05 februari 2010 00:07
Hikayat Muda Cik Leman
                                                  | Judul Buku 
 | : 
 | Hikayat Muda Cik Leman 
 | 
  | Penulis 
 | : 
 | Sudarno Mahyudin 
 | 
| Penerbit | : 
 | Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu,  Yogyakarta | 
| Cetakan 
 | : 
 | Pertama, November 2006 | 
| Tebal 
 | : 
 | x + 273 halaman | 
| Ukuran 
 | : 
 | 12 x 18,5 cm 
 | 
 
      Hikayat-hikayat  kepahlawanan bangsa Melayu hingga kini masih menjadi bahan kajian, telaah, dan  pembicaraan di kalangan masyarakat dan peneliti Melayu. Hal ini tidak lepas  dari muatan sejarah dan nilai kesusastraan yang terkandung di dalamnya. Hikayat  Hang Tuah, misalnya, selalu saja menarik perhatian banyak pemerhati budaya  Melayu untuk menyelami romantisme kepahlawanannya, serta mendalami muatan nilai  kesusastraannya.
    Ada banyak cara dalam mengisahkan  sebuah hikayat. Bisa berbentuk syair, novel, cerita bergambar, cerita  lisan, dan lain sebagainya. Di kalangan masyarakat Melayu Rokan Hilir, Riau, tradisi  mengisahkan sebuah hikayat secara lisan disebut koba. Koba disampaikan  dengan lantunan lagu-lagu sehingga sangat menarik untuk disimak. Orang yang  bercerita disebut pekoba. 
    Di Rokan  Hilir, koba yang masih populer dan  dikenal masyarakat luas, terutama oleh orang-orang tua, ialah koba Muda Cik Leman. Ketenaran cerita  tersebut mendorong seorang Sudarno Mahyudin untuk menuliskannya dalam bentuk  hikayat. Hikayat Muda Cik Leman ini disarikan dari koba Muda Cik Leman versi pekoba Masyim, tukang cerita yang  berasal dari Sungai Pinang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Hikayat  ini dipercaya pernah terjadi di Kubu, yang diperkirakan sebagai tempat berdirinya  Kerajaan Galangan dan Muar. 
    Syahdan, Muda Cik Leman  memiliki saudara sepupu bernama Gadis Cik Inam, tetapi mereka tidak pernah  bertemu muka karena telah berpisah saat masih sama-sama bayi. Ketika masih  bayi, Gadis Cik Inam telah ditunangkan dengan kakanda Muda Cik Leman yang  bernama Panglima Nayan. Namun pertunangan itu akhirnya dibatalkan karena seorang  peramal, Tuk Nujum, melihat petanda jelek dari hubungan mereka. Tuk Nujum pun  berkata, barang siapa yang menikah dengan Gadis Cik Inam ia akan mendapat  petaka seumur hidupnya. Sejak pemutusan tali pertunangan itulah Gadis Cik Inam dibawa  oleh orangtuanya pindah ke Muar karena tidak tahan menanggung malu. 
    Beberapa tahun kemudian,  pada suatu malam, Muda Cik Leman bermimpi bertemu seorang gadis yang cantik jelita.  Usut punya usut, gadis yang hadir dalam mimpinya itu ternyata Gadis Cik Inam. Oleh  karena pesona kecantikan yang ditebarkan Gadis Cik Leman berbakas sangat dalam  di benak Muda Cik Leman, ia pun memutuskan berlayar ke negeri Muar. Kedatangannya  di tanah Muar disambut baik oleh keluarga Gadis Cik Inam. Perselisihan antara  dua keluarga yang dulu pernah terjadi akhirnya sirna. Tak putus air  dicencang, biduk lalu, kiambang bertaut.
    Pertemuan Muda Cik Leman  dengan Gadis Cik Inam sampai pada ikatan pernikahan. Keduanya hidup bersama  dengan bahagia sampai Muda Cik Leman, yang merupakan pewaris sah tahta kerajaan  negeri Muar, menjadi raja. Muda Cik Leman dikenal sebagai penguasa yang adil  lagi bijaksana.
    Kecantikan Gadis Cik  Inam tersiar sampai ke negeri sebrang. Hingga di suatu hari, negeri  Muar kedatangan tamu, seorang raja dari Negeri Petukal. Rupanya kedatangan raja yang  dikawal armada laut yang besar itu menyimpan niat buruk. Ia ingin mempersunting  Gadis Cik Inam. Berbagai tipu muslihat digunakan Raja Petukal untuk meraih  tujuannya, mulai dari cara yang halus sampai dengan cara-cara kekerasan. Itulah  mungkin petaka yang pernah diramalkan oleh ahli nujum.
    Niat Raja Petukal ditolak  mentah-mentah oleh Muda Cik Leman, karena ia hendak menjungjung tinggi marwah  kerajaan. Tak pelak, pertempuran berdarah pun tak dapat dihindari.  
    Hikayat ini tidak hanya mengisahkan  kepahlawanan seorang Muda Cik Leman. Tetapi juga mengajarkan kepada masyarakat  supaya tidak menyerah kepada keadaan yang menghimpitnya. Pesan tersebut  dijelaskan bahwa dalam tradisi Melayu kuno, nujum dan magi sangat mempengaruhi  kehidupan masyarakat. Ahli nujum dipandang memiliki kemampuan supranatural untuk  berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga ia mengetahui kejadian-kejadian  atau perjalanan hidup anak manusia jauh sebelum manusia itu mengalaminya  (takdir). Meskipun demikian, keputusan yang diambil oleh Muda Cik Leman menunjukkan  bahwa seyogyanya manusia tidak boleh pasrah dan menyerah begitu saja kepada  nasib (takdir). Hal ini tergambar jelas dalam pantun yang diucapkan Muda Cik  Leman tatkala membakar semangat laskarnya menuju medan pertempuran: 
                Berletup bunyi dahan  bersanggit
Barulah nyata kayu  terbelah
Bertangkup bumi dengan  langit
Barulah kita mengaku  kalah
                    Kita tidak mencari buluh
Batang  buluh dimakan api
Kita  tidak mencari musuh
Datang  musuh kita hadapi
    Dari pantun di  atas dapat dilihat bagaimana Muda Cik Leman menekankan bahwa meskipun Tuhan telah  menggariskan ketentuanNya melalui takdir, akan tetapi manusia wajib berusaha sekuat  tenaga untuk mencapai kehidupan yang baik.
    Kisah ini juga  memotret budaya dan karakteristik orang Melayu yang bisa amuk dan tak  lagi membilang musuh manakala mereka dicabar. Seperti dikatakan dalam sebuah pepatah “Tunangan hidup adalah  mati, Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai”.  Dalam pantun pun dikatakan: 
                Indah  bulu burung merpati
Terbang  tinggi menjelang awan
Yang disebut hulubalang  sejati
Pantang sungguh  membilang lawan.
                    Tanda berantan berpasak  kayu
Cacak tembilang  bergagang buluh
Tanda jantan anak melayu
Tidak kita membilang  musuh. 
    Nilai-nilai keberanian,  kesetiakawanan dan loyalitas yang tinggi kepada saudara, raja dan negeri  ditekankan dalam masyarakat Melayu; berani membela kebenaran dan keadilan serta  kewajiban menjaga marwah melekat erat dalam urat nadi setiap orang Melayu. Maka  tidaklah tepat jika ada persepsi bahwa masyarakat Melayu itu pemalas dan pasrah  kepada nasib. Dalam sejarahnya, bangsa Melayu berhasil membangun peradaban  gemilang karena tingginya moralitas, keberanian, dan keuletannya.
    Kisah Muda Cik  Leman dalam buku ini telah dipengaruhi gaya prosa modern. Namun, karena hikayat  ini telah dikenal cukup luas oleh masyarakat Melayu, sentuhan-sentuhan prosa  modern justru semakin memperindah hikayat yang disampaikan. 
    Di samping  gaya bahasa yang enak dinikmati dalam setiap alur ceritanya, sisipan  berpuluh-puluh pantun, ditambah pengutipan beberapa buah bait koba  dengan bahasa Melayu dialek Rokan Hilir menjadikan buku ini semakin nikmat  dibaca semua kalangan dan usia.
    
Oleh : M Yusuf
                                    Read : 26.069 time(s).