09 februari 2010 07:07
Tanah Melayu dalam Keindahan Bahasa Metafor
                                                    | Judul Buku 
 | : 
 | Tanah Airku Melayu; Sebuah Kumpulan Puisi 
 | 
  | Penulis 
 | : 
 | Fakhrunnas MA Jabbar | 
| Penerbit | : 
 | Riaupulp, Riau bekerjasama dengan BKPBM,  Yogyakarta | 
| Cetakan 
 | : 
 | Pertama, Juni 2008 | 
| Tebal 
 | : 
 | xix + 152 pages | 
 
  Di dalam karya sastra yang berpijak pada budaya Melayu,  entah itu berbentuk puisi maupun prosa, tercakup kompleksitas tata nilai yang  terejawantahkan melalui norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, atau  gambaran dunia tertentu yang diandaikan. Dengan kata lain, sastra berusaha  berbicara tentang tingkah laku manusia dan   kebudayaan yang dihayati pengarangnya. 
    Seperti terlihat dalam Tanah Airku Melayu;  Sebuah Kumpulan Puisi karya Fakhrunnas MA Jabbar ini, manusia disorot  sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk kebudayaan. Tak mengherankan jika sastra disebut cermin masyarakat,  dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia  menjawab tantangan hidup dalam suatu masa dan dalam suatu konteks sejarah.  Kenyataan demikian akan tampak semakin penting jika karya sastra yang hadir  dapat dinikmati oleh anggota masyarakat secara lebih meluas dan ekstensif.
    Bagai untaian batu mulia seni rupa yang memukau,  puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini membentangkan tumpukan lapis panorama  yang kompleks dan kisah lanskap bersudut kebudayaan Melayu. Membacanya adalah memaknainya  dalam-dalam sampai pada suatu tahap tertentu tidak mampu lagi membayangkan apa  pun, kecuali laut, pohon, hutan, deru angin, dan suara orang-orang Melayu yang  ada di perantauan.
    Pandangan ini tidak berlebihan karena buku yang memuat  himpunan puisi sebanyak seratus buah, yang sebelumnya pernah diterbitkan di  pelbagai media massa dalam rentang waktu 1970-2008, ini memang sarat dengan  keindahan. Bukan sekadar menawarkan tamasya kata-kata, tetapi juga membawa  pembacanya untuk berkelana memahami filosofi masyarakat Melayu. Sebagian  kecenderungan puisi-puisi Fakhrunnas dalam antologi ini memperlihatkan betapa  tradisi lirik dalam puisi di Tanah Melayu modern masih bertahan dan berjalan,  yang seakan menunjukkan bahwa bermain-main dalam puisi adalah sebentuk  kebajikan tersendiri yang tetap menyegarkan.
    Hal ini tidak aneh. Karena Melayu memang dikenal sebagai daerah  selaksa pantun dan puisi. Bahkan, dapat dikatakan, puisi yang dihasilkan etnis Melayu  diperkirakan jumlahnya lebih banyak daripada gabungan seluruh puisi yang  ditulis etnis-etnis lain di Indonesia, karena kedudukan puisi dalam  perkembangan budaya Melayu bukan sekadar menjadi bahasa ungkap, pepatah, atau  syair lagu, tetapi juga simbol-simbol masyarakat Melayu. Itulah sebabnya, buku  antologi puisi karya Fakhrunnas MA Jabbar ini  bukan sekadar menyajikan keindahan alam Melayu Riau sebagai metafora dalam  susunan kata-kata, tetapi juga menceritakan tentang perjalanan kebudayaan dan kerinduan  kepada kampung halaman, sebagai cermin kehidupan masyarakat Melayu yang terjadi  pada masa kekinian. 
    Prof. A. Teeuw (1994) pernah mengatakan bahwa puisi tak  akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa  diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan.  Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya. Oleh karena itu, meskipun objeknya sama, namun jika ditulis oleh  penyair yang berbeda akan menghasilkan gaya ucap puisi yang berbeda pula.  Dengan kata lain, membaca puisi sama halnya dengan membaca kehidupan pribadi  pengarangnya, membaca pandangan hidupnya, membaca falsafah hidup yang dianutnya,  atau bahkan membaca tanah kelahirannya. Membaca puisi-puisi dalam antologi ini  setidaknya kita akan dihadapkan pada keadaan semacam itu.
    Oleh karena itu, jika sastra dipercaya merupakan potret  sosial yang mengusung ruh kebudayaan masyarakatnya, maka boleh jadi kumpulan  puisi karya Fakhrunnas ini merepresentasikan kebalau kegelisahan masyarakat  Melayu masa kini. Dalam menulis karya ini, Fakhrunnas seakan berada di tengah  kehidupan yang tak dapat melepaskan diri dari tradisi, mitos-mitos masa lalu,  dan cengkeraman sejarah puak Melayu di satu pihak, dan di pihak lain, ia juga  menyadari kondisi masyarakat Melayu masa kini yang tak dapat menahan  modernitas. Dengan demikian, kumpulan puisi ini juga seperti mewartakan sebuah  potret masyarakat Melayu ketika tradisi masa lalu ditinggalkan setengah hati.  Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan masyarakat Melayu terhadap  modernitas. Maka, sebagai sebuah potret kultural, karya Fakhrunnas ini sesungguhnya  merupakan representasi terjadinya perubahan sosial sebagai konsekuensi adanya  perkembangan zaman.
    Secara sistematis, kumpulan puisi yang disunting oleh  Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM),  ini terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama mendedahkan pengabdian diri  sang penyair terhadap Tanah Melayu. Hal ini dapat kita simak dalam puisi yang judulnya  secara umum mewakili antologi ini, Tanah Airku Melayu:
    di sini
kuberdiri
di tanah airku
di ranah melayuku
 
kucoba kembara
menjejak harap di kota-kota dunia
mencecap maung laut dan samudera
menghirup bau kawah di busut yang mengulur lidah ke arasy
bagai burung kelelahan ditikam surya
bagai angin tak temukan arah
bagai panah tak ke mana-mana
melayu jua bertahta di jiwa
 
walau kueja jua langkah sang sapurba
menapaki bukit seguntang sejak lama
menebar sukma di ria-lingga
menitip pesan pada sang nila utama
membentang sayap dari tumasik hingga melaka
menabur wangi bunga di campa dan afrika
atau mengukir jalur sutra di china
melayu jua bersisa di jiwa
 
kutahu pula lima saudagar bugis
terdampar di lingga
merangkai biduk di penyengat
mengukir sejarah tak sudah
raja haji menghunus pedang
raja ali haji membentang kalam
di kitab bahasa
melayu jua merona di jiwa
 
kutatap melaka berkisah
adat resam ditegakkan
kalimah syahadah dilaungkan
bak tali berpilin tiga
ada islam jadi tiangnya
ada adat jadi pagarnya
ada bahasa jadi pengikatnya
melayu jua bersarang di jiwa
 
sejauh-jauh mata memandang
di ranah melayu ditukikkan
sejauh-jauh kaki melangkah
di ranah riau dihentakkan
sejauh-jauh hati ‘kan terbang
di ranah melayu dihinggapkan
                                                                                                                                                                                            Dari puisi di atas, dapat dikatakan bahwa ranah budaya  Melayu telah memberikan kekayaan imajinasi dan kontemplasi yang selama ini  tertuang dalam karya-karya kreatif sastrawan Melayu, tak terkecuali Fakhrunnas.  Budaya Melayu bagaikan samudra tak bertepi yang selalu mengalirkan riak dan  ombak sekaligus telaga tanpa dasar yang tak kering-keringnya bila ditimba  menjadi inspirasi. Namun, bagi penyair kelahiran Desa Tanjung Barulak, Kampar,  Riau ini, cintanya yang begitu mendalam pada Tanah Melayu, tak perlu sampai  menjadi taraf “cinta buta” yang menganulir akal sehat. 
    Tragedi-tragedi memilukan di tanah kelahirannya,  misalnya, tak sedikit pun membuatnya terpancing untuk ikut melakukan  tindakan-tindakan tak beradab, demi menegakkan marwah dan tuah Tanah  Melayu. Bahkan, tragedi demi tragedi yang menimpa “rumah tempat rindunya  berpaut” itu, kian memompanya untuk lebih produktif lagi menciptakan  karya-karya sastra berlatar Tanah Melayu. Sedangkan, masih dalam bagian  pertama, juga terdapat puisi-puisi bernada protes, baik yang menghantam dengan  metafor-metafor yang keras maupun yang menggunakan humor secara ironis.  Rangkaian metafor yang lantang dan garang dapat kita temui misalnya dalam puisi-puisi  berjudul Rimba Beton, Kusukai Sakaiku, Doa Orang-orang Bendungan, Selamat  Pagi, dan Tuan Takagawa, yang secara tersirat merupakan protes sang  penyair pada pihak-pihak yang tidak tulus membaktikan dirinya terhadap Tanah  Melayu.
    Sementara itu, bagian kedua antologi ini merupakan  permenungan sang penyair terhadap berbagai fenomena ganjil yang melanda tanah  kelahirannya. Fakhrunnas tanpa ragu menunjuk pencemaran laut dan penebangan  hutan sebagai biang kerok dari semua itu. Dalam bagian ini kita jumpai  puisi-puisi dengan bahasa yang lugas dan santai, sebuah diksi yang dipetik dari  kehidupan sehari-hari. Meski begitu, diksi bagi Fakhrunnas bukanlah beban yang  harus didesakkan melainkan diperlakukan sebagai “alat bermain” yang justru  menjadi bagian penting pengucapan puisi. Dengan cara itu, menurut Maman S.  Mahayana dalam endorsement buku ini, Fakhrunnas bebas mengumbar  imajinasi dalam tarik-menarik antara hasrat hendak menegaskan jiwa yang begitu  mencintai tanah kelahirannya (Melayu) dengan sikapnya yang memandang realitas  masa kini. Kecenderungan semacam ini dapat ditengok dalam puisi berjudul Ketika  Banjir Menyapa, Bapakku Hutan, Ibuku Laut yang Kini Terluka, Kering, dan Dalam  Kabut.
    Bila pada dua bagian sebelumnya lebih menekankan pada  tema-tema universal dan kemanusiaan, maka pada bagian ketiga antologi ini lebih  kental nuansa religius penyairnya. Hal ini, misalnya, dapat dibaca dalam puisi  berjudul Sepotong Daging, Dari Alif Ba Ta ke Tahajjud, Walau Maut Menjemput,  Ramadhan in Manila, Purnama Jatuh di Nabawi, dan Lelaki yang Berputar di  Pelataran Ka‘bah. 
    Jadi, membaca kumpulan puisi ini secara keseluruhan, setidaknya  pembaca akan mendapati benang merah yang menyimpulkan bahwa betapa pentingnya  manusia menjaga keseimbangan untuk mencapai harmoni dalam hidupnya, yaitu  menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, hidup selaras dengan alam, dan  beribadah kepada Tuhan.
    Penggunaan warna atau bahasa lokal Melayu Riau, entah itu  suara, konsep, istilah, diksi, dan bentuk-bentuk lokal lainnya, oleh Fakhrunnas  dalam antologi ini pada akhirnya dikembalikan kepada perasaan komunitas dan usaha  pengembalian ketenangan dan keheningan. Perincian tentang warna lokal tersebut mampu  mengelak dari pemaparan secara entografis, seperti masalah identitas kemelayuan  justru memberikan cara pandang yang arif dalam menyikapi masalah keragaman. Oleh  karena itu, karya Fakhrunnas ini sebenarnya tidak mengajak pembaca memuja semangat  primordialisme, seperti sering dikhawatirkan para kritikus sastra selama ini, melainkan  menawarkan sisi kreatif yang lentur mengolah khazanah sastra yang bertebaran di  belahan bumi Nusantara.
    Seratus puisi Fakhrunnas yang terhimpun dalam buku ini adalah  sebuah kehadiran baru dalam perpuisian Indonesia berlatar Tanah Melayu. Sang  penyair tampaknya menuliskannya begitu saja bagaikan mendokumentasikan apa yang  oleh Asrul Sani disebut “fragmen keadaan”. Namun, membacanya, juga puisi-puisi  berlatar Tanah Melayu lainnya, seperti menghirup setiap partikel atau gelombang  yang tersusun dalam sebangun komposisi kata-kata. Ada bunyi, irama, barik, dan  sunyi. Dan jika dalam dunia sehari-hari kita terbiasa berbahasa tanpa perhatian  khusus terhadap semua itu, maka dalam dunia puisi segenap anasir bahasa justru  kerap hadir mencolok sebagai pokok yang menyokong kembangnya kesedapan sebuah  karya, sebagaimana kumpulan puisi karya Fakhrunnas MA Jabbar ini. Akhir kata, inilah  antologi puisi yang dibangun atas kesadaran kultural dan kelincahan  menerjemahkan Tanah Melayu ke dalam keindahan bahasa metafor.
    (Tasyriq Hifzhillah/res/02/09-08)
                  Dibaca : 11.139 kali.