayu dialek, yaitu bahasa  Melayu yang berada di beberapa daerah dan pengucapannya telah terpengaruh oleh  bahasa daerah setempat; dan bahasa Melayu Riau yang telah dibina dan terpelihara  begitu rupa di Riau berkat aktivitas literer yang digiatkan oleh Raja Ali Haji  (UU Hamidy, 1998:16).
    Pemerintah Kolonial  Hindia Belanda menjatuhkan pilihan pada bahasa Melayu Riau dengan alasan bahwa ragam  bahasa inilah yang paling sedikit mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lain dan  dengan demikian relatif lebih murni dibanding dialek Melayu lainnya (Hamidy,  1998:19). Pilihan inilah yang kemudian berkembang menjadi ragam bahasa Melayu  Tinggi/Sekolah, diimplementasikan secara ketat dan disebarkan oleh badan literasi  Balai Pustaka, berubah arah hingga diakui sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah  Pemuda 1928, dan menjadi medium kesusatraan modern/nasional Indonesia hingga  sekarang.
    Klaim superioritas  Barat-Eropa-kulit putih juga diterapkan dalam bidang kemasyarakatan. Pemerintah  Kolonial Hindia Belanda menetapkan aturan kewarganegaraan di Hindia Belanda  menjadi tiga lapis. Orang Belanda totok menempati kedudukan tertinggi, disusul  bangsa-bangsa Arab/Timur Tengah dan Timur Jauh termasuk Jepang dan Cina,  sementara orang pribumi, yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang kedua kelas  tersebut, terletak di bawah piramida kewarganegaraan dan menjadi objek eksploitasi  sosial-ekonomi kelas-kelas di atasnya. Kekuatan yang dominan juga mengidap dan  menyebarkan stereotip seperti orang Melayu, Jawa dan Filipina sebagai pemalas (Hussein  Alatas, 1988).
    Kebijakan  etnosentris dan rasialis seperti itu ternyata juga menghasilkan dinamika  tersendiri, yang barangkali tak diduga-duga oleh pemerintah kolonial. Kelas  kedua dalam masyarakat Hindia Belanda, yakni orang Tionghoa, yang memiliki akses  cukup mudah pada sumber-sumber ekonomi dan pendidikan, melakukan pembauran  budaya dengan budaya pribumi Kepulauan Melayu dan menghasilkan apa yang oleh  sebagian kalangan disebut sebagai bahasa Melayu Tionghoa, yang pada gilirannya  juga menghasilkan gejala kesusastraan yang kini disebut sebagai Sastra Melayu  Tionghoa.
    Peran jenis  kesusastraan ini antara lain merintis jalan ke arah modernitas kesusastraan  Melayu, khususnya di Indonesia, dan meningkatkan bahasa Melayu Pasar/Rendah ke  taraf bahasa sastra dan mempopulerkannya ke seluruh Indonesia. Upaya ini telah  banyak berperan dalam menciptakan syarat terbentuknya bahasa kesatuan Indonesia  (Liang Liji dalam Marcus A.S. & Pax Benedento, 2001:xx).
    Selama  berabad-abad, dunia Melayu tertindas secara politis, ekonomi, sosial dan budaya  oleh klaim Erosentrisme yang akut. Namun, pada paruh pertama abad ke-20, benih-benih  kebangkitan mulai bersemi di seluruh dunia Melayu. Kemenangan Jepang dalam perang  melawan Rusia meyakinkan seluruh bangsa-bangsa di dunia Timur, termasuk dunia  Melayu, bahwa bangsa-bangsa Asia memiliki kekuatan untuk menandingi superioritas  Barat. Maka di seluruh Asia bermunculan berbagai gerakan perlawanan terhadap  kolonialisme.
    Gerakan perlawanan  secara modern terhadap kolonialisme di kawasan Asia Tenggara diawali di Filipina  di bawah pimpinan Jose Rizal pada penghujung abad ke-19. Gerakan ini berpuncak  dengan proklamasi kemerdekaan Filipna yang pertama, yakni pada 12 Juni 1898—selanjutnya  dinegasi oleh represi pemerintah kolonial Spanyol.
    Ide-ide nasionalisme  yang diperkenalkan dan berhasil diwujudkan oleh Dr Sun Yat Sen di Tiongkok juga  menyebar ke Asia Tenggara dan merangsang bangkitnya nasionalisme Indonesia dan  bangsa-bangsa lain. Dalam masa kebangkitan nasional ini, kesusastraan Melayu di  Hindia Belanda yang telah menyerap pengaruh modern dan dinyatakan sebagai  “Kesusastraan Indonesia”, berperan sebagai “alat perjuangan” (Keith Foulcher,  1991), bahu membahu dengan pers nasionalis dan gerakan politik-sosial-ekonomi Sarekat  Dagang Islamiah yang dipelopori oleh RM Tirto Adhi Soerjo (Iswara N Raditya, 2008:52).  Atribut “Indonesia” digunakan secara mantab oleh para praktisi kesusastraan  saat itu setelah atribut ini disepakati secara bulat dalam Kongres Pemuda II di  Batavia pada 1928.
    Modernitas kesusastraan  Melayu/Indonesia diklaim mulai muncul sejak tahun 1930-an, yakni ketika Sutan  Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Amir Hamzah menggiatkan penerbitan majalah  kebudayaan dan kesusastraan Pujangga Baru. Kesusastraan Indoensia baru,  menurut para “penyair baru” ini, adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang  baru, tak memiliki persambungan dengan kebudayaan prae-Indonesia, sehingga sama  sekali tidak ada hubungan antara kesusastraan zaman baru dengan kebudayaan  prae-Indonesia itu, yakni “kebudayaan dari zaman jahiliyah Indonesia” (Sutan  Takdir Alisjahbana, 1988).
    Kelindan  antara kesusastraan dengan gerakan politik dan nasionalisme ini bukannya khas Indonesia,  karena Jose Rizal di Filipina pernah juga bergiat menulis karya sastra dengan  elemen nasionalis yang kuat seperti karyatama Noli Me Tangere (1887). Namun,  modernitas kesusastraan sebagai sebuah gerakan yang menggabungkan diri secara struktural  maupun kultural dengan organisasi perjuangan kemerdekaan pada kurun itu memang  hanya terjadi di Indonesia.
    Pangeran Indera  Pura Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru, adalah seorang aktivis pengurus  organisasi pergerakan, yakni Indonesia Muda cabang Solo, dan mempersembahkan salah  satu dari dua buah kumpulan sajak monumentalnya, Buah Rindu, “ke bawah Paduka  Indonesia Raya” (Achdiat K. Mihardja dalam Abrar Yusra, 1996:82-94). Demikian  juga dengan beberapa “penyair baru” yang lain, seperti Sanusi Pane, Muhammad  Yamin, dan JE Tatengkeng—bahkan Roestam Effendi duduk sebagai wakil Partai  Komunis Belanda di Tweede Kamer (1936-1946).
    Setelah terbungkam  oleh represi dan kontrol yang sangat keras pada masa pendudukan Jepang  (1942-1945), aktivisme nasionalistis kesusastraan modern Indonesia pada periode  itu mencapai puncaknya pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus  1945. Selama Revolusi Fisik (1945-1949) penuh darah yang menyusul proklamasi ini,  para sastrawan dan seniman Indonesia adalah juga pejuang baik di bidang budaya  maupun perjuangan fisik.
    Cerita  populer-heroik dari masa ini yang hingga kini beredar di benak publik sastra Indonesia  modern adalah tentang pelukis Affandi yang meminta kepada dewa penyair Chairil Anwar  untuk mencarikan kata yang tepat untuk melengkapi poster perjuangan buatannya.  Chairil memberikan kata yang kelak menjadi salah satu ikon penting dalam  Revolusi Fisik: “Bung, ayo Bung!”
    Pada kurun  1930-an, semangat nasionalisme mungkin sudah meresapi pemikiran para sastrawan  Melayu yang tinggal di Semenanjung Melayu dan juga Borneo Utara walaupun belum  menyebar luas. Ketika STA dan Armijn Pane mengusahakan penerbitan nomor-nomor  awal Pujangga Baru, mereka mengirimkan undangan berlangganan ke  Semenanjung.
    Salah satu  sambutan dan dukungan datang dari Za`ba, ahli bahasa Melayu dan guru muslim  yang terkemuka. Za`ba mengusulkan agar kegiatan tersebut jangan hanya terbatas  di Indonesia saja, melainkan juga meliputi pula Semenanjung Malaya. Idealisme  Za`ba tentang nasionalisme kebudayaan Melayu pada masa itu ternyata telah  meluas pula pada gagasan kebangsaan “Indonesia”.
    Menurut Za`ba,  walaupun pihak Indonesia dan Semenanjung saat itu tercerai oleh pemerintahan  yang berbeda, namun sebenarnya mereka “satu-satu asal, satu kebangsaan, satu  tujuan dan satu pada serba-serbi”. Za`ba berharap bahwa suatu saat nanti “anak  cucu kita dapat bersatu dengan sebenar-benarnya hingga jadi satu Malay Island  Empire di laut Timur” (Foulcher, 1991:19).
    Dalam  kenyataannya, sentimen nasionalisme juga yang “memisahkan” antara kesusastraan  Indonesia modern dari kesusastraan Melayu baru/modern yang berkembang di  Malaysia. Indonesia lebih dulu mencapai kemerdekaan dan mencakupkan seluruh bekas  wilayah Hindia Belanda sebagai wilayah politik-kulturalnya pada 1945, sementara  Semenanjung Melayu masih harus menunggu hingga 31 Agustus 1957 untuk memperoleh  kemerdekaan penuh dari pemerintah kolonial Inggris.
    Walaupun demikian,  kesadaran tentang bangsa Melayu dan negara-bangsa yang kelak disebut sebagai  Malaysia telah mulai menggeliat setelah masa pendudukan Jepang berakhir, terutama  setelah berdirinya Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu atau yang lebih dikenal  sebagai UMNO (United Malays National Organization) pada 11 Mei 1946.
    Negara-bangsa  Malaysia, yang terdiri dari negeri-negeri dalam Persekutuan Tanah Melayu di  Semenanjung Melayu, baru merdeka secara penuh pada 31 Agustus 1957, setelah  melalui masa-masa kekuasaan Pemerintah Militer Inggris (5 September 1945 - 31  Maret 1946), Pemerintah Sipil Inggris berdasarkan Perlembagaan Malaya Union (1  April 1946 – 31 Januari 1948), dan masa pengawasan oleh Inggris (1 Feburari  1048 – 30 Agustus 1957). Namun, kesusastraan Melayu baru/modern di Semenanjung  telah memulai sejarahnya bersamaan dengan zaman bergerak di Indonesia. Karya  sastra prosa yang dianggap sebagai pemula dalam kesusastraan Malaysia modern, Hikayat  Faridah Hanum karya Syeid Sheikh al-Hadi, telah terbit pada 1925.
    Sementara itu,  karya sastra puisi modern telah terbit pada 1913 di majalah Utusan Melayu,  yakni Angan-angan dengan Gurindam karangan Omar Mustaffa yang kemudian  diterbitkan lagi di majalah Kemajuan Pengetahuan, No. 2, 1925 dengan  sedikit perubahan pada judulnya menjadi Seruan dengan Gurindam dan  penyairnya pun berganti menjadi Haji Abdul Majid bin Haji Zainuddin (Maman S.  Mahayana, 1995:2).
    Gagasan  tentang kesusastraan nasional Malaysia terutama ditentukan oleh dua golongan dalam  masyarakat Melayu yang terdidik. Golongan pertama telah memperoleh pendidikan  Barat, khususnya elite intelektual dan bangsawan lulusan Maktab Melayu Kuala  Kangsar (MMKK) atau The Malay College Kuala Kangsar, yang didirikan oleh pemerintah  Inggris pada 1905. Golongan kedua adalah golongan masyarakat Melayu yang pernah  belajar di Timur Tengah serta kaum intelektual lulusan Maktab Perguruan Sultan  Idris (MPSI) atau Sultan Idris Training College (SITC). Maktab inilah yang  menjadi pusat persemaian semangat nasionalisme bangsa Melayu (Maman, 1995:5-6).
    Golongan  lulusan MMKK lebih cenderung menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi,  sementara lulusan MPSI lebih suka menggunakan bahasa Melayu. Perbedaan lain  adalah soal tulisan resmi yang dapat diterima oleh semua pihak. Sekelompok  sastrawan yanhg tergabung dalam Asas `50 mengusulkan agar tulisan Latin (huruf  Rumi/Romawi) segera dibakukan dan dianggap sebagai tulisan resmi untuk komunikasi,  terutama dalam bidang pendidikan dan pemerintahan. Usulan ini diterima pada  Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Kedua di Seremban, 1-2 Januari 1954  (Mahayana, 1995:10-13) dan dilaksanakan  dengan konsisten setelah pembentukan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) pada 22  Juni 1956.
    Selain golongan  lulusan MMMKK dan MPSI, sebenarnya masih ada dua golongan lagi yang berperan  dalam gerak kesusastraan di Malaysia, yaitu keturunan India dan Peranakan. Kaum  peranakan adalah keturunan dari orang Cina yang kawin dengan orang Melayu  setempat. Mereka biasa disebut sebagai “Baba” (laki-laki) dan “Nyonya” (perempuan).  Mereka inilah kelas lain dalam masyarakat Melayu di Malaysia yang berhasil  memanfaatkan kekayaan bahasa Melayu untuk berkreasi.
    Tan Che Beng  (2003:100) menguraikan bahwa sejak kurun 1930-an, para penyair Baba telah  menerbitkan sajak-sajak berbahasa Melayu (terutama pantun) dalam surat  kabar-surat kabar seperti Bintang Pranakan  dan Sri Pranakan. Namun, dalam  pembentukan konsepsi kesusastraan Malaysia, peran kesusastraan kreasi kaum Peranakan  dan keturunan India belum diperhitungkan.
    Konsepsi tentang  kesusastraan nasional Malaysia terus diolah dan dikembangkan oleh bangsa  Melayu, yakni melalui usulan-usulan dari Tengku Ismail Husein, Yahaya Ismail,  dan Mohd. Taib Osman. Dalam perkembangannya, konsepsi kesusastraan Malaysia  lebih menekankan pada kewarganegaraan sastrawannya dan karya-karya yang  mencerminkan identitas dan akar budaya Malaysia melalui kreasi sastrawan Malaysia  (Maman, 1995:15).
    Pada awal  dekade 1960-an, Brunei masuk dalam rancangan pembentukan Federasi Malaysia,  yang juga mencakup negeri-negeri Persekutuan Tanah Melayu, Sabah, Serawak, dan  Singapura. Namun, atas saran dari Tunku Abdul Rahman Putera Al-Haj, pada  September 1963 Brunei memutuskan untuk tidak bergabung dengan Malaysia (Haji  Awang, 2000:49). Setelah Sultan Haji Omar `Ali Saifuddin turun tahta secara  sukarela pada 4 Oktober 1967, tahta Brunei dipegang oleh Sultan Hassanal Bolkiah  semenjak 5 Oktober 1967. Kesultanan Brunei Darussalam, yang sebelumnya  merupakan protektorat Inggris, menyatakan kemerdekaan pada 1 Januari 1984.
    Kesusastraan nasional  Brunei berkembang terutama berkat dukungan kerajaan. Sastrawan Brunei yang paling  terkemuka adalah sekaligus juga mantan sultannya, Sultan Haji Omar` Ali Saifuddin,  yang menulis dengan nama pena Muda Umar Ali Saifudin. Sastrawan ini terutama menulis  sejumlah syair dengan tema-tema yang beragam, mulai dari sejarah hingga agama  (Haru et.al., 2002:68-69).
    Hingga 1963,  Singapura adalah negeri protektorat Inggris dan masuk ke dalam Federasi Malaysia  bersama dengan sembilan kesultanan di Semenanjung Melayu, Sabah dan Sarawak.  Tetapi pada 1965, Singapura, yang mayoritas penduduknya adalah keturunan Cina, menolak  program afirmasi atas orang Melayu di Singapura. Setelah ketegangan rasial yang  sangat intensif, Singapura memisahkan diri dari Malaysia dan menjadi negara  merdeka di bawah pimpinan Lee Kuan Yew pada 9 Agustus 1965 (Christopher Alan  Bayly & Timothy Norman Harper, 2006).
    Walaupun  kemerdekaan Singapura didasari pilihan rasial, namun kesusastraan Melayu di Singapura  tetap memperoleh peluang untuk berkembang karena bahasa Melayu ditetapkan  sebagai salah satu dari empat bahasa resmi selain bahasa Inggris, Mandarin, dan  Tamil.
    Selain di  kawasan utama persebaran bangsa dan bahasa Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia,  Singapura, dan Brunei Darussalam, kesusastraan Melayu juga berkembang di negeri-negeri  lain yang jarang dianggap sebagai negeri yang memiliki kebudayaan Melayu, seperti  Mindanao di Filipina, Pattani di Thailand bagian selatan, Sri Lanka,  Madagaskar, dan lain-lain. Jadi, sejak memulai sejarahnya pada zaman  prasejarah, kawasan perkembangan kesusastraan Melayu semakin luas.
    Batas-batas  kesusastraan Melayu cenderung mengabur setelah munculnya internet yang memungkinkan  komunikasi antarpelibat dilakukan secara virtual di mana saja dan kapan saja.  Dengan modus distribusi hasil-hasil kesusastraan ini, yang tidak lagi  mengandalkan pada kertas dan tinta, kesusastraan baru kini bersiap untuk  menyambut evolusi kesusastraan yang walaupun masih kabur bentuknya, namun dapat  dipastikan mempunyai karakteristik yang berbeda dari hasil-hasil kesusastraan  pada masa-masa sebelumnya.
    ____________
    Referensi
    A. Teeuw,  1994. Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka  Jaya
    Abrar Yusra  (ed.), 1996. Amir Hamzah sebagai manusia dan penyair. Jakarta: Yayasan  Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
    Christopher  Alan Bayly & Timothy Norman Harper, 2007. Forgotten wars: freedom and  revolution in Southeast Asia. Massachusetts: Harvard University Press.
    Haji Awang  Mohd. Jamil al-Sufri, 200. Latar Belakang Sejarah Brunei. Bandar Seri  Begawan: Pusat Sejarah Brunei Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan.
    Harun Mat Piah,  et.al., 2002. Traditional Malay literature. Edisi kedua. Diterjemahkan  dari bahasa Malaysia ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling, Kuala Lumpur:  Dewan Bahasa dan Pustaka.
    Hussein  Al-Attas, 1988. Mitos pribumi malas: citra orang Jawa, Melayu dan Filipina  dalam kapitalisme kolonial. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan  Penerangan Ekonomi dan Sosial.Isawara N. Raditya, 2008. Karya-karya Lengkap Tirto  Adhi Soerjo Pers dan Pergerakan. Yogyakarta: Indonesiabuku
    James T. Collins,  2005. Bahasa Melayu bahasa dunia sejarah singkat. Diterjemahkan dari  bahasa Inggris oleh Alma Elvita Almanar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
    Keith  Foulcher, 1991. Pujangga Baru kesusasteraan dan nasionalisme di Indonesia  1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
    Maman S.  Mahayana, 1995. Kesusastraan Malaysia modern. Jakarta: PT Pustaka Dunia  Jaya.
    Marcus A.S  & Pax Benedento (ed.), 2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia.  Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
    Sutan Takdir  Alisjahbana, 1988. Kebudayaan sebagai perjuangan. Jakarta: PT Dian  Rakyat.
    Tan Chee Beng,  2003. “Baba Malay poetry publications and Baba`s contribution to Malay world  studies”, dalam Ding Choo Ming & Ooi Kee Beng (eds.), 2003. Chinese  studies of the Malay world. Singapore: Eastern Universities Press.
    UU. Hamidy,  1998. Dari bahasa Melayu sampai bahasa Indonesia. Cetakan kedua.  Pekanbaru: Unilak Press
    V.I. Braginsky,  1998. Yang indah, berfaedah, dan kamal sejarah sastra Melayu dalam abad 7-19.  Diterjemahkan dari bahasa Rusia oleh Hersri Setiawan. Jakarta: INIS.
    (An. Ismanto/07/08-09)
    - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Prasejarah. 
 - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Pengaruh India-Hindu/Buddha. 
 - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Pengaruh Islam/Arab-Persia. 
 - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Pengaruh Kolonial. 
 - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Pengaruh Tionghoa. 
 - Latar Belakang Sejarah Kesusastraan Melayu Masa Paska Kolonial. 
 
Dibaca : 28.760 kali.
 Berikan komentar anda :