14 februari 2010 00:07
Syair Nasib Melayu
                                                  | Judul Buku 
 | : 
 | Syair Nasib Melayu 
 | 
  | Penulis 
 | : 
 | Tenas Effendy | 
| Penerbit | : 
 | BKPBM dan Adicita,  Yogyakarta | 
| Cetakan 
 | : 
 | Pertama, September 2005 | 
| Tebal 
 | : 
 | xvi + 61 halaman | 
| Ukuran 
 | : 
 | 12 x 18 cm 
 | 
 
      Perhatian Tenas Effendy  terhadap khazanah warisan budaya Melayu tidak diragukan lagi. Perhatian  tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi peradaban manusia, terutama  peradaban Melayu di Nusantara. Dalam karya-karyanya, Tenas selalu menekankan pentingnya  menjaga identitas Melayu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya  lokal, karena nilai-nilai tersebut senafas dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam.  Agaknya, dasar pemikiran inilah yang mendorong Tenas begitu ulet mengkaji kebudayaan  Melayu, khususnya Melayu Riau dan Kepulauan Riau.
    Banyak sudah buah karya  Tenas yang telah dipublikasikan dan menjadi bahan rujukan di kalangan peneliti  dan pecinta budaya Melayu. "Syair Nasib Melayu" adalah salah satu karyanya yang  cukup bagus. Melalui buku ini, Tenas menuangkan pandangan-pandanganya terhadap  Melayu modern tanpa melupakan realitas sejarah Melayu itu sendiri. 
    Realitas modern menciptakan  persoalan-persoalan baru yang sangat kompleks di tengah masyarakat, mulai dari  penetrasi kapitalisme global, kualitas pendidikan dan pengetahuan yang rendah,  kerusakan moral, keterbatasan lahan pekerjaan, sampai kepada kerusakan  lingkungan. Semua persoalan itu bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk  diuraikan kembali. Masyarakat tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan  persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu. Fenomena ini sangat memilukan.  Tenas Effendy mengakui bahwa kondisi semacam itu mempengaruhi cara pandang  orang-orang Melayu terhadap sejarah dan budayanya. 
    Mungkin atas dasar  itulah "Syair Nasib Melayu" ditulis. Syair ini berisikan refleksi  penulisnya terhadap fenomena dan problematika Melayu masa kini. Misalnya  perihal penyebab dari kemunduran awal Melayu modern, yang menurut Tenas  dikarenakan ketertutupan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan modern,  sebagaimana dituliskan dalam syair berikut ini: (bait 49, 50, 53)
    Di  bumi Melayu pembangunan pesat
  Baik di laut maupun di darat
  Banyak peluang boleh didapat
  Banyak usaha boleh dibuat
    Tetapi  karena ilmu tak ada
  Peluang yang ada terbuang saja
  Diisi orang awak menganga
  Akhirnya duduk mengurut dada
  .........
  Disinilah tempat Melayu jatuh
  Karena banyak yang masih bodoh
  Peluang yang dekat menjadi jauh
  Nasib pun malang celaka tumbuh
    Syair di atas  mengisyaratkan bahwa ketika orang lain telah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang,  orang Melayu justru hanya berdiam diri atau berjalan di tempat. Padahal, jika  saja mereka punya kemauan untuk membuka lembaran sejarah Melayu, maka banyak  hal yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu  sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang  terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan  sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari  luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka  diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap  warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya. 
    Tenas cukup memahami  karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung “pemalas”. Sifat inilah yang membawa  mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya  Tenas menulis (bait 94):
                Walau Melayu bertanah luas
Tetapi terlantar karena malas
Dimanfaatkan orang awak pun cemas
Lambat laun semuanya lepas.
    Di bagian akhir  syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu  Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter  orang Melayu.
    Dalam syair ini, tidak lupa  pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai  pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan  256):
    Ke generasi muda kita  berharap
  Kuatkan semangat betulkan sikap 
  Kokohkan iman tinggikan adab
  Supaya Melayu berdiri tegap
    Ke generasi muda kita  berpesan
  Hapuslan sifat malas dan segan
  Isilah diri dengan ilmu pengetahuan
  Supaya Melayu tidak ketinggalan
    Karya sastra yang  diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam  buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu  Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam,  syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses  penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan  kondisi saat ini.  
    Sebagai karya sastra,  "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa  melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah  salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi.  Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam  prakatanya, mirip dengan sejumlah syair “Lingkaran Penyengat”, seperti Syair  Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan  diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.
    "Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat  gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di  masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri,  hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara  apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.
Oleh : Abd. Rahman Mawazi
                                    Dibaca : 14.249 kali.