10 oktober 2016 07:07
Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu
      | Judul Buku 
 | : 
 | Raja  dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu | 
| Editor 
 | : 
 | Mahdini | 
| Penerbit | : 
 | Yayasan Pusaka Riau | 
| Cetakan 
 | : 
 | Pertama, 2003 | 
| Tebal 
 | : 
 | V + 343 Halaman | 
| Ukuran 
 | : | 14,5 cm x 30 cm. | 
Buku ini membahas mengenai raja dan  kerajaan dalam kepustakaan Melayu, atau secara sederhana dapat dimaksudkan  membahas mengenai raja dan kerajaan Melayu yang ditulis berdasarkan referensi  atau literatur yang telah ada sebelumnya. 
    Pembahasan dalam buku ini sangat  beragam sesuai dengan aspek-aspek tertentu meliputi raja dan kerajaan Melayu. Misalnya  tentang sejarah, pendidikan, karya dan pemikiran, kondisi sosial, budaya,  agama, syarat menjadi raja, pengangkatan raja, pemberhentian raja, petikan  naskah-naskah kuno, tujuan kerajaan, dan sebagainya. Di samping itu, penulis  juga menjelasakan mengenai pembesar atau pesohor pada zaman kerajaan Melayu,  contohnya Raja Ali Haji. 
    Pada bagian awal buku ini, penulis  juga sedikit menjelaskan mengenai sejarah kebesaran pulau Bintan dengan kerajaan  Melayu di kawasan semenanjung dan sekitar Selat Malaka yakni kesultanan Malaka  hingga kesultanan Riau-Lingga. Kesultanan-kesultanan tersebut semuanya pernah  menjadikan pulau Bintan sebagai pusat pemerintahannya. 
    Berawal dari zaman Sriwijaya, pulau  Bintan telah dikenal sebagai pulau yang telah memiliki raja sebelum berdirinya  Malaka. Sultan Mahmud Syah, sultan Malaka terakhir sebelum runtuhnya Malaka,  juga berundur ke pulau Bintan hingga kemangkatan beliau. Sejarah kesultanan Malaka  dilanjutkan oleh Johor yang didirikan putra Sultan Malaka terakhir yaitu Alauddin  Riayat Syah II. Begitu juga setelah Johor mengalami masa-masa sulit, Sultan  Alauddin Riayat Syah II kemudian memindahkan ibu kota pemerintahan Johor ke  pulau Bintan, tepatnya di Sungai carang/Hulu Riau (Tanjungpinang). 
    Dari sejarah kesultanan Melayu  tersebut jelas bahwa Pulau Bintan sejak dahulu telah menjadi kawasan yang  sangat diperhitungkan oleh para sultan. Bahkan pada zaman kesultanan Riau-Johor  Thomas Slicher, Gubernur Belanda untuk Malaka, melaporkan pada tahun 1678 Riau  (meliputi Pulau Bintan dan pulau di sekitarnya) sangat ramai dikunjungi oleh  perahu-perahu dan kapal-kapal dagang, sehingga sungai yang menjadi alur masuk  ke pelabuhan itu hampir tidak dapat dilayari karena padatnya lalu lintas.
    Buku ini juga menjelaskan konsep raja  dan kerajaan dalam kebudayaan Melayu yang dianggap sakral. Menurut konvensi  Melayu, “Raja” (Sultan) dan “Kerajaan” (Kesultanan) dipandang sebagai suatu  anugerah yang datangnya dari Yang Maha Kuasa. Karena itu ia dianggap suci.  Kesucian ini kemudian melahirkan mitos tentang asal-usul genealogi raja-raja  Melayu yang dihubungkan dengan tokoh yang dianggap sebagai keturunan Iskandar  Zulkarnain yeng terkenal itu. Yaitu sosok seorang manusia setengah dewa yang  disebut dalam sejarah Melayu bernama Sang Sapurba. Tokoh inilah yang kemudian  dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Melayu. (h.213)
    Banyak hal lain menarik yang juga dibahas  dalam buku ini yang secara singkat memberi pemahaman terhadap kita tentang raja  dan kerajaan yang tertera dalam dunia kepustakaan berdasarkan sumber-sumber  yang dapat dipertanggungjawabkan.(Oki Koto/Res/113/8-2016)
                      Read : 1.470 time(s).